Sejak kapan teknologi supra intensif ini ditemukan?
Tahun 2010, kalau tidak salah pak Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Sulteng, Hasanuddin Atjo sudah memulai mengkonstruksi teknologi ini di Sulsel. Dan
tahun 2011 sudah mulai dikembangkan di
sini.
Bagaimana upaya ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat,
apa langkah-langakh yang sudah dilakukan?
Sekarang kan sudah didapat teknologinya.
Upaya-upaya untuk mengkampanyekan teknologi ini sudah dilakuakn, melalaui
desiminasi, melalaui pertemuan-pertemuan . Pak Hasanudddin sudah me-launcinya
di Sulsel ketika teknologi ini ditemukan. Memeng dalam upaya memperkenalkan
teknologi baru, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan upaya
untnuk mengggencarkan kampanye-kampanye. Dan sekarang sudah ada beberapa daerah
yang mengadopsi teknologi ini. Di Sulsel sendiri sudah ada beberapa spot yang
mengembangkan ini. Di Nusa Tenggara Timur, sudah mulai dikembangkan juga.
Kemarin yang konsultasi ke kami, ada yang dari Aceh, Sibolga dan Belitung, yang
ingin mengembangkan teknologi ini. Nampaknya, lambat laun teknologi ini akan
diadopsi oleh banyak kalangan petambak, hanya memang butuh waktu. Memang harus
diakui, ini usaha padat modal dan high risk. Tapi sangat menjanjikan. Jadi
dibutuhkan orang-orang yang memang punya kompetensi di sini, untuk
mengoperasikan teknologi ini.
Untuk itu, apa ada semacam pelatihan-pelatihan yang
dibuka sebagai upaya transformai teknologi ini?
Ini sangat penting sekali karena teknologi
supra intensif ini membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional.
Artnya, SDM harus disediakan terlebih dahulu, untuk mengopresikan teknologi
ini. Sebagai contoh, kemarin ada salah satu pengusaha tambak yang menitipkan
teknisinya dua orang di tempat kami di Takalar, untuk magang. Meskipun hanya
beberapa minggu saja, tapi sudah ada upaya ke arah sana, bagaimana menyiapkan
teknisi menjadi lebih terampil sebelum menangnai atau terjun langsung dalam
menjalankan tenologi supra intensif ini. Kami selalu membuka peluang kepada
siapa saja, pengusaha yang mau memagangkan tenaga teknisinya untuk megang
setiap tahun. Tinggal disesuaikan dengan jadwal siklus penanaman kami.
Bagaimana potensi pembukaan tambak supra intensif di
Sulteng?
Sulteng ini potensinya lebih. Tidak seperti di
Sulsel, yang hanya dikembaangkan di bebebrapa spot saja. Berdasarkan riset kita
kemarin, secara kelayakan lahannya, Sulteng punya lebih banyak di banding
Sulsel. Kelayakan lahan ini kan sangat penting. Tidak semua kawasan pesisir bisa
dibuka untuk usaha tambak supra intensif. Dia mempunyai beberapa persyaratan.
Tambak supra intensif harus dibangun pada lokasi dengan elevasi minimal 4 meter
dari permukaan laut. Sehingga air itu masuk tidak secara gravitasi melalui pasang-surut.
Tapi harus melalui pompa. Dan tidak boleh mengkonversi mangrov. Selain karena
alasan konservasi, juga secara teknis
ini tidak layak karena berada di area pasang surut. Inliah yang benar-benar
menggunakan teknologi.
Seberapa besar pendekatan teknologi dilakukan?
Hampir semua pendekatannya dengan teknologi.
Karena prinsip kerjanya kan membudidayakan udang pada wadah yang kecil, tapi
padat penebarannya tinggi. Sehingga kita dapat mencapai produktivitas tinggi
dengan sudah menghemat lahan dan sumber daya air.
Saya dengar dalam
sekali tanam, ada masa yang dinamakan panen parsial, ini untuk apa?
Kenapa panen parsial? Kalau kita punya satu petak
tambak, dan kita sudah menargetkan. Misalnya daya dukung tambak ini 10 ton.
