Kamis, 25 Desember 2014

Tantangan Budidaya Udang Vaname; Untung Besar Tapi Resiko Tinggi



Prof. Rachmansyah, Peneliti LIPI

Memulai karir sebagai peneliti  di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 1986, Prof. Rachmansyah mulai menekuni hobi-hobinya dalam penelitian. Ia memilih studi budidaya perikanan karena ia tahu, kekayaan Nusantara ini banyak tersimpan di perairan, dilaut maupun di daratan. Sebagai peneliti utama di BPPBAP Maros, ia banyak mendatangi berbagai daerah dalam usaha pengembangan budidaya perairan, terutama untuk tambak udang vaname. Sejak menamatkan pendidikan S1 di Universitas Diponegoro Semarang tahun 1985, Rachmansyah mulai aktif melakukan penelitian. Tak kurang dari 136 karya ilmiah yang ia tulis baik itu sebagai tugas penelitian atau untuk penyusunan buku. Temanya tak lain adalah studi-studi tentang budidaya perikanan (aquaculture). Ia juga sering diminta untuk memberi materi terkait disiplin ilmu dan riset-riset terbarunya. Selasa 25 November kemarin, untuk kesekian kalinya ia datang ke Palu. Saat itu Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng menggelar workshop pengembangan budidaya udang vaname. Ia menjadi salah satu pembicara pada kesempatan itu. 

Sejak kapan teknologi supra intensif ini ditemukan?

Tahun 2010, kalau tidak salah pak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng, Hasanuddin Atjo sudah memulai  mengkonstruksi teknologi ini di Sulsel. Dan tahun 2011 sudah  mulai dikembangkan di sini. 

Bagaimana upaya ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat, apa langkah-langakh yang sudah dilakukan?

Sekarang kan sudah didapat teknologinya. Upaya-upaya untuk mengkampanyekan teknologi ini sudah dilakuakn, melalaui desiminasi, melalaui pertemuan-pertemuan . Pak Hasanudddin sudah me-launcinya di Sulsel ketika teknologi ini ditemukan. Memeng dalam upaya memperkenalkan teknologi baru, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan upaya untnuk mengggencarkan kampanye-kampanye. Dan sekarang sudah ada beberapa daerah yang mengadopsi teknologi ini. Di Sulsel sendiri sudah ada beberapa spot yang mengembangkan ini. Di Nusa Tenggara Timur, sudah mulai dikembangkan juga. Kemarin yang konsultasi ke kami, ada yang dari Aceh, Sibolga dan Belitung, yang ingin mengembangkan teknologi ini. Nampaknya, lambat laun teknologi ini akan diadopsi oleh banyak kalangan petambak, hanya memang butuh waktu. Memang harus diakui, ini usaha padat modal dan high risk. Tapi sangat menjanjikan. Jadi dibutuhkan orang-orang yang memang punya kompetensi di sini, untuk mengoperasikan teknologi ini.

Untuk itu, apa ada semacam pelatihan-pelatihan yang dibuka sebagai upaya transformai teknologi ini?

Ini sangat penting sekali karena teknologi supra intensif ini membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional. Artnya, SDM harus disediakan terlebih dahulu, untuk mengopresikan teknologi ini. Sebagai contoh, kemarin ada salah satu pengusaha tambak yang menitipkan teknisinya dua orang di tempat kami di Takalar, untuk magang. Meskipun hanya beberapa minggu saja, tapi sudah ada upaya ke arah sana, bagaimana menyiapkan teknisi menjadi lebih terampil sebelum menangnai atau terjun langsung dalam menjalankan tenologi supra intensif ini. Kami selalu membuka peluang kepada siapa saja, pengusaha yang mau memagangkan tenaga teknisinya untuk megang setiap tahun. Tinggal disesuaikan dengan jadwal siklus penanaman kami. 

Bagaimana potensi pembukaan tambak supra intensif di Sulteng? 

Sulteng ini potensinya lebih. Tidak seperti di Sulsel, yang hanya dikembaangkan di bebebrapa spot saja. Berdasarkan riset kita kemarin, secara kelayakan lahannya, Sulteng punya lebih banyak di banding Sulsel. Kelayakan lahan ini kan sangat penting. Tidak semua kawasan pesisir bisa dibuka untuk usaha tambak supra intensif. Dia mempunyai beberapa persyaratan. Tambak supra intensif harus dibangun pada lokasi dengan elevasi minimal 4 meter dari permukaan laut. Sehingga air itu masuk tidak secara gravitasi melalui pasang-surut. Tapi harus melalui pompa. Dan tidak boleh mengkonversi mangrov. Selain karena alasan konservasi,  juga secara teknis ini tidak layak karena berada di area pasang surut. Inliah yang benar-benar menggunakan teknologi. 

Seberapa besar pendekatan teknologi dilakukan?

Hampir semua pendekatannya dengan teknologi. Karena prinsip kerjanya kan membudidayakan udang pada wadah yang kecil, tapi padat penebarannya tinggi. Sehingga kita dapat mencapai produktivitas tinggi dengan sudah menghemat lahan dan sumber daya air.

 Saya dengar dalam sekali tanam, ada masa yang dinamakan panen parsial, ini untuk apa?
 
Kenapa panen parsial? Kalau kita punya satu petak tambak, dan kita sudah menargetkan. Misalnya daya dukung tambak ini 10 ton. Nah, target itu bisa dicapai, kalau kita menciptakan daya dukung tambak sebesar 10 ton. Dalam teknologi supra intensif, kita menggunakan kincir untuk mensuplai oksigen ke dalam air. Semakin tinggi padat penebaran, kan semakin tinggi oksigen yang dibutuhkan. Ketatapannya, 1 HP kincir itu bisa mensuport setara 500 kilo gram udang. Nah, kalau kita target 10 ton, berari kita membutuhkan 20 kincir. 

Dalam proses pemeliharaan, produksi bio masa (udang) yang ada di dalam tambak sudah hampir mencapai daya dukung, disitulah kita melakukan panen parsial. Ini dilakukan untuk mengurangi beban lingkungan tambak untuk menopang hampir 10 ton tadi. Panen ini akan mengurangi 20-30 persen udang. Harapannya, ini untuk meningkatkan pertumbuhan udang yang ada di dalamnya. Kalau tidak dikurangi, kan akan menghambat pertumbuhan. Sebab ruangnya sudah mulai sempit. Setiap dia mencapai 10 ton, kita pangkas lagi melalui panen parsial. Panen parsial ini untuk menjaga daya dukung tambak itu. Tapi begini, menciptakan daya dukung ini juga bisa dibantu dengan teknologi, melalui kincir tadi. Kalau kita punya kincir banyak, disesuaikan dengan kondisi bio masa yang ada di dalam tambak. Tidak pelu panen parsial. Contohnya begini. Kalau kita berada dalam satu ruangan, sendiri, tidak perlu pake AC. Cukup berharap udara dari ventilasi saja sudah cukup. Tapi kalau kita berlima atau berenam, kita harus menggunakan AC untuk menciptakan kondisi udara yang baik untuk bernafas. Kalau tidak kan pengap. Nah, begitu juga dengan kondisi di dalam tambak itu.

Berapa kali panen parsial dilakukan dalam sekali tanam?

Ini dilakukan biasanya setiap umur udang 80 atau 90 hari. Yang pasti ini dilakukan ketika size (ukuran) udang sudah mencapai seratus. Kita bisa melihat grafik pertumbuhannya, yang bisa menunjukkan hubungan antara bobot  udang dengan umurnya. Biasanya, pada usia 90 hari, udang sudah mencapai bobot 10 gram. Jadi kalau bobotnya 10 gram, berarti dalam sekilo itu ada 100 ekor. Kan satu kilo itu 1000 gram. Jadi size udang itu, artinya berapa ekor dalam satu kilo gram. kalau size-nya seratus, berarti 100 ekor dalam satu kilo. Kalau size 90, ya 90 ekor dalam satu kilo. 

Terus kapan panen besarnya?

