Pemilik Perpustakaan Mini Nemu Buku
Karena hobi, orang bisa melakukan apa saja. Orang-orang
menginvestasikan banyak hal dalam hidupnya. Waktu, pikiran dan materi adalah
kombinasi investasi yang akan terus mengkristal menjadi sebuah kenyataan, mewujud
dalam cita-cita. Terkadang, orang lain mengangap mereka aneh, seperti apa yang
dilakukan Opik di Garut. Ia
membangun perpustakaan alam dengan
cara mendatangi para petani di kebun atau sawah mereka dengan tumpukan
buku-buku miliknya. Apa yang ia inginkan hanyalah sebuah kepuasan. Dengan apa
yang ia punya, ia terus menempa diri untuk mendedikasikan hidupnya pada dunia literasi. Ia yakin, petani
yang membaca buku akan lebih unggul pikirannya dibanding yang tidak membaca. Di
Palu, diam-diam seseorang telah membuat kontrak dengan ibunya. Mau pindah ke
Palu, asal diberi ruang untuk menjalankan hobinya. Neni Muhidin, yang mulai
jatuh cinta dengan buku semasa semester III saat kuliah dulu, pindah ke Palu
bersama anak isterinya setelah Ibunya memberi lampu hijau; “lakukan saja hal
positif apa yang kau mau, asal kau di Palu”. Dan Neni pun hijrah.
Kamis (13/11)
siang kemarin, Palu Ekspres menyambanginya di perpustakaan mini miliknya
di Jalan Tururuka Palu Selatan. Dalam suasana santai, ia berbagi cerita tentang
usahanya membangun perpustakaan, mengorbankan ruang tamu rumahnya, untuk
diletakkan rak-rak setinggi orang dewasa dengan buku-buku yang berjubel di
atasnya. Ruangan itu menjadi semakin sesak. Tak mampu menampung ribuan buku
yang setiap waktu datang dari hasil donasi orang-orang. Berkat upayanya selama
ini, pertengahan
Oktober lalu, Neni mendapat penghargaan dari Kemendikbud, sebagai perpustakaan
komunitas terbaik se Indonesia di hari Literasi internasional di Kendari. Untuk
mengetahui lebih jauh tentang cerita bapak dua anak ini, berikut petikan
wawancaranya dengan reporter
Mohammad Sahril dan fotografer PE, Ananda Rioeh.
Kemarin saya dengan
anda mendapat penghargaan dari kementerian, penghargaan apa itu?
Iya, saya
juga kaget. Ada beberapa kategori yang dinilai dan mendapat penghargaan. Di anataranya
ada kategori perpustakaan lingkungan “Rumah Akar” di Medan, mereka berbasis
lingkungan karena di alam terbuka. Yang kategori anak-anak, di Jember yang
dapat. Nah, saya dapat yang kategori komunitas. Saya tak tau juga kenapa mereka
bilang saya berbasis komunitas. Waktu Firman, orang Forum Taman Baca Masyarakat
(TBM) pusat datang asistensi, kebetulan saya pertemukan dia dengan teman-teman
komunitas. Mungkin itu yang menjadi indikator mereka.
Kapan perpustakaan ini
dibangun?
Ini sedikit
panjang ceritanya. Sebelum di sini, saya setelah kuliah menetap di Bandung.
Mama minta saya pulang. Cuman saya bilang kalau saya mau bangun perpustakaan
ini. Nah, dia terbuka dan asal saya mau pindah. Itu sekitar tahun 2007.
Sebelumnya saya bangun di teras samping itu. Ada 3 rak yang saya punya.
Sederhana saja modelnya, papan-papan saya susun dengan pembatas batu bata. Jadi
ada tiga susun. Tapi karena sering hujan dan atas bocor, akhirnya saya
pindahkan. Ya seperti sekarang ini, di ruang tamu itu. Itu buku yang saya bawa
dari zaman kuliah. Tak banyak, sekitar 300 judul saja dulunya.
Sebelum jauh mengembara di dunia literasi, kapan anda pertama mengenal
buku?
Mengenal buku? Saya jatuh cinta untuk pertama kali ketika
membaca novel filsafat milik
Sustain Garder “Dunia Sofie”. Karya ini, terus terang telah memikat hati
saya untuk mengenal lebih jauh tentang buku, tentang membaca. Inilah yang bagi
saya sebagai pengalaman sangat pribadi dalam membaca. Waktu itu saya baru
semester III di bangku kuliah. Ini termasuk lambat sebenarnya. Zaman SMA saya acuh saja dengan
buku, saya anggap orang baca buku itu sia-sia. Tidak ada asiknya. Jadi saya
tidak heran kalau saat ini, anak SMA itu tidak suka baca buku. Karena mereka
belum menemukan pengalaman baca secara personal. Bagi saya, berdasarkan
pengalaman pribadi, membaca itu bukan karena diajak-ajak. Tapi karena keinginan
sendiri dan merasakan pengalaman menyenangkan itu. Dunia Sofie ini kan,
membangun percakapan-percakapan filsafat yang mengena dengan usia-usia remaja;
siapa saya, untuk apa saya hidup dan seterusnya. Itu yang membuat saya
tertarik. Tapi soal ini bukan hanya pada buku. Apapun tentang hobi itu, dimulai
ketika seseorang mendapatkan kesan dari pengalaman menyenangkan itu. Mau film,
mau olah raga dan lain sebagainya.