Nah, target itu bisa dicapai, kalau kita menciptakan daya dukung tambak sebesar
10 ton. Dalam teknologi supra intensif, kita menggunakan kincir untuk mensuplai
oksigen ke dalam air. Semakin tinggi padat penebaran, kan semakin tinggi
oksigen yang dibutuhkan. Ketatapannya, 1 HP kincir itu bisa mensuport setara
500 kilo gram udang. Nah, kalau kita target 10 ton, berari kita membutuhkan 20
kincir.
Dalam proses pemeliharaan, produksi bio masa
(udang) yang ada di dalam tambak sudah hampir mencapai daya dukung, disitulah
kita melakukan panen parsial. Ini dilakukan untuk mengurangi beban lingkungan
tambak untuk menopang hampir 10 ton tadi. Panen ini akan mengurangi 20-30
persen udang. Harapannya, ini untuk meningkatkan pertumbuhan udang yang ada di
dalamnya. Kalau tidak dikurangi, kan akan menghambat pertumbuhan. Sebab
ruangnya sudah mulai sempit. Setiap dia mencapai 10 ton, kita pangkas lagi
melalui panen parsial. Panen parsial ini untuk menjaga daya dukung tambak itu.
Tapi begini, menciptakan daya dukung ini juga bisa dibantu dengan teknologi, melalui
kincir tadi. Kalau kita punya kincir banyak, disesuaikan dengan kondisi bio
masa yang ada di dalam tambak. Tidak pelu panen parsial. Contohnya begini.
Kalau kita berada dalam satu ruangan, sendiri, tidak perlu pake AC. Cukup
berharap udara dari ventilasi saja sudah cukup. Tapi kalau kita berlima atau
berenam, kita harus menggunakan AC untuk menciptakan kondisi udara yang baik
untuk bernafas. Kalau tidak kan pengap. Nah, begitu juga dengan kondisi di
dalam tambak itu.
Berapa kali panen parsial dilakukan dalam sekali tanam?
Ini dilakukan biasanya setiap umur udang 80
atau 90 hari. Yang pasti ini dilakukan ketika size (ukuran) udang sudah
mencapai seratus. Kita bisa melihat grafik pertumbuhannya, yang bisa
menunjukkan hubungan antara bobot udang
dengan umurnya. Biasanya, pada usia 90 hari, udang sudah mencapai bobot 10
gram. Jadi kalau bobotnya 10 gram, berarti dalam sekilo itu ada 100 ekor. Kan
satu kilo itu 1000 gram. Jadi size udang itu, artinya berapa ekor dalam satu
kilo gram. kalau size-nya seratus, berarti 100 ekor dalam satu kilo. Kalau size
90, ya 90 ekor dalam satu kilo.
Terus kapan panen besarnya?
Biasanya panen total atau panen besar itu
dilakukan dengan melihat kondisi dimana hasil yang diperoleh itu tidak sesuai
lagi dengan biaya pakan. Di saat itu kita sudah panen, panen besar. Biasanya,
kalau vaname itu panen besarnya di usia-usia 105-120. Kalau pembudidaya ingin
size yang besar, biasanya di usia 120. Tapi kalau dari perhitungan ekonomi,
kalau kita sudah memberi pakan seharga Rp.1 juta dalam satu hari, tetapi
peningkatan bobot udangnya tidak bertambah. Atau biaya pakan sudah tidak
sebanding, itu sudah tidak efisien. Sudah harus panen. Untuk mengetahui itu,
kita lihat grafik pertumbuhan. Kalau kondisi grafiknya sudah mulai membentuk
husuf S, itu sudah tidak efisien. Peningkatannya melambat. Jadi kalau kondisi
pertumbuhannya sudah maksimal, kondisi peningkatan bobotnya sudah mulai
melambat, disitulah kita sudah mulai panen. Tapi perlu diingat, ini harus
disesuikan dengan kondisi permintaan pasar. Kadang pasar membutuhkan size yang
kecil, kadang yang besar. Jadi tidak mesti panen dengan umur udang 120 hari.
Yang saya pernah dengar, bahwa usaha ini cukup sensitif, jadi perawatannya harus ekstra. Apa ada teknologi
yang bisa memudahkan pengontrolan konsidi air dan udara dalam tambak?
