Kamis, 27 November 2014

Korbankan Ruang Tamu Rumah Menjadi Perpustakaan


Mohammad Isnaeni Muhidin, 
Pemilik Perpustakaan Mini Nemu Buku

Karena hobi, orang bisa melakukan apa saja. Orang-orang menginvestasikan banyak hal dalam hidupnya. Waktu, pikiran dan materi adalah kombinasi investasi yang akan terus mengkristal menjadi sebuah kenyataan, mewujud dalam cita-cita. Terkadang, orang lain mengangap mereka aneh, seperti apa yang dilakukan Opik di Garut. Ia membangun perpustakaan alam dengan cara mendatangi para petani di kebun atau sawah mereka dengan tumpukan buku-buku miliknya. Apa yang ia inginkan hanyalah sebuah kepuasan. Dengan apa yang ia punya, ia terus menempa diri untuk mendedikasikan hidupnya pada dunia literasi. Ia yakin, petani yang membaca buku akan lebih unggul pikirannya dibanding yang tidak membaca. Di Palu, diam-diam seseorang telah membuat kontrak dengan ibunya. Mau pindah ke Palu, asal diberi ruang untuk menjalankan hobinya. Neni Muhidin, yang mulai jatuh cinta dengan buku semasa semester III saat kuliah dulu, pindah ke Palu bersama anak isterinya setelah Ibunya memberi lampu hijau; “lakukan saja hal positif apa yang kau mau, asal kau di Palu”. Dan Neni pun hijrah. 

Kamis (13/11) siang kemarin, Palu Ekspres menyambanginya di perpustakaan mini miliknya di Jalan Tururuka Palu Selatan. Dalam suasana santai, ia berbagi cerita tentang usahanya membangun perpustakaan, mengorbankan ruang tamu rumahnya, untuk diletakkan rak-rak setinggi orang dewasa dengan buku-buku yang berjubel di atasnya. Ruangan itu menjadi semakin sesak. Tak mampu menampung ribuan buku yang setiap waktu datang dari hasil donasi orang-orang. Berkat upayanya selama ini, pertengahan Oktober lalu, Neni mendapat penghargaan dari Kemendikbud, sebagai perpustakaan komunitas terbaik se Indonesia di hari Literasi internasional di Kendari. Untuk mengetahui lebih jauh tentang cerita bapak dua anak ini, berikut petikan wawancaranya dengan reporter Mohammad Sahril dan fotografer PE, Ananda Rioeh.

Kemarin saya dengan anda mendapat penghargaan dari kementerian, penghargaan apa itu?

Iya, saya juga kaget. Ada beberapa kategori yang dinilai dan mendapat penghargaan. Di anataranya ada kategori perpustakaan lingkungan “Rumah Akar” di Medan, mereka berbasis lingkungan karena di alam terbuka. Yang kategori anak-anak, di Jember yang dapat. Nah, saya dapat yang kategori komunitas. Saya tak tau juga kenapa mereka bilang saya berbasis komunitas. Waktu Firman, orang Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) pusat datang asistensi, kebetulan saya pertemukan dia dengan teman-teman komunitas. Mungkin itu yang menjadi indikator mereka.

Kapan perpustakaan ini dibangun?

Ini sedikit panjang ceritanya. Sebelum di sini, saya setelah kuliah menetap di Bandung. Mama minta saya pulang. Cuman saya bilang kalau saya mau bangun perpustakaan ini. Nah, dia terbuka dan asal saya mau pindah. Itu sekitar tahun 2007. Sebelumnya saya bangun di teras samping itu. Ada 3 rak yang saya punya. Sederhana saja modelnya, papan-papan saya susun dengan pembatas batu bata. Jadi ada tiga susun. Tapi karena sering hujan dan atas bocor, akhirnya saya pindahkan. Ya seperti sekarang ini, di ruang tamu itu. Itu buku yang saya bawa dari zaman kuliah. Tak banyak, sekitar 300 judul saja dulunya.

Sebelum jauh mengembara di dunia literasi, kapan anda pertama mengenal buku?