Biasanya panen total atau panen besar itu dilakukan dengan melihat kondisi dimana hasil yang diperoleh itu tidak sesuai lagi dengan biaya pakan. Di saat itu kita sudah panen, panen besar. Biasanya, kalau vaname itu panen besarnya di usia-usia 105-120. Kalau pembudidaya ingin size yang besar, biasanya di usia 120. Tapi kalau dari perhitungan ekonomi, kalau kita sudah memberi pakan seharga Rp.1 juta dalam satu hari, tetapi peningkatan bobot udangnya tidak bertambah. Atau biaya pakan sudah tidak sebanding, itu sudah tidak efisien. Sudah harus panen. Untuk mengetahui itu, kita lihat grafik pertumbuhan. Kalau kondisi grafiknya sudah mulai membentuk husuf S, itu sudah tidak efisien. Peningkatannya melambat. Jadi kalau kondisi pertumbuhannya sudah maksimal, kondisi peningkatan bobotnya sudah mulai melambat, disitulah kita sudah mulai panen. Tapi perlu diingat, ini harus disesuikan dengan kondisi permintaan pasar. Kadang pasar membutuhkan size yang kecil, kadang yang besar. Jadi tidak mesti panen dengan umur udang 120 hari.

Yang saya pernah dengar, bahwa usaha ini cukup sensitif,  jadi perawatannya harus ekstra. Apa ada teknologi yang bisa memudahkan pengontrolan konsidi air dan udara dalam tambak?

Ada. Suhu dan kadar garam, memang mempengaruhi kondisi kehidupaan udang. Suhu kan terkait proses metabolisme. Nah semakain tinggi suhu (pada batas tertentu), dia akan memacu proses metabolisme di dalam tubuh udang. Sehingga udang bisa lebih cepaat tumbuh besar. Sementara kalau suhu rendah, itu akan mengurangi proses metabolisme tadi. Udang akan lebih kerdil. Kita mesti mengatur pada suhu yang optimal tadi. Sama dengan salinitas atau kadar garam. Semakin tinggi kadar garam, udang akan mengeluarkan energi lebih banyak untuk mempertahankan cairan tubuhnya. Supaya seimbang antara cairan di dalam tubuh udang dengan lingkungannya. Energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan cairan tubuh (istilahnya) osmoregulasi tadi, membuat energi untuk pertumbuhan itu sedikit. Karena dialokasikan untuk mempertahankan cairan tubuh saja. Itu makanya, kalau udang hidup dalam salinitas yang tinggi, biasanya kerdil. Dia makan hanya untuk mempertahankan hidup saja, bukan untuk tumbuh. Makanya kita, dalam pembudidayaan ini dituntu untuk mencipkatakn kondisi lingkungan yang optimal tadi. 

Bagaimana dengan kebersihan sanitasinya?

Ini juga sangat penting. Udang ini kan makan dan buang kotorannya dalam satu lingkungan. Udang dengan budidaya intensif dan supra intensif airnya lebih cepat kotor, dibandingkan dengan kepadatan rendah, seperti dalam metode tradisional. Untuk mempertahankan air ini dalam kondisi prima, kita ada beberapa teknologi yang digunakan untuk membantu proses pemurnian kondisi lingkungan. Misalnya dengan penggunaan probiotik, penggunaan beberapa bahan adiktif seperti mineral dan lain sebagainya. Itu juga sebagai upaya untuk perombakan kotoran-kotoran sehingga tidak menjadi racun bagi udang. 

Apa kotoran itu tak perlu dibuang?

Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi padat penebarannya, kan berkorelasi dengaan pakan. Semakin banyak pakan yang ditaburkan di tambak, semakin tinggi juga beban limbahnya. Penggunaan probiotik tadi juga ada batasannya. Makanya, kalau di teknologi supra intensif kita bantu dengan central green. Ini sebagai jalan keluar limbah-limbah tadi. Kalau ini tidak dibuang, akan menjadi racun sendiri bagi udang.

Saya dengar ada teknologi untuk bisa melakukan pemantauan jarak jauh?

Ya, alat ini sebagai sensor yang bisa mendeteksi suhu dan oksigen secara online. Alat ini kita pasang di tambak, dan tergantung kita menentukan waktunya. Mau menyetel per menit atau per jam. Kalau saya memasangnya per 30 menit. Jadi setiap setengah jam alat ini membaca dan menyimpan data. Kita bisa akses datanya via internet. Dari rekaman data itu, kita bisa lihat grafik perkembangannya. Misalnya kita pasang ukurang oksigen tidak boleh turun dari angka empat. Kapan dia pada titik empat, kita sudah langsung warning di situ. Apa yang terjadi dan apa yang harus kita lakukan. Misalnya kalau dalam kondisi oksigen sudah mulai kritis di jam-jam empat sore itu, saya harus tambah kincir. Teknologi ini membantu untuk memudahkan kita mengambik keputusan lebih cepat. Karena mengukur oksigen tidak menggunakan alat juga agak susah. 

Yang paling penting di sini dikontrol adalah kadar oksigennya. Kalau suhu, di daerah tropis begini fluktuasinya tidak terlalu besar. Oksigen ini, selain dipakai oleh udang sendiri, juga dipakai oleh hewan-hewan lain yang ada di dalam tambak. Seperti plangton, mikro organsme, proses-proses bakteri. Itu kan mengkonsumsi oksigen.Misalnya seperti saya bialng tadi, satu hp untuk 500 kilogram udang, tidak segitu ukurannya. Kita harus tambahkan lagi 20 persen, ini dipakai oleh organisme non udang tadi. Misalnya kalau plangton, siang dia memproduksi oksigen, malam dia mengkonsumsi oksigen. Makanya oksigen pada malam hari itu, mengalami penurunan yang cept sekali. Dengan teknologi ini, saya bisa mengontrol kondisi oksigen di dalam tambak melalui koneksi internet. Bisa melalui ponsel android.

Apa tambak bisa disterilkan dari mikro organisme non udang tadi?

Tidak bisa. Air tambak disterilkan tidak bisa. Justeru banyaak mikro organisme yang membantu proses perombakan bahan organik sebagai efek samping dari udang itu sendiri. Seperti  kotoran udang, sisa-sisa pakan. Kita juga perlu tau, bahwa hampir 30 persen pakan yang diberikan ke udang tidak dimakan. Tapi kalau dalam teknologi supra intensif, ini bisa terhindarkan. Makanya penting sekali bagi kita untuk mengetahui kapan kita harus menambah dosis pakan, atau mengurangi dosis pakan. Kita punya alat yang namanya Anco, untuk mendeteksi kondisi ini. Alat itu bisa menujukkan bagaimana pola konsumsi udang. Kalau misalnya sekali diberikan dalam waktu satu jam sudah habis, berarti kita harus tambah dosis pada jam berikutnya. Begitu juga sebaliknya, kalau selama dua jam tidak habis pakan, berarti kita harus kurangi pakan. 

Untuk efisiensi penerapan pakan ini, kita juga menggunakan automatic feeder. Ini alat untuk menabur pakan sesuai dengan keinginan kita. Kita bisa mengukur berapa banyak pakan setiap kali lempar, mau satu kilo, atau berapa. Begitu juga dengan wktu pelemparannya, apa setiap 10 menit atau satu jam, terserah kita. Jadi pakan sudah disediakan di dalam tong, waktu dan takarannya sudah diatur, dia tinggal melempar sendiri. Tapi secara manajemen, kita tidak mesti sepenuhnya mengandalkan ini. Kalau saya, mebagi 70 persen saja menggunakan alat ini, tiga puluh persennya menunggakan tenaga manusia, manual. Dengan begitu, setiap waktu operator datang ke tambak, melihat apa yang terjadi, sekaligus monitoring tambaknya. 

Untuk satu tambak, diawasi berapa orang?

Kalau kami, selalu merekomendasikan ukuran tambak seribu meter per segi. Kami punya empat petak, satu petak untuk tandom air. Kita punya satu teknisi elektrik, dua untuk operasional. Untuk membari makan, ganti air, mompa dan sebagainya. Jadi tiga sampai empat orang sudah cukup. Kalau untuk satu petak sebenarnya 1 orang saja cukup. 