Ada. Suhu dan kadar garam, memang mempengaruhi
kondisi kehidupaan udang. Suhu kan terkait proses metabolisme. Nah semakain
tinggi suhu (pada batas tertentu), dia akan memacu proses metabolisme di dalam
tubuh udang. Sehingga udang bisa lebih cepaat tumbuh besar. Sementara kalau
suhu rendah, itu akan mengurangi proses metabolisme tadi. Udang akan lebih kerdil.
Kita mesti mengatur pada suhu yang optimal tadi. Sama dengan salinitas atau
kadar garam. Semakin tinggi kadar garam, udang akan mengeluarkan energi lebih
banyak untuk mempertahankan cairan tubuhnya. Supaya seimbang antara cairan di
dalam tubuh udang dengan lingkungannya. Energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan cairan tubuh (istilahnya) osmoregulasi tadi, membuat energi
untuk pertumbuhan itu sedikit. Karena dialokasikan untuk mempertahankan cairan
tubuh saja. Itu makanya, kalau udang hidup dalam salinitas yang tinggi,
biasanya kerdil. Dia makan hanya untuk mempertahankan hidup saja, bukan untuk
tumbuh. Makanya kita, dalam pembudidayaan ini dituntu untuk mencipkatakn
kondisi lingkungan yang optimal tadi.
Bagaimana dengan kebersihan sanitasinya?
Ini juga sangat penting. Udang ini kan makan
dan buang kotorannya dalam satu lingkungan. Udang dengan budidaya intensif dan
supra intensif airnya lebih cepat kotor, dibandingkan dengan kepadatan rendah,
seperti dalam metode tradisional. Untuk mempertahankan air ini dalam kondisi
prima, kita ada beberapa teknologi yang digunakan untuk membantu proses
pemurnian kondisi lingkungan. Misalnya dengan penggunaan probiotik, penggunaan
beberapa bahan adiktif seperti mineral dan lain sebagainya. Itu juga sebagai
upaya untuk perombakan kotoran-kotoran sehingga tidak menjadi racun bagi udang.
Apa kotoran itu tak perlu dibuang?
Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi
padat penebarannya, kan berkorelasi dengaan pakan. Semakin banyak pakan yang
ditaburkan di tambak, semakin tinggi juga beban limbahnya. Penggunaan probiotik
tadi juga ada batasannya. Makanya, kalau di teknologi supra intensif kita bantu
dengan central green. Ini sebagai jalan keluar limbah-limbah tadi. Kalau ini
tidak dibuang, akan menjadi racun sendiri bagi udang.
Saya dengar ada teknologi untuk bisa melakukan pemantauan
jarak jauh?
Ya, alat ini sebagai sensor yang bisa
mendeteksi suhu dan oksigen secara online. Alat ini kita pasang di tambak, dan
tergantung kita menentukan waktunya. Mau menyetel per menit atau per jam. Kalau
saya memasangnya per 30 menit. Jadi setiap setengah jam alat ini membaca dan
menyimpan data. Kita bisa akses datanya via internet. Dari rekaman data itu,
kita bisa lihat grafik perkembangannya. Misalnya kita pasang ukurang oksigen
tidak boleh turun dari angka empat. Kapan dia pada titik empat, kita sudah
langsung warning di situ. Apa yang terjadi dan apa yang harus kita lakukan.
Misalnya kalau dalam kondisi oksigen sudah mulai kritis di jam-jam empat sore
itu, saya harus tambah kincir. Teknologi ini membantu untuk memudahkan kita
mengambik keputusan lebih cepat. Karena mengukur oksigen tidak menggunakan alat
juga agak susah.
Yang paling penting di sini dikontrol adalah kadar oksigennya.
Kalau suhu, di daerah tropis begini fluktuasinya tidak terlalu besar. Oksigen
ini, selain dipakai oleh udang sendiri, juga dipakai oleh hewan-hewan lain yang
ada di dalam tambak. Seperti plangton, mikro organsme, proses-proses bakteri.