Mengenal buku? Saya jatuh cinta untuk pertama kali ketika membaca novel filsafat milik Sustain Garder “Dunia Sofie”. Karya ini, terus terang telah memikat hati saya untuk mengenal lebih jauh tentang buku, tentang membaca. Inilah yang bagi saya sebagai pengalaman sangat pribadi dalam membaca. Waktu itu saya baru semester III di bangku kuliah. Ini termasuk lambat sebenarnya. Zaman SMA saya acuh saja dengan buku, saya anggap orang baca buku itu sia-sia. Tidak ada asiknya. Jadi saya tidak heran kalau saat ini, anak SMA itu tidak suka baca buku. Karena mereka belum menemukan pengalaman baca secara personal. Bagi saya, berdasarkan pengalaman pribadi, membaca itu bukan karena diajak-ajak. Tapi karena keinginan sendiri dan merasakan pengalaman menyenangkan itu. Dunia Sofie ini kan, membangun percakapan-percakapan filsafat yang mengena dengan usia-usia remaja; siapa saya, untuk apa saya hidup dan seterusnya. Itu yang membuat saya tertarik. Tapi soal ini bukan hanya pada buku. Apapun tentang hobi itu, dimulai ketika seseorang mendapatkan kesan dari pengalaman menyenangkan itu. Mau film, mau olah raga dan lain sebagainya.

Ketika itu, bagaimana atmosfer lingkungan anda, apa memang mendukung? Saya dengar juga ada muncul istilah aktifis buku, bagaimana itu?

Ya, bisa juga dibilang begitu. Tapi bagi saya ini semacam sebuah rangkaian situasi yang pada waktu itu secara alamiah membentuk saya dan teman-teman. Saat itu, sebelum peristiwa 1998 situasi politik berubah.  Situasi saat itu, kalau mahasiswa tidak turun ke jalan, itu bukan mahasiswa namanya. Kemudian saya mengenal dunia pers mahasiswa (Persma) di kampus. Dan satu-satunya tempat bagi saya untuk mengatasi kegalauan, hanya di Presma. Inilah yang membangkitkan gairah saya untuk menjadi aktivis ketika itu. Buku, waktu itu menjadi teman paling dekat bagi para aktivis mahasiswa. Banyak klub-klub buku yang mendiskusikan soal-soal politik dan situasi terkini. Ini yang mungkin dikatakan sebuah atmosfer kritis yang juga memberi dampak terhadap saya. Situasi politik menjelang reformasi itu, membuat kita menjadi lebih kritis. Saya masuk Universitas Pasundan tahun 1996, dua tahun kemudian reformasi. Di masa-masa semester awal itu, pencarian kita untuk menjawab rasa ingin tahun itu besar sekali. Saya lebih banyak larut di Persma daripada aktivitas kuliah. Sayang juga sih, orang tua kirim uang setiap bulan untuk ongkos kuliah. Tapi saya lebih dapat banyak hal di Presma. Tanggungjawab saya ada dua, harus selesaikan kuliah dan Persma. Tapi saya lebih merasa bertanggungjawab terhadap Persma.

Apa pengalaman yang paling anda ingat ketika menjadi Persma?

Wah ini yang saya tidak bisa lupakan. Oleh teman-teman Persma Balairung di UGM, saya ditantang untuk mewawancarai Umar Khayam. Orang-orang tau, bahwa tidak mudah menembus sastrawan ini. Dia termasuk orang yang ego budayawannya tinggi. Apalagi kepada saya yang hanya Persma. Tapi saya ambil tantangan itu. Pertama dia tolak. Pak Umar bilang kalau dia capek dan lagi tidak mau diwawancarai. Saya buat strategi. Saya buat dia menjadi marah, agar dia semakin terpancing. Saya bilang; “Bapak tidak bisa begitu, saya jauh-jauh datang dari Bandung untuk mewawancarai bapak, masa ditolak begitu saja”. Akhirnya dia terpancing. “Sampeyan ini bandel”.  Dia tanya lagi; kamu pasti bukan orang Sunda? Saya bilang saya orang Sulawesi. Orang bugis kamu? Saya bilang bapak saya orang Bugis. Dan inilah pintu masuk bagi saya. Tapi yang paling membuat saya berpeluang, dia tanya tentang mantan Rektor Untad pertama, Prof. Matulada. Itu teman baiknya. Dari sini saya bisa masuk, disuruh datang ke ruangannya di kampus. Perkara akan bicara apa di sana, itu urusan nanti. Yang penting saya bisa tembus.