Menurut anda, perlu tidak para teknisi ini disertifikasi, sebaagai jaminan profesionalitas kerjanya?

Ia, ini sangat penting bagi mereka dan juga para pengusaha yang mau berinvestasi di usaha tambak ini. Para teknisi ini bisa membuat posisi tawar yang seimbang dengan pemilik modal. Ada kontrak-kontrak yang jelas mereka buat. Mereka dipercaya karena ada garansi daari sertifikasi itu. Sebeb pelu diingat, usaha ini padat modal dan beresiko tinggi. Makanya SDM-nya harus benar0benar terampil.

Oke. Kita sedikit flashback ke belakang. Teknologi ini apakah temuan baru atau adopsi dari luar?

Dulu sebelum bertemu pak Atjo, saya mencona dalam skala kecil, ukuran bak yang hanya 30 ton. Saya isi 33 ribu ekor. Dengan segala fasilitas apa adanya, hanya mengandalkan blower kodok 1 unit, itu pun kita bisa dapat 120 kilo. Kemudian pada tahun berikutnya, saya coba dengan bak yang dasarnya seperti perahu, agak kerucut dengan volume 7 ton, saya isi 15 ribu bibir. Pas panen, 100an kilo lebih juga. Setelah itu, pak Atjo mulai mengembangkan teknologi ini, tapi masih menggunakan tanah. Kemudian beliau mengubah dengan konstruksi beton dan lain sebagainya. Sebelum dan pada masa itu kami banyak diskusi untuk menemukan alternatif-alternatif atas kendala yang terjadi. Dalam fase pengembangannya, pak Atjo duluan, karena swasta. Kami pemerintah, duitnya keluar berhitung tahun anggaran. Kalau swasta kan kapan saja bisa diadakan. Tapi sebenarnya, teknologi ini tidak hanya kita saja yang mengembakna. Di Texas, Amerika, Cina, mereka  juga sudah mengembangkan. Malah mereka sudah bisa mencapai 11 kilogram per meter kubik.  Menerut teman saya yang pernah kesana, bedanya mereka hanya melakukan dalam skala terbatas, waktu itu. Hanya dalam skala untuk kebutuhan-kebutuhan pilot roject dan kebutuhan penelitian. Bukan untuk kegiatan komersial. 

Apa karena tingkat kebutuhan di sana sedikit?  

Tidak juga. Bicara teknologi ini tidak mudah. Butuh proses yang panjang. Jangankan teknologi, dulu waktu ada benur, bibit udang yang masih mengandalkan benih dari alam. Itu mudah sekali orang-orang diajak. Dulu kan kalau tidak salah, di sini daerahnya nener dan benur. Tapi dengan adanya hatchery, tempat pembenihan udang, butuh 3 sampai 4 tahun untuk mengajak orang menabur dengan hachery. Padahal mereka tahu ini menguntungkan. Jadi teknologi ini memang butuh waktu, apalagi ini padat modal dan resiko tinggi.

Secara hitungan-hitungan ekonomi, usaha ini cukup menjanjikan. 1 tahun katany bisa BEP. Ini apa karena kebutuhan pasar sangat besar, atau proses budidayanya yang praktis dengan bantuan teknologi?      

Kalau dibilang budidayanya praktis, tidak juga. Sebab semakin tinggi modal yang kita alokasikan, semakin tinggi juga tingkat stress-nya. Saya kerja dengan 100 ekor per meter persegi, akan lebih tinggi tingkat stress dibanding penebaran 300. Tapi memang kebutuhan udang ini tinggi. Walaupun ada waktu-waktu tertentu dimana harga udang turun. Ada sikusnya. Orang yang sudah biasa berbisnis di bidang ini sudah tahu dia, kapan waktu-waktunya harga tinggi dan rendah. Eksportir ini biasanya memperhitungkan dengan cara kuota. Mereka punya perjanjian target dengan buyer luar negeri. Berapa target yang harus mereka penuhi hingga akhir tahun. Misalnya pada Desember dia sudah memenuhi kuota pasarnya. Pada bulan Januari hingga beberapa bulan berikutnya, itu bisa turun harganya. Tapi seanjlok-anjloknya harga, masih tetap di atas biaya produksi. Kalau biaya produksi saya antara 28 sampai 33 ribu rupiah per kilogram. Harga jual paling rendah itu antara 40 sampai 50 ribu per kilogram.   

Kalau memulai usaha ini, apa yang harus dilakukan paling awal?

Yang pertama itu kondisi georgrafis. Tidak semua lahan bisa dijadikan tambak tradisional, semi intensif, intensif dan supra intensif. Disamping kelaayakan lahan, juga penting adalah kemampuan modal. Dalam prosesnya kan kita bisa melakukan inovasi. Misalnya dari yang tradisional menjadi semi intensif, kemudiaan menjadi intensif dan seterusnya. Tapi ini juga disesuikan dengan kemampuan lahan, seberapa jauh ini dapat dikembangkan. Kaitannya dengan kondisi tanah, misalnya kalau lahan kita tanah gambut atau tanah sulfat masam, itu sudah tidak mungkin kita menggunakan  ternologi semi intensif tanpa ada input teknologi. Kita bisa tingkatkaan itu dari semi ke intensif, misalnya dengaan cara menggunakan musa plastik untuk tambak tanah yang dengan kondisi sulfat masamnya tinggi, sehingga padat penyebarannya bisa ditingkatkan.

Mengelola Hutan, Seperti Seni Berbagi Peran



Ir. Nahardi, MM.
Kepala Dinas Kehutanan Sulteng

Setiap orang, punya cerita dalam hidupnya. Mereka memilih di antara banyak pilihan untuk menentukan menjadi apa mereka. Profesi, bakti dan pengabdian menjadi penanda yang membuat mereka dikenal sebagi sebuah sosok. Banyak cerita yang bisa menjadi bahan pelajaran. Manusia begitu istimewa. Karena itu, para ahli psikologi menyatakan manusia adalah mahluk yang unik. Ketika orang-orang di waktu menjelang hari raya Idul Fitri mudik bertemu keluarga di kampung, Nahardi justeru mencoba terus mendekatkan diri dengan memilih berumroh. Ini sisi lain yang  terbangun dalam diri seorang birikrat daerah seperti Nahardi. Di usianya yang tak lagi muda, ia sudah meluangkan bayak waktu untuk Sulteng. Sejak 1984, ia sudah bekerja layaknya abdi negara lainnya. Hiangga hari ini, ia tetap konsisten dimasa kerjanya selama 30 tahun. Menjadi rimbawan yang mengabdi untuk kelestarian hutan dan kemaslahatan ummat.

Rabu (3/12) kemarin, ia menyempatkan waktu berbincang bersama Palu Ekspres di ruang kerjanya.  Ia berbagi cerita tentang profesinya. Ia memberi pandangan-pandang tentang bagaimana posisi sektor kehutanan dalam bingkai pembangunan daerah. Untuk mengetahui lebih jauh, berikut petikan wawancaranya bersama Reporter Mohammad Sahril.

Apa potensi sektor kehutanan kita yang bisa menjadi andalan untuk meningkatkan PAD?

Kalau bicara potensi kehutanan, bicara soal kayu misalnya, kontribusinya tidak terlalu besar. Potensi terbesar hasil hutan kita, yakni hasil hutan non kayu. Kita memiliki potensi rotan yang cukup banyak. Wilayah di kawasan Indonesia Timur yang mempunyai potensi rotan terbesar adalah Sulteng. Bahkan kita menjadi penyuplai kebutuhan rotan nasional nomor satu. Di samping itu, jenisnya juga cukup banyak. Tapi yang termanfaatkan itu jumlahnya sangat sedikit. Karena itu, dibutuhkan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian, untuk melakukan riset  sehingga potensi yang besar ini bisa termanfaatkan. Kita punya lebih dari 20 jenis, tapi yang dimanfaatkan tak lebih dari lima jenis. Kalau ini bisa dikelola dengan baik, tentu akan berdampak terhadap nilai tambah bagi masyarakat sekitar hutan. Kita juga punya potensi damar, tanaman obat dan lain sebagainya. Tapi belum sepenuhnya bisa dikelola. Kalau soal pemanfaatan kayu, ini juga ada kaitannya dengan iskusi-diskusi beberapa tahun belakangan, tentang emisi karbon. Jadi hutan menjadi sangat penting untuk dijaga. Pemanfaatannya pun harus dibatasi, terutama penggunaan kayu. 