Itu kan mengkonsumsi oksigen.Misalnya seperti saya bialng tadi, satu hp untuk
500 kilogram udang, tidak segitu ukurannya. Kita harus tambahkan lagi 20
persen, ini dipakai oleh organisme non udang tadi. Misalnya kalau plangton,
siang dia memproduksi oksigen, malam dia mengkonsumsi oksigen. Makanya oksigen
pada malam hari itu, mengalami penurunan yang cept sekali. Dengan teknologi
ini, saya bisa mengontrol kondisi oksigen di dalam tambak melalui koneksi
internet. Bisa melalui ponsel android.
Apa tambak bisa disterilkan dari mikro organisme non
udang tadi?
Tidak bisa. Air tambak disterilkan tidak bisa.
Justeru banyaak mikro organisme yang membantu proses perombakan bahan organik
sebagai efek samping dari udang itu sendiri. Seperti kotoran udang, sisa-sisa pakan. Kita juga
perlu tau, bahwa hampir 30 persen pakan yang diberikan ke udang tidak dimakan.
Tapi kalau dalam teknologi supra intensif, ini bisa terhindarkan. Makanya
penting sekali bagi kita untuk mengetahui kapan kita harus menambah dosis
pakan, atau mengurangi dosis pakan. Kita punya alat yang namanya Anco, untuk
mendeteksi kondisi ini. Alat itu bisa menujukkan bagaimana pola konsumsi udang.
Kalau misalnya sekali diberikan dalam waktu satu jam sudah habis, berarti kita
harus tambah dosis pada jam berikutnya. Begitu juga sebaliknya, kalau selama
dua jam tidak habis pakan, berarti kita harus kurangi pakan.
Untuk efisiensi penerapan pakan ini, kita juga
menggunakan automatic feeder. Ini alat untuk menabur pakan sesuai dengan
keinginan kita. Kita bisa mengukur berapa banyak pakan setiap kali lempar, mau
satu kilo, atau berapa. Begitu juga dengan wktu pelemparannya, apa setiap 10
menit atau satu jam, terserah kita. Jadi pakan sudah disediakan di dalam tong,
waktu dan takarannya sudah diatur, dia tinggal melempar sendiri. Tapi secara
manajemen, kita tidak mesti sepenuhnya mengandalkan ini. Kalau saya, mebagi 70
persen saja menggunakan alat ini, tiga puluh persennya menunggakan tenaga
manusia, manual. Dengan begitu, setiap waktu operator datang ke tambak, melihat
apa yang terjadi, sekaligus monitoring tambaknya.
Untuk satu tambak, diawasi berapa orang?
Kalau kami, selalu merekomendasikan ukuran
tambak seribu meter per segi. Kami punya empat petak, satu petak untuk tandom
air. Kita punya satu teknisi elektrik, dua untuk operasional. Untuk membari
makan, ganti air, mompa dan sebagainya. Jadi tiga sampai empat orang sudah
cukup. Kalau untuk satu petak sebenarnya 1 orang saja cukup.
Menurut anda, perlu tidak para teknisi ini disertifikasi,
sebaagai jaminan profesionalitas kerjanya?
Ia, ini sangat penting bagi mereka dan juga
para pengusaha yang mau berinvestasi di usaha tambak ini. Para teknisi ini bisa
membuat posisi tawar yang seimbang dengan pemilik modal. Ada kontrak-kontrak
yang jelas mereka buat. Mereka dipercaya karena ada garansi daari sertifikasi
itu. Sebeb pelu diingat, usaha ini padat modal dan beresiko tinggi. Makanya
SDM-nya harus benar0benar terampil.
Oke. Kita sedikit flashback ke belakang. Teknologi ini apakah
temuan baru atau adopsi dari luar?