Pengalaman lain yang mengkonstruksi hobi ini?

Oh iya, satu lagi. Tentang Tobucil di Bandung. Toko Buku Kecil milik Tarlen. Setau saya Tobucil sudah 3 kali pindah. Kalau saya ke Bandung, saya pasti sempatkan ketemu Tarlen. Terus terang, toko buku itu menginspirasi saya. Sampai sekarang, dia mempraktekkan betul literasi itu. Kami sering share kalau ketemu. Misalnya soal gerakan-gerakan literasi yang akan dibangun di setiap daerah. Ternyata berbeda-beda pendekatannya. Tadinya saya pikir bisa. Waktu di Tobucil dulu, Tarlen buat banyak klub baca. Mulai dari anak SMP yang sudah suka baca buku, sampe pensiunan tentara. Saya waktu itu terlibat aktif dalam klub baca Pramoedya Ananta Toer. Mulai dari kehidupan pribadinya Pram sampai urusan sikap politiknya, kami ulas. Dari situ juga saya mulai jalan-jalan ke Jogja, ketemu teman-teman AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) di sana. Dari sinilah cikal bakalnya penulis-penulis Insist, seperti Putut EA, Eka Kurniawan yang novelis itu. Saya merasa harus ke Jogja dan berkenalan dengan orang-orang seperti mereka. Sama-sama kerja untuk On-Off, news letter sastra yang sangat eksperimen. Saya jadi lopernya di Bandung. Jadi mereka kirim dari Jogja, saya masukkan ke distro-distro.

Soal pendekatan yang berbeda ketika membangun iklim literasi, seperti apa itu?

Kalau kita ngomongin literasi di lokus yang berbeda, pendekatannya juga harus beda. Contoh kasus begini; kalau di Bandung Jogja dan Jakarta, kita modal sms atau mailing list saja mengundang, orang sudah datang. Di sini, kita harus mengundang orang pake kertas, namanya harus benar, sesuai gelarnya. Dan cara-cara itu memang saya tempuh di sini. Kadang kepikir, ada cara yang lebih mudah dan smpel untuk urusan ini. Tapi ya, situasinya memang begini. Padahal mereka yang diundang ini kan juga suka tentang acara-acara yang kita buat. Nah, pendekatan-pendekatan itu yang menurut saya, masih menjadi tantangan sampai hari ini.

Bagaimana dengan kondisi anak-anak muda kita sekarang, terkait literasi?

Yang saya lihat, dua-tiga tahun terakhir sudah mulai ada perubahan. Mereka tidak mengenal secara langsung apa itu literasi. Tapi kegiatan mereka sudah menjadi bagian dari kegiatan literasi. Misalnya abak-anak muda yang menjadikan hobinya menghasilkan. Contoh teman-teman yang suka gambar-gambar, desain, sablon kaos trus dijual. Artinya begini, mereka tau betul apa yang mereka kerjakan. Saya sering bilang bahwa literasi itu adalah kecakapan kita terhadap apa yang kita lakukan. Misalnya seorang PNS, dia sudah tau, kalau jadi seorang pegawai itu, harus tau undang-undang, cakap computer, internet dan lain sebaginya. Inilah kegiatan literasi secara sederhana. Jadi, bahwa perpustakaan itu bagian dari literasi, benar. Tapi tidak bisa literasi ini direduksi menjadi hanya sebatas perpustakaan dan buku. Komunitas-komunitas literasi saat ini, selain dia dengan buku, dia juga dekat dengan aktifitas lain. Misalnya sambil bercerita ngalor ngodul dengan teman-temannya, mereka merajut. Dan tangtangan bagi pegiat leterasi seperti saya sekarang adalah, membuat kegiatan yang mengundang orang datang, tapi tidak bermaksud mengguruinya. Tapi membuat mereka menjadi merasa aktual. Dia merasa betul bahwa dia ada. Terlibat dalam diskusi atau forum-forum itu. Kita tidak mengajarkan orang bagaimana menulis. Tapi memfasilitasi mereka untuk berbagi tentang tulisan-tulisannya. Dan dengan begitu, orang akan merasa aktual, kalau tulisannya dibaca dan ditanggapi orang.