Bagaimana dengan usaha-usaha lain seperti hutan tanaman?

Di Sulteng, alhamdulillah cukup berpotensi untuk hutan tanaman. Terutama untuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kita memiliki kawasan yang sudah dicadangkan oleh kementerian kurang lebih 23 ribu hektar. Yang sudah diusahakan oleh masyarakat sekarang ini mencapai 8 ribu hektar. Cuman ini memang ada kendala-kendala sedikit untuk perizinan. Saya pikir ini perlu dilakukan semacam deregulasi ke daerah. Supaya proses perizinannya tidak terlalau panjang dan lama. Sehingga masyarakat cepat mendapatkan izin dan bisa segera mengelolanya. Sampai hari ini, peraturan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, masih sepenuhnya perizinannya di pusat. Kita berharap, dengan pemerintahan yang baru ini, ada penyederhanaan perizinan. Karena ini juga salah satu titik penghambat pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi. Padahal kita paham bahwa perekonomian rakyat itu yang paling tahan terhadap goncangan. Kalau ini baik, bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dan tentu mengurangi kemiskinan.

Selain itu, usaha-usaha yang juga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, apa lagi?

Kemarin kita bersama-sama dengan unit pengelola DAS Palu-Poso, mencoba mendorong bagaimana pengembangan Hutan Desa (HD) di Kabupaten Sigi, di Desa Namo Kecamatan Kulawi. Hutan ini dimanfaatkan oleh masyarakat, kemudian dibangun kemitraan dengan usaha-usaha yang bisa menampung hasil hutan mereka. Alhamdulillan, sudah ada MoU antara masyarakat dengan pengusaha-pengusaha yang bisa membantu mereka. Tentu bukan hanya di sana. Kita berharap ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan di daerah-daerah lain di Sulteng. Tapi, usaha-usaha seperti ini tidak sesederhana apa yang kita bayangkan. Diperlukan alur birokrasi yang memang  berpihak terhadap kepentingan rakyat. Tidak sekedar statement-statement saja, tapi harus diwujudkan kewenangan-kewenangan itu kepada daerah. Selama ini kan semua perizinan selalau ke pusat. Kita paham, memang ini adalah upaya hati-hati. Tapi janagn sampai karena terlalu hati-hati, jadi tidak jalan program-program pemberdayaan ini. Yang terpenting sebenarnya bagaimana pusat memberikan aturan main dan standar operasional prosedur. Saya pikir kalau itu sudah diatur, kita juga takut untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran. Justeru karena kehat-hatian kita selama ini, membuat masyarakat menjadi melawan. Dia menjadi berani karena tak ada pilihan. Mereka ingin melanjutkan hidup hari ini, mencari nafkah untuk hari ini. Tanpa harus menunggu proses yang panjang. 

Kalau usaha-usaha kehutanan yang berbasis industri, di Sulteng memang masih ada?

Tampaknya usaha-usaha berskala besar memang  mengalami berbagai hambatan-hambatan. Kita di sini mempunyai 14 perusahaan yang memiliki izin untuk pengelolaan kayu. Tapi hampir semuanya tidak beroperasi. Seperti mati suri. Karena itu, kita juga mendorong pemerintah pusat untuk berkomitmen melakukan penertiban secara baik terhadap mereka-mereka (perusahaan) yang ‘memasung’ sumber daya alam kita. Tidak bisa memberi kontribusi apa-apa kepada kita dalam hal pertumbuhan ekonomi, karena tidak ada aktifitas yang mereka lakukan. Ya, diberi sangsilah. Kalau perlu dicabut izinnya. Sehingga mitra-mitra usaha yang lain memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan investasi. Beberapa perusahaan yang memiliki izin penguasaan lahan begitu besar, tapi tidak melakukan apa-apa, bagi saya ini merugikan daerah. Tidak ikut berakselerasi dengan pertumbuhan ekonomi daerah, untuk apa kita pertahankan. Mereka ini sama dengan penghambat pertumbuhan ekonomi daerah. 

Terkait dengan izin pertambangan di wilayah hutan, yang di sisi lain juga bertentangan dengan konsep kelestarian. Apalagi kan kita kahu, bahwa industri tambang cukup ekstraktif dan jarang melakukan kegiatan reklamasi di bekas areal tambang mereka. Bagaimana pandangan anda?

Memang ini cukup dilematis. Di satu sisi kita terus mengampanyekan pelestarian hutan, tapi di sisi lain kita juga harus menghormati regulasi-regulasi yang berlaku, misalnya tentang UU sumber daya mineral. Dalam aturannya cukup jelas dan baik. Setiap kegiatan harus diikuti dengan kegiatan reklamasi. Tapi kenyataannya di lapangan tidak seperti itu. Tidak seindah apa yang kita bayangkan. Tapi ada hal yang saya pikir baik dan menguntungkan dengan peraturan yang baru di tahun 2014, yang mengharuskan perusahaan tambang membangun smelter di wilayah penghasil mineral. Ini akan menguntukan daerah dan terutama bisa menyerap tenaga kerja lokal. Di satu sisi kita bisa melakukan penghematan dan bisa memberi nilai tambah pada daerah. Memang kebijakan ini, hanya bisa diterima oleh industri-industri yang benar-benar mempunyai komitmen besar, sehingga bisa bertahan. 

Bagaimana dengan keberadaan perkebunan skala besar yang ada di Sulteng. Ini didominasi oleh sawit. Dan kita tahu bahwa sawit adalah sebuah koorporasi besar, sehingga membutuhkan laus lahan yang juga besar. Menurut anda?

Saya kira kita butuh investasi. Tapi kita juga perlu memberi keseimbangan terhadap usaha-usaha yang berbasis masyarakat. Sawit tidak dilarang. Tapi bagaimana masyarakat di wilayah sekitar bisa mendapatkan manfaat langsung, ini yang perlu diperhatikan. Dia tidak hanya menjadi pekerja. Kalau perlu dia bisa menjadi bagian dari usaha korporasi itu. Mereka juga harus diberi ruang agar bisa memikirkan usaha itu kedepannya. Tapi kalau semua kewenangan diberikan pada korporasi, ini juga akan berpeluang terhadap konflik. Kita sudah banyak mendengar kejadian-kejadin di masyarakat seperti yang terjadi di Sumatera, antara perusahaan dengan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah, dalam hal ini yang memiliki kewenangan untuk memberi izin lokasi dan sebagainya, bisa melihat lebih jauh kedepan untuk kepentingan masyarakat kita. Mungkin hari ini tidak menjadi persoalan, tapi sepuluh atau dua puluh tahun kedepan bisa menjadi persoalan. Kita bisa belajar dari Buol. Di sana itu ketika perusahaan-perusahaaan besar masuk, belum menjadi problem soal lahan. Tapi dalam kurun waktu dua puluh tahun kemudian, atau bahkan belum sampai, sudah banyak muncul konflik-konflik tenurial. Masyarakat butuh lahan, tapi wilayahnya terbatas dan lahan tidak mungkin bertambah.  Sementara sebagian besar sudah dikuasai perusahaan-perusahaan. Ini terjadi, karena memeng tidak dirancang sejak awal. Karena itu, pemerintah daerah kabupaten kota, sejak awal harus menganalisis ruang-ruang yang mana untuk investasi, yang mana untuk rakyat. Dalam membangun, kita butuh dua-duanya. Kita butuh investasi, kita butuh juga penguatan di tingkat masyarakat. 

Bagaimana mengelola lahan untuk menghindari kesalahan pemberian lahan. Misalnya di Parigi Moutong, pemerintah memberi izin lahan perkebunan sawit, arealnya sampai masuk di kawasan lindung, cagar alam Pangi Binangga.