Dulu sebelum bertemu pak Atjo, saya mencona
dalam skala kecil, ukuran bak yang hanya 30 ton. Saya isi 33 ribu ekor. Dengan
segala fasilitas apa adanya, hanya mengandalkan blower kodok 1 unit, itu pun
kita bisa dapat 120 kilo. Kemudian pada tahun berikutnya, saya coba dengan bak
yang dasarnya seperti perahu, agak kerucut dengan volume 7 ton, saya isi 15
ribu bibir. Pas panen, 100an kilo lebih juga. Setelah itu, pak Atjo mulai
mengembangkan teknologi ini, tapi masih menggunakan tanah. Kemudian beliau
mengubah dengan konstruksi beton dan lain sebagainya. Sebelum dan pada masa itu
kami banyak diskusi untuk menemukan alternatif-alternatif atas kendala yang
terjadi. Dalam fase pengembangannya, pak Atjo duluan, karena swasta. Kami
pemerintah, duitnya keluar berhitung tahun anggaran. Kalau swasta kan kapan
saja bisa diadakan. Tapi sebenarnya, teknologi ini tidak hanya kita saja yang
mengembakna. Di Texas, Amerika, Cina, mereka
juga sudah mengembangkan. Malah mereka sudah bisa mencapai 11 kilogram
per meter kubik. Menerut teman saya yang
pernah kesana, bedanya mereka hanya melakukan dalam skala terbatas, waktu itu.
Hanya dalam skala untuk kebutuhan-kebutuhan pilot roject dan kebutuhan
penelitian. Bukan untuk kegiatan komersial.
Apa karena tingkat kebutuhan di sana sedikit?
Tidak juga. Bicara teknologi ini tidak mudah.
Butuh proses yang panjang. Jangankan teknologi, dulu waktu ada benur, bibit
udang yang masih mengandalkan benih dari alam. Itu mudah sekali orang-orang
diajak. Dulu kan kalau tidak salah, di sini daerahnya nener dan benur. Tapi
dengan adanya hatchery, tempat pembenihan udang, butuh 3 sampai 4 tahun untuk
mengajak orang menabur dengan hachery. Padahal mereka tahu ini menguntungkan.
Jadi teknologi ini memang butuh waktu, apalagi ini padat modal dan resiko
tinggi.
Secara hitungan-hitungan ekonomi, usaha ini cukup menjanjikan.
1 tahun katany bisa BEP. Ini apa karena kebutuhan pasar sangat besar, atau
proses budidayanya yang praktis dengan bantuan teknologi?
Kalau dibilang budidayanya praktis, tidak
juga. Sebab semakin tinggi modal yang kita alokasikan, semakin tinggi juga
tingkat stress-nya. Saya kerja dengan 100 ekor per meter persegi, akan lebih
tinggi tingkat stress dibanding penebaran 300. Tapi memang kebutuhan udang ini
tinggi. Walaupun ada waktu-waktu tertentu dimana harga udang turun. Ada
sikusnya. Orang yang sudah biasa berbisnis di bidang ini sudah tahu dia, kapan waktu-waktunya
harga tinggi dan rendah. Eksportir ini biasanya memperhitungkan dengan cara
kuota. Mereka punya perjanjian target dengan buyer luar negeri. Berapa target
yang harus mereka penuhi hingga akhir tahun. Misalnya pada Desember dia sudah
memenuhi kuota pasarnya. Pada bulan Januari hingga beberapa bulan berikutnya,
itu bisa turun harganya. Tapi seanjlok-anjloknya harga, masih tetap di atas
biaya produksi. Kalau biaya produksi saya antara 28 sampai 33 ribu rupiah per
kilogram. Harga jual paling rendah itu antara 40 sampai 50 ribu per
kilogram.
Kalau memulai usaha ini, apa yang harus dilakukan paling
awal?
Yang pertama itu kondisi georgrafis. Tidak
semua lahan bisa dijadikan tambak tradisional, semi intensif, intensif dan
supra intensif. Disamping kelaayakan lahan, juga penting adalah kemampuan
modal. Dalam prosesnya kan kita bisa melakukan inovasi. Misalnya dari yang
tradisional menjadi semi intensif, kemudiaan menjadi intensif dan seterusnya.
Tapi ini juga disesuikan dengan kemampuan lahan, seberapa jauh ini dapat
dikembangkan. Kaitannya dengan kondisi tanah, misalnya kalau lahan kita tanah
gambut atau tanah sulfat masam, itu sudah tidak mungkin kita menggunakan ternologi semi intensif tanpa ada input
teknologi. Kita bisa tingkatkaan itu dari semi ke intensif, misalnya dengaan
cara menggunakan musa plastik untuk tambak tanah yang dengan kondisi sulfat
masamnya tinggi, sehingga padat penyebarannya bisa ditingkatkan.