Selain anda mengupayakan buku-buku ini sendiri, apa ada donasi dari pihak lain?

Ia, terakhir saya buat barter buku dengan pohon. Satu pohon satu buku. Dulu saya pernah dapat bantuan buku anak dari Yessi Gusman. Bukunya masih ada. Begitu juga dengan Rieke Diaptaloka. Dia sebenarnya mau bawa buku itu ke Sidoarjo, untuk anak-anak korban lumpur Lapindo. Tapi Pemdanya nolak, dianggap politis. Akhirnya dia kontak saya. Saya bilang yang saya mau sekali. Sekarang sudah lebih 7000 judul buku yang ada di perpustakaan ini. Tapi lebih banyak yang sastra. Saya juga punya banyak koleksi khusus sejarah-sejarah lokal Sulawesi dan Sulawesi Tengah.

Bagaimana dengan pinjam bukunya, apa harus jadi anggota?

Ia, saya buatkan kartu anggota. Tapi saya bilang ke mereka, bahwa jangan disamakan dengan meminjam di perpustakaan-perpustakaan di luar-luar. Saya bangun perpustakaan ini, saya mau orang-orang bertangungjawab, dan menjadi bagian dari perpustakaan ini. Ya, absurd memang. Maksud saya, siapa yang kita bisa percaya di zaman seperti ini? Tapi saya optimis, bahwa orang yang sudah mencintai buku, dia pasti akan menjadi lebih manusiawi. Kita juga menemukan orang-orang meminjam dengan waktu yang sudah lewat dari waktu peminjaman. Di sini, satu buku 2 minggu. Biasa mereka selipkan uang karena sudah lewat waktu peminjamannya. Tapi saya kadang tidak tega.

Apa ada masa-masa yang membuat anda ngedrop untuk mengurus semua ini?

Mungkin yang kamu maksud adalah soal dinamika komunitas. Kami punya bioskop Jumat, walaupun biasa ada konflik. Jadi mulai dari 2007 sampai sekarang, ada titik-titik jenuh itu memang. Dulu ada Nombaca untuk arisan buku, Hilda yang tangani. Dia pindah, Frida yang gantikan. Frida ke Papua, Ahsan yang gantikan. Ahsan sekolah di Jogja, tiada lagi orang. Dengan konflik-konflik yang saya alami itu, saya sempat bicara ke teman-teman; tanpa kalian pun, perpustakaan ini bisa jalan. Kadang-kadang kalau saya tertegun sendiri, seandainya buku-buku itu bisa bicara, mungin mereka akan bertanya, mau kamu apakan saya di sini. Itulah dinamikanya kalau membangun komunitas.

Ini termasuk dedikasi, entah sampai kapan, anda yang tahu dan waktu akan menjawabnya.

Ya, setiap apa yang dikerjakan orang, pasti ada dampaknya. Kalau misalnya apa yang saya kerjakan sekarang akan berdampak baik, ya sukur. Tapi yang saya mau sampaikan, bahwa gairah saya, passion saya memang ada di sini. Dihargai seperti dari kementerian kemarin, itu kan formalistis. Padahal kita tidak tahu, lebih banyak lagi orang-orang yang lebih punya dedikasi untuk literasi. Dihargai atau pun tidak, saya akan tetap pada passion saya.

Rencana anda kedepan, apakah akan mengembalikan ruang tamu itu sehingga rumah ini menjadi kembali layak?

Ia. Saya mau bangun yang lebih besar lagi. Itu tanah yang di Tanjung Tada sementara kita mau advokasi. Saya sudah menghadap Gubernur, dia kasih desposisi. Tapi ada urusan-urusan birokrasi yang menyangkut aset-aset itu. Gubernur sudah apresiasi gagasan ini. Saya bilang, kalau hanya untuk kepentingan pribadi saya mau ketemu gubernur terkait tanah itu, mungkin tidak. Tapi saya punya rencana ini, mau bangun perpustakaan. Tapi kita masih tetap berdoa, mudah-mudahan ada jalan sehingga kita bisa bangun perpustakaan impian itu.

0 komentar:

Posting Komentar