Memang sering terjadi seperti itu. Karenanya pemerintah sekarang sudah mengeluarkan kebijakan tentang one map policy. Kebijakan satu peta ini, untuk menghindari salah tafsir dan salah ukur seperti yang dilakukan sekarang ini. Kita sudah akan menggunakan peta standar. Memeng banyak teman-teman yang masih menggunakan peta yang tidak valid. Skalanya terlalu besar, sehingga inforimasi geo spasialnya juga tidak valid. Sementara kalau kita bicara informasi geo spasial, ini sangat dinamis. Setiap waktu keadaan di lapangan mengalami perubahan. Kesalahan pengukuran satu centi saja di peta, kalau menggunakan skala yang besar, misalnya satu banding 500.000, kan  jauh penyimpangannya di lapangan. Makanya banyak yang masuk dalam kawasan seperti tadi. Atau bisa jadi tumpang tindih dengan kawasan lain. Jadi sekarang, kita terus mendorong bagi semua instansi di pemerintah provinsi maupun kabupaten, menggunakan kebijakan satu peta ini. Kita sudah memulai sebenarnya. Kemarin kan kita sudah punya peta tata ruang yang baru, setelah hasil verifikasi dari pelepasan kawasan. Jadi semua informasinya terbaru dan bisa menjadi acuan. Terkait perizinan, mereka juga harus terstandar petanya. Terutama skalanya. Kita sarankan ke teman-teman kabupaten kota, untuk menggunakan skala peta yang lebih kecil. Misalya 1 banding 50.000 atau 1 banding 25.000. Sehingga kenampakan spasialnya di peta itu sudah semakin jelas, dan potensi deviasinya juga tidak terlalu tinggi. 

Setiap beberapa tahun, ketika diidentifikasi, kita harus melepaskan kawasan hutan. Karena sudah menjadi wilayah pemukiman. Ini kan menjadi dampak pertumbuhan baik secara demografi maupun ekonomi. Bagaimana menurut anda?

Kalau kita bicara soal demografi, saya pikir ini masih cukup tinggi. Kalau tidak salah, data statistik untuk pertumbuhan kita 1,14 persen per tahun. Ini bisa menjadi sumber ancaman juga. Karena itu memang, optimalisasi dan pengelolaan pemanfaatan ruang ini harus dilakukan dengan baik. Hutan kita sebenarnya masih cukup banyak. Tapi masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan seperti yang saya bilang tadi. Misalnya di Lore Utara, banyak lahan yang masih dalam penguasaan perusahaan dalam skala besar. Padahal itu bisa dimanfaatkan oleh rakyat untuk kepentingan ekonomi mereka. Memang kita tidak bisa menghindari laju pertumbuhan penduduk. Tapi bisa disiasati, karenaa lahan kita tidak pernah bertambah. Makanya optimalisasi tadi. Terutama terkait produktifitas lahan. Lahan yang sedikit, tapi bisa memproduksi hasil yang besar. Ini juga tentu harus disentuh dengan teknologi. Misalnya prouksi padi kita sekarang 15 ton, harus ditingkatkan sampai 12 ton, tanpa harus memperluas lahan. 

Bagaimana soal koordinasi antar penerintah sendiri. Sepertinya ini punya masalah tersendiri dalam iklim otonomi sekarang.

Bagi saya, kalau bicara koordinasi ada kesalahan mewarisi sebuah instrumen kebijakan. Ada pemahaman yang keliru, ketika era otonomi ini dimulai. Seolah-olah antara pemerintah kabupaten dan provinsi itu tidak ada kaitan. Ada yang memahami seperti itu. Padahal tidak begitu semestinya. Dalam prosesnya, sebenarnya harus saling bekerjasama. Untunglah dalam UU nomor 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah, beberapa sektor strategis sudah diatur sebagai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Tidak lagi dibagi dengan pemerintah kabupaten. Misalnya soal perizinan terkait sumberdaya mineral, kelautan, kehutanan, ini sudah diberikan ke provinsi. Ini dijelaskaan pada pasal 14 UU tersebut. Karena ini diangap sangat istrategis, sehingga selama ini banyak pihak yang menjual murah kepada investor. Padahal kita harus berfikir lebih jauh, agar ini bisa diwariskan kepada generasi kita berikutnya. Jadi kita tinggal menunggu peraturan pemerintahnya lagi. Undang-undangya sudah ada. Mudah-mudahan ini bisa menjadi peluang bagi kita untuk menata sumberdaya alam kita yang kaya ini. 

Anda yakin keberadaan UU ini bisa menjadi peluang SDA kita bisa termanfaatkan dengan baik. Kita bisa terhindar dari situasi-situasi seperti sebelumnya?

Tentu kita harus optimis. Urusan mengelola negara dan kekayaannya ini tidak bisa kerja masing-masing. Kemarin kan terjebak dalam pemahaman yang keliru tadi. Bukannya membagi peran, malah menganggap mereka paling berwenang untuk mengatur wilayahnya sendiri. Ada ungkapan; “Saya kan dipilih oleh rakyat saya. Ada hal apa anda mau mencampuri urusan dalam rumah tangga kami” begitu yang selalu kita dengar. Kan tidak boleh seperti itu. Pusat melakukan apa, provinsi melakukan apa, kabupaten melakukan apa. Mestinya kan harus membagi peran. Padahal UU tahun 2007 tentang pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan daerah sudah jelas diatur. Tapi kan ini yang sering diindahkan. Karena semangatnya sudah terlajur mengacu pada konsep otonomi yang salah tadi. Memang kalau soal presepsi bisa berbeda-beda. Tidak mungkin sama. Tapi ada hal yang sifatnya universal, yang bisa jadikan bahan berfikir untuk apa ini kita lakukan. Ini yang nantinya bisa menggiring kita berfikir untuk kepentingan bersama dan untuk masa akan datang. Kalau kita baca semua undang-undang yang ada, semua bertujuan pada kemakmuran rakyat. 

 Selama anda berkarir di instansi kehutanan, apa yang anda anggap perlu diperbaiki?

Tantangan utama bagi kita sesungguhnya adalah bagaimana melakukan pengelolaan birokrasi ini. Saya sering mengatakan ke teman-teman di pusat. Semakin baguskan kita ini melaksanakan amanah ini? Ini terkait dengan rasa kepemilikan. Seolah-olah kalau bicara tentang hutan, kita hanya menjadi ‘penjaga kebun’ saja. Selagi pusat masih mengangap kita di daerah seperti itu, semuanya akan sulit. Kedepan kita berharap, dengan pemerintahan yang baru, dengan membangun sinergitas pemerintah pusat dan daerah. Kita berharap ada kesetaraanlah antara pusat dan daerah. Bukankah sudah ada gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah? Tapi pusat tidak mendelegasi seperti itu. Kita mau bangun jalan saja, kalau wilayahnya masuk kawasan hutan, harus minta izin pusat dengan seretentetan birokrasinya yang berbelit-belit. Contohnya saja dengan Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu. Masalahnya terjadi  mulai tahun 2001, baru bisa diselesaikan tahun 2014. Ini karena semua urusannya harus ke pusat. Mereka di Dongi-dongi sudah dienclave, artinya wilayah yang mereka tempati sudah dilepaskan dari kawasan hutan, sudah menjadi area pemanfaatan lain. 

Tapi apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan memperluas wilayahnya?

Ini kan soal pendekatan yang harus dilakukan. Mereka harus menjadi bagian dari kita, untuk menjaga hutan. Kita kan tidak bisa mengontrol mereka. Keberadaan kita berbeda. Memangnya kita mampu mengawasi mereka siang dan malam? Maka ini perlu adanya upaya persuasif kepada mereka, agar mereka juga mempunyai tanggungjawab terhadap hutan. Tapi begini, kalau kita mampu menyediakan lapangan kerja kepada mereka, pasti mereka tidak masuk hutan. Memang slogan ‘hutan lestari dan masyarakat sejahtera’ ini tidak semudah apa yang kita bayangkan. Rasanya agak sulit ini akan berjalan paralel, kalau kita tidak memberi pembagian tugas seperti apa yang saya bilang tadi. Kalau urusan yang bisa dieksekusi di daerah, kenapa harus menunggu pusat. Kita tidak bisa hanya mengatakan ini tidak boleh, itu tidak boleh. Masyarakat punya kehendak yang sangat sederhana, hanya butuh makan. Kalau orang sudah lapar, memang bisa ditahan-tahan? Rasanya mustahil kalau urusan SDA ini hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tanpa melibatkan unsur masyarakat.
Kemarin, saya sempat diundang oleh pemerintah Jerman. Kami diperkenalkan dengan wilayah-wilayah mereka yang 300 tahun lalu rusak, kemudian dihutankan kembali. Kita juga mendatangi sebuah wilayah, yang lapangan kerjanya tidak seimbang banyaknya dengan penduduknya. Jadi kesimpulannya, kalau lapangan kerja cukup, pasti masyarakat tidak merambah hutan.

Ok. Ini pertanyaan lebih personal. Umunya orang senang bekerja dengan hobinya, apa juga anda demikian?

Saya sudah memulai karir di instansi kehutanan sejak tahun 1984, sampai sekarang berarti sudah 30 tahun. Persoalan hobi, itu sangat relatif. Saya awalnya memang sarjana kehutanan dan sampai sekarang bekeraja di instansi ini. Soal kenyamanan dan hobi itu, saya pikir semua pekerjaan akan dijalankan dengan baik kalau kita mencintainya. Sehingga kita bisa bekerja dengan sepenuh hati, ikhlas dan terus bersemangat. Saya senang bekerja disini. Soal dinamika kerja, saya pikir di setiap bidang pekerjaan masing-masing punya problem. Tinggal bagaimana kita menyiasatinya.

Kamis, 27 November 2014

Demi Pengabdian untuk Ilmu Pengetahuan, Keluar Masuk Hutan Sudah Menjadi Hobi



Prof. Ramadhanil Pitopang
Salah satu Penggagas Herbadrium Celebense


SUDAH tak terhitung jumlahnya, malam-malam dingin yang ia lalui selama bertahun-tahun berburu spesimen di hutan-hutan Sulawesi.  Berteman nyamuk, meringkuk dibalik kantong tidur untuk bertahan dari udara dingin pegunungan. Kalau komitmen diukur dari upaya seperti itu, maka kecintaan Prof. Ramadhanil terhadap dunia biologi tumbuhan tak perlu diragukan. Pria kelahiran Payakumbuh tahun 1964 ini mulai jatuh cinta dan serius untuk mengoleksi spesimen-spesimen di Sulawesi, setelah mendapat kesempatan dalam sebuah program pelatihan Manajemen Herbarium oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun1998. Selama 6 bulan, ia dan 6 orang rekan seprofesinya menekuni  sistem manajemen Herbarium di Kebun Raya Bogor. Dari Sulawesi Tengah, hanya dia yang ikut pada kesempatan sangat berharga tersebut. Berbekal pengalaman singkat itulah, setelah pulang ke Palu, ayah tiga anak ini mulai melakukan pengoleksian setahun kemudian. Dengan ruangan dan peralatan apa adanya, ia dan beberapa rekannya mulai melakukan upaya pengabdian terhadap ilmu pengetahuan itu. Mengumpulkan sejumlah spesimen Sulawesi. Baru-baru ini, ia bersama dua rekannya meluncurkan sebuah buku berjudul ‘Flora Fauna Endemik Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah’. 

Akhir pekan lalu, dosen Fakultas Mipa Untad ini meluangkan waktu berbincang-bindang dengan awak media ini, berkisah tentang bagaimana ia dan rekan-rekannya membangun Herbarium Celemebense di Universitas Tadulako, sebuah pusat studi biodiversity Sulawesi. Untuk lebih lengkapnya, berikut kutipan wawancaranya bersama reporter Mohammad Sahril dan Fotografer Ananda Rioeh.

Saya dengar anda baru megeluarkan buku, tentang apa itu?

Ya, ini buku kami yang terbaru. Kami mencoba mendokumentasikan flora dan fauna endemik di Kabupaten Sigi, khususnya di wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Dunia mengakui, bahwa kita punya berbagai macam spesies endemik, yang sangat unik. Karena itu, kami sebagai orang-orang yang memang punya hobi dan belajar tentang tumbu-tumbuhan ini, merasa terpanggil untuk melakukan upaya-upaya ini. Hitung-hitung bisa bermanfaat bagi orang lain. Terutama bagi dunia pendidikan kita. Kami senang, pemerintah Kabupaten Sigi mendukung dan sangat peduli tentang keanekaragaman hayati yang mereka miliki. Upaya ini, memang tidak bisa kami lakukan sendiri, tanpa dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah.

Kapan anda benar-benar serius untuk memulai upaya pengoleksian spesimen-spesimen ini?

Sekitar tahun 1999. Waktu itu, saya masih di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Ini sebagai rangkaian yang tak terpisahkan dari kegiatan yang saya ikuti di Bogor tahun sebelumnya. Waktu itu, LIPI bekerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi, melakukan Pelatihan Manajemen Herbarium. Kami, saya dari Palu, bersama teman-teman dari seluruh Indonesia, kumpul di Kebun Raya Bogor, di rumah Belanda yang tua itu. Kami mengikuti pelatihan itu selama enam bulan. Tidak boleh pulang selama itu. Saya, pas dengar kegiatan ini langsung tertarik. Karena memang ini hobi saya sejak sekolah dulu. Nah, setelah mengikuti pelatihan itu, harapannya, kami para alumni ini bisa menjadi penginisiasi untuk membangun Herbarium di masing-masing daerah, atau di universitas yang mereka wakili. Inilah cikal-bakal berdirinya Herbarium-Herbarium yang ada sekarang di seluruh Indonesia.

Oh ya, sebenarnya apa Herbarium ini, apa fungsinya?

Iya, memang waktu awal saya memperkenalkan ini, orang-orang bertanya-tanya, hewan apa lagi ini. Tapi akhir-akhir ini mereka sudah kenal, setidaknya tempatnya di kampus Untad itu mereka sudah tahu. Nah, kalau kita bicara apa itu Herbarium, ini adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk mengoleksi, mendokumentasikan spesimen-spesimen di suatu daerah. Herbarium ini asalnya dari kata herba, tumbuhan. Awalnya memang sebagai upaya untuk melakukan pengkoleksian suatu spesies tumbuhan, dengan cara mengeringkan. Jadi tumbuhan-tumbuhan itu, entah berupa daun atau akar, dikeringkan dan dilapisi kertas secara bolak balik, untuk mempertahankan kondisi bentuknya. Nah, seiring perkembangannya, istilah ini menjadi sebuah laboratorium yang mempunyai tugas dan fungsi untuk mengoleksi, mendokumentasikan dan mendata base seluruh tumbuhan, baik yang masih hidup atau yang sudah dikeringkan, atau yang diawetkan dengan spiritus atau ethanol. Nah sekarang, kalau orang bilang Herbarium, orang-orang sudah tau, bahwa ini sebuah lembaga yang bertugas untuk mendokumentasikan koleksi-koleksi tumbuhan. Semua koleksi yang ada di dalamnya, disebut spesimen Herbarium. Kalau ada orang bertanya bagaimana bentuk daun kayu Eboni, kita bisa tunjukkan koleksi Herbariumnya dalam bentuk yang sudah dikeringkan, atau yang diawetkan dengan ethanol. Sederhanya, Herbarium bisa dikatakan sebagai laboratorium atau perpustakaan khusus tumbuh-tumbuhan.

Ada berapa model pengoleksian Herbarium?

Macam-macam, semua tergantung dari jenis tumbuhan yang akan dikoleksi. Kan setiap tumbuhan itu, punya proses yang berbeda-beda juga ketika didokumentasikan. Kalau tumbuhan-tumbukan kecil, bisa diambil mulai dari akar, batang hingga daunnya. Kalau pohon kan tidak mungkin dicabut dengan akar-karnya. Kalau anggrek, karena bunganya cepat patah, akarnya mudah rusak, makanya dibuat dalam koleksi basah, ditaruh di dalam larutan ethanol dan campuran IAA, kalau tidak salah. Ada juga yang dalam bentuk kayu-kayuan. Misalnya rotan atau kayu-kayu yang besar. Ini disebut koleksi carpology. Misalnya untuk menunjukkan contoh-contoh kayu yang diperdagangkan yang ada di Sulawesi. Kalau Herbarium yang sudah berkembang, biasanya mereka mengoleksi tumbuhan dalam bentuk hidup, sepeti yang di Bogor itu, Kebun Raya Bogor. Jadi, orang-orang bisa melihat langsung bentuk aslinya yang masih hidup di kebun.

Kalau yang disimpan di dalam gedung, cara perawatannya bagaimana?

Umumnya, yang disimpan di dalam gedung, yang dalam koleksi kering, diawetkan dengan cara dioven, dihilangkan kadar airnya supaya tidak berjamur. Terus ada pemeliharaan setiap tiga bulan. Semua spesimen itu dirawat, dimasukkan ke dalam mesin pendingin, freezer pada suhu minus 20 derajat. Ini dilaukan untuk membersihkan spesimen, membunuh kutu atau jamur-jamur yang bisa merusak koleksi-koleksi tersebut. Perawatan secara reguler ini, untuk harbarium-herbarium besar seperti di Bogir itu (Bogoriense), mereka sudah tidak lagi memasukkan boks-boks penyimpanan itu ke dalam freezer. Karena mereka punya koleksi sudah banyak, sekitar 3,5 juta spesimen. Kan repot kalau dikeluarkan satu per satu. Akan memakan waktu. Makanya mereka mengggunakan cara yang sama seperti yang sering kita lihat ketika tim kesehatan melakukan fooging untuk membasmi jentik-jentik nyamuk demam berdara. Kalau di Herbarium, gedungnya dikunci rapat-rapat, kemudian koleksi-koleksi itu dikeluarkan dan diasapi dengan bahan-bahan kimia pembasmi serangga dan jamur. Dan yang mengerjakan itu, ada konsultan khususnya. Tidak boleh kita sendiri yang melakukannya. Karena ini juga menyangkut keamanan kesehatan lingkungan. Memang perhatian mereka terhadap dokumen-dokumen ini sangat besar. Perlindungannya sama dengan dokumen-dokumen negara.

Saya kagum dengan ada koleksi milik National Herbarium of Netherlands di Laiden. Mereka punya spesimen koleksi itu dari tahun 1700. Itu masih tersimpan dan masih awet sampai sekarang. Yang menarik, waktu beberapa tahun lalu kami pernah berkunjung kesana bersama Almarhun Rektor Untad lama, pak Sahabudin Mustapa, dengan rombongan pemerintah daerah, termasuk mantan gubernur kita, pak Paliuju. Pak gubernur waktu itu tanya koleksi kayu Eboni mereka. Mereka tunjukkan. Koleksi itu diambil pada tahun 1800an. Mungkin di lokasi tempat diambil tumbuhan itu sudah tidak ada lagi kayu hitamnya. Tapi mereka masih punya koleksi Herbariumnya. 

Kalau di Indonesi, apa semua Universitas atau daerah punya Herbarium?

Tidak semua. LIPI punya data tentang herbarium-herbarium yang ada di Indonesia. Bisa dibuka melalui ‘Indeks Herbarium Indonesiano’, di situ bisa kelihatan di mana saja Herbarium di Indonesia. Baik yang ada di universitas, atau milik lembaga-lembaga riset. Kalau di Kalimantan Timur, itu ada namanya Herbarium Wanariset. Itu milik kehutanan. Kalau di Palua, ada Herbarium Manokwari. Ini termasuk yang sudah lama, dari tahun 1950an, warisan Belanda. Sudah ada pada masa penjajahan dulu, sama seperti yang di Bogor. Setahu saya, yang dibangun dari nol, Herbarium kita yang ada di Untad, Herbarium Celebense, Herbarium Wanariset dan Herbarium Berau di Kalimantan. Dan semua model pengelolaanya mengadopsi pola yang dikembangkan di National Herbarium of Nedherlands di Leiden. Kebetulan technical support-nya dari Belanda. Misalnya untuk teknik pengeringan, mulai dari bentuk boks, ukuran kertas. Ukuran kertas ini, berbeda-beda untuk setiap Herbarium di dunia. Kalau kita, sama dengan yang di Leden, karena kita mengacu ke sana. Jenis kertas ini juga khusus. Tidak seperti kertas yang umum kita gunakan. Kertasnya adalah kertas yang bebas asam. Kertas Acid Free namanya. Kenapa harus bebas asam, supaya tidak mudah rusak, atau terdegradasi oleh bakteri, atau dimakan rayap. Kalau kertas Acid Free, tahan lama. Bentuknya tebal dan licin. Nah, yang kita pakai sekarang, itu semua adalah bantuan dari Belanda. Walaupun Indonesia juga sudah mulai produksi.

Oke, bisa cerita sedikit bagaimana pengalaman pertamanya melakukan pengoleksian?

Ceritanya lumayan panjang ini. Tapi singkatnya begini. Saya menganggap ini sebagai sebuah rangkaian kejadian. Pertama-tama sekali, setelah pulang dari Bogor tahun 1998 itu, saya dan beberapa teman sudah mulai mengoleksi dengan cara seadanya. Kami memulai dari pencarian di daerah Banawa. Saya bersama dengan Alm. Pak Ramli Tantu, pak Nur Sangadji dan pak Abdu Hamid Nur. Kebetulan waktu itu tim ini punya kerjasama join research dengan pihak Canada, melalui programnya CIDA. Koleksi kami pertama itu dari kawasan pesisir Banawa itu. Terus saya minta sama pak Akbar satu ruangan. Dari satu ruangn kecil itu saya dan teman-teman mulai bekerja, mengumpulkan dan menyimpan spesimen-spesimen itu. Waktu itu memang belum terstandarisasi peraalatan yang kami gunakan. Kertas-kertas pun kami gunakan yang biasa, sama seperti kertas-kertas yang digunakan untuk foto copy itu. Dalam pikiran kami, yang penting ada dulu koleksi. Terus kebetulan setelah itu ada tim riset dari belanda, mau melakukan penelitian di hutan kita di Sulteng. Saya bersama dengan pak Sukur Umar, paka Muslimin dan pak Imam. Kami bawa waktu itu mereka ke Lalundu, tapi bukan itu yang mereka cari. Akhirnya dua hari kemudian kami bawa ke Bolapapu, daerah Kulawi. Nah mereka suka, karena hutan seperti itu yang mereka maksud. Mulai dari situ, kawasan itu mereka plot-kan menjadi satu site lokasi penelitian mereka. Nah dari situlah upaya ini mulai berkembang. Saat itu juga, kami buat semacam kontrak MoU. Walaupun itu hanya semacam ‘MoU-MoU-an’ dengan dekan Fakultas Pertanian, Muhammad Idris ketika itu. Lucu juga waktu itu, semua dilakuakn secepat mungkin. Di laptop pak Syukur Umar itu diketik MoU. Kemudian jempat pak Idis di rumahnya untuk tanda tangan. Nah, mulai saat itulah kita bekerjasama dengan pihak Jerman. Kita susun proposal bersama untuk proyek-proyek penelitian. Setelah itu, ada program Stability of Rainforest Margins in Indonesia  (STORMA). Dari sinilah Herbarium mendapat kesempatan untuk dijadikan posisi tawar dalam projek itu.  Ketika kami tawarkan, mereka langsung tertarik. Karena mereka anggap kita punya banyak kekayaan boidiversity yang unik dan belum diiventarisir secara menyeluruh. Nah, begitulah cikal bakalnya. Jadi, sebelum ada Jerman, kita sudah memulainya. Dengan mereka, semakin jelas mimpi-mimpi kita dan harapan pihak LIPI yang telah memberi pelatihan kepada saya dan teman-teman lain se-Indonesia.

Di Sulawesi sendiri ada berapa Herbarium?

Di Manado ada. Herbarium Walaceana namanya. Pak Harpolo yang pegang di sana. Tapi belakangan saya tanya kabarnya, katanya sudah tidak aktif. Katanya situasinya kurang mendukung. Malah sekarang, dia berpindah dari dunia tumbuhan ke serangga. Sedangkan di Unhas, ada pak Alm. I Nengah Wirawan di Fakultas Kehutanan. Dia orang LIPI juga. Waktu TNLL kita ini dipersiapkan menjadi Taman Nasional, dia dan beberapa temannya sudah memulai pengkoleksian. Itu untuk memenuhi kebutuhan pencanangan Taman Nasional itu. Dia yang melakukan penelitian di sini. Sebagian koleksi dia itu disimpan di Unhas. Setelah itu, dia keluar dari Unhas, bekerja di LSM Internasional di Hawai. Dan sekarang, saya dengar kabar, situasinya sama dengan yang di Manado. Tidak ada yang urus. Saya juga khawatir dengan kita punya di Tadulako. Situasinya bisa sama, kalau tidak ada orang yang serius mengurusnya. Saya kan sekarang sudah di jurusan. Walaupun sekali-sekali saya datang ke Herbarium melihat-lihat koleksi dan tanya-tanya perkembangan mereka di sana.

Mudah-mudahan Herbarum kita tidak seperti di Unhas dan di Manado itu. Tapi, apa bagi anda ada jaminan kalau Herbarium itu bisa terus menjalankan tugas dan fungsinya?

Ya, kita berharap bisa tetap bertahan untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Tapi bagi saya, tugas-tugas itu harus dilakukan oleh orang-orang yang memang mempunyai hobi dan berdedikasi tinggi dalam bidang itu. Saya juga kemarin kaget, tiba-tiba saya diberi tugas di jurusan, dan dibilang bahwa saya tidak lagi di Herbarium. Sudah ada orang lain di sana. Seperti yang anda bilang, kami membangun itu di awal-awal benar-benar tak punya kepentingan lain, selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dan anda pasti tahu, orang-orang yang bekerja dengan hoby, pasti akan betah dan senang bekerja. Saya, karena memang ini hobi sejak sekolah dulu, merasa senang saja berada di lab, masuk keluar hutan. Berteman dengan nyamuk, dingin. Sampe hanyut-hanyt di sungai, tapi saya nikmati. Memang pekerjaanyaa ini sedikit rumut. Mulai dari kita temukan dia (spesimen) di hutan dengan segala upaya, terus dibawa ke lab, dikeringkan dan diberi nama sehingga dia benar-benar menjadi spesimen.Kalau hanya tumbuhan yang dikeringkan, tidak punya nama dan informasi yang terkait dengan itu, sama saja seperti sampah. Butuh upaya lanjutan untuk membuatnya menjadi dokumen dengan label ilmiah. Jadi tidak mudah mengumpulkan spesimen-spesimen itu. Bagi saya, spesimen-spesimen itu seperti anak-anak saya sendiri. Dulu waktu saya masih di Fakultas Kehutanan, ada 5 orang kader mahasiswa yang saya persiapkan. Mereka selalu ikut ke lapangan. Tapi belakangan, mereka memilih berkarir di dinas lain, karena tidak ada formasi untuk bidang ini. Padahal kalau mau mau mengembangkan Herbarium ini, butuh banyak orang. Mereka akan menangani spesialisasi masing-masing. Ada di bagian roran misalnya, bagian anggrek dan lain sebagainya.

Sejauh ini yang anda lihat di Herbarium kita?

Saya selalu sempatkan ke sana setiap bulan. Sayangnya, tidak ada perubahan. Tidak ada koleksi bertambah, padahal  kita masih punya banyak spesies yang belum terdokumentasikan. Saya anggap  masih banyak misteri-misteri biodiversity kita yang belum terungkap. Dunia mengakui kita sebagai 1 dari 10 biodiversity yang ada di dunia. Itu karena endemisitasnya yang cukup tinggi. Saya sering beritahu mereka untuk melakukan upaya-upaya peningkatan. Kalau ditugaskan di sana lagi, saya mau sekali. Tak perlu saya jadi kepalanya. Karena bidang saya disitu. Bisa dibilang, bidang ini sudah menjadi bagian dari roh saya.

Oh ya, kita flashback sedikit ke belakang. Kenapa anda sangat mencintai dunia tumbuh-tumbuhan ini?

Waktu SMA saya memilih kelas IPA. Ada guru biologi saya namanya ibu Rukmini. Dia yang mengajarkan kami tentang bagaimana cara membuat koleksi-koleksi Herbarium. Kemudian saya masuk Jurusan Biologi di Universitas Andalas, saya bertemu dengan pak Rusdi Tamin. Beliau menjadi idola saya. Kalau turun praktek ke lapangan, dia kelihatan sangat ceria sekali. Pak Tamin hanya S1, tapi kemampuannya mengenal tumbuh-tumbuhan itu luar biasa. Beliau juga orang gila kerja. Dia yang membangun Herbarium di Universitas Andalas. Beliau kami gelar sebagai kamus biologi berjalan. Setiap kami tanya satu jenis tumbuhan, umumnya beliau tahu. Nah, itu yang mengilhami saya untuk tekun di dunia biodiversity ini. Ditambah lagi, dalam filosofi kami orang Padang, bahwa wajib hukumnya belajar dari alam dan tumbuh-tumbuhan. Banyak sekali ilmu pengetahun di alam bebas. Ini yang kami sebut dengan salah satu pepatah minang; “Alam Takambang menjadi Guru”. Maksudnya, setiap fenomena yang terjadi di alam, itu adalah pelajaran. Waktu S1, skripsi saya tentang spora. S2 di Bandung, di ITB, tesis saya tentang biologi lingkungan. Pas S3 di IPB, saya mulai fokus di ilmu Taksonomi Tumbuhan.

Oh ya, saya dengar anda pernah belajar di luar negeri, di mana itu?

Ia, di Dublin College University di Irlandia, tahun 2011. Waktu itu kebetulan saya ambil program post doktoral. Ada prorgam Erasmusmundus yang dibiayai oleh Komisi Eropa. Saya dapat kesempatan itu sebelum mendat gelar Profesor. Secara kebetulan juga, ada seminar di Aceh waktu itu, tentang land use change after tsunami. Setelah presentase, saya ketemu profesor yang menjadi tim seleksi untuk program dari Erasmusmudus ini. Saya diwawancara, akhirnya bisa diterima. Saya urus semua dokumen, akhirnya bisa berangkat. Saya di Dublin mengajar selama satu semester. Dan melakukan riset juga. Kebetulan yang urus di sini ibu Dr. Aiyen. Dia yang tawarkan saya pertama kali untuk program itu. 

Yang terakhir, apa harapan anda tentang Herbarium kita?

Seperti yang kita ketahui, Herbarium itu punya fungsi strategis untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Kami berharap dulunya, dia akan menjadi tempat berkumpulnya para peneliti-peneliti biodiversity, menjadi reserch station. Sekarang kita sudah terdaftar secara internasional. Kalau ada peneliti yang membuat laporan penelitian, kalau mereka menulis tentang spesimen yang ada di kita, mereka selalu menyebutkan kode Herbarium kita.  Mengngingat fungsinya sangat strategis dan situasinya bisa timbul tenggelam, kita berharap orang-orang yang ditempatkan menjadi pengelola, bisa memahami itu sehingga kerja-kerja ilmu pengetahuan itu tetap berlanjut. Dan semakin banyak lagi koleksi-koleksi kita. Akan lebih meningkat lagi dari sekarang yang masih 15.000 koleksi. Sekarang kita sudah dikenal, dan punya jaringan. Sebagai Herbarium yang dibangun dari nol, kita sudah punya ribuan koleksi. Dan ingat, kita masih punya banyak kekayaan biodibersity yang belum terinventarisir. Ini yang menjadi tantangan dan juga peluang bagi para ilmuan kita. Saya berharap, ini bisa menjadi perhatian kita bersama, sampai pada mewujudkan mimpi-mimpi kita untuk melahirkan sebuah kebun raya, yang didalamnya tersimpan koleksi tumbuh-tumbuhan endemik Sulawesi.