Ketika itu, bagaimana atmosfer lingkungan anda, apa memang mendukung? Saya dengar juga ada muncul istilah
aktifis buku, bagaimana itu?
Ya, bisa juga dibilang begitu. Tapi bagi saya ini semacam sebuah rangkaian
situasi yang pada waktu itu secara alamiah membentuk saya dan teman-teman. Saat
itu, sebelum peristiwa 1998 situasi politik berubah. Situasi saat itu, kalau mahasiswa tidak turun
ke jalan, itu bukan mahasiswa namanya. Kemudian saya mengenal dunia pers
mahasiswa (Persma) di kampus. Dan satu-satunya tempat bagi saya untuk
mengatasi kegalauan, hanya di Presma. Inilah yang membangkitkan gairah
saya untuk menjadi aktivis ketika itu. Buku, waktu itu menjadi teman paling
dekat bagi para aktivis mahasiswa. Banyak klub-klub buku yang mendiskusikan
soal-soal politik dan situasi terkini. Ini yang mungkin dikatakan sebuah
atmosfer kritis yang juga memberi dampak terhadap saya. Situasi politik
menjelang reformasi itu, membuat kita menjadi lebih kritis. Saya masuk
Universitas Pasundan tahun 1996, dua tahun kemudian reformasi. Di masa-masa semester awal itu,
pencarian kita untuk menjawab rasa ingin tahun itu besar sekali. Saya lebih
banyak larut di Persma daripada aktivitas kuliah. Sayang juga sih, orang tua
kirim uang setiap bulan untuk ongkos kuliah. Tapi saya lebih dapat banyak hal
di Presma. Tanggungjawab saya ada dua, harus selesaikan kuliah dan Persma. Tapi
saya lebih merasa bertanggungjawab terhadap Persma.
Apa pengalaman yang paling anda ingat ketika menjadi Persma?
Wah ini yang saya tidak bisa lupakan. Oleh teman-teman Persma Balairung di UGM, saya ditantang
untuk mewawancarai Umar Khayam. Orang-orang tau, bahwa tidak mudah menembus
sastrawan ini. Dia termasuk
orang yang ego budayawannya tinggi. Apalagi kepada saya yang hanya Persma. Tapi saya
ambil tantangan itu. Pertama dia tolak. Pak Umar bilang kalau dia capek dan
lagi tidak mau diwawancarai. Saya buat strategi. Saya buat dia menjadi marah,
agar dia semakin terpancing. Saya bilang; “Bapak tidak bisa begitu, saya
jauh-jauh datang dari Bandung untuk mewawancarai bapak, masa ditolak begitu
saja”. Akhirnya dia terpancing. “Sampeyan ini bandel”. Dia tanya lagi; kamu pasti bukan orang Sunda?
Saya bilang saya orang Sulawesi. Orang bugis kamu? Saya bilang bapak saya orang Bugis. Dan inilah pintu masuk bagi saya.
Tapi yang paling membuat saya berpeluang, dia tanya tentang mantan Rektor Untad
pertama, Prof. Matulada. Itu teman baiknya. Dari sini saya bisa masuk, disuruh
datang ke ruangannya di kampus.
Perkara akan bicara apa di sana, itu urusan nanti. Yang penting saya bisa
tembus.
Pengalaman lain yang
mengkonstruksi hobi ini?
Oh iya,
satu lagi. Tentang Tobucil di Bandung. Toko Buku Kecil milik Tarlen. Setau saya
Tobucil sudah 3 kali pindah. Kalau saya ke Bandung, saya pasti sempatkan ketemu
Tarlen. Terus terang, toko buku itu menginspirasi saya. Sampai sekarang, dia
mempraktekkan betul literasi itu. Kami sering share kalau ketemu. Misalnya soal
gerakan-gerakan literasi yang akan dibangun di setiap daerah. Ternyata
berbeda-beda pendekatannya. Tadinya saya pikir bisa. Waktu di Tobucil dulu,
Tarlen buat banyak klub baca. Mulai dari anak SMP yang sudah suka baca buku,
sampe pensiunan tentara. Saya waktu itu terlibat aktif dalam klub baca
Pramoedya Ananta Toer. Mulai dari kehidupan pribadinya Pram sampai urusan sikap
politiknya, kami ulas. Dari situ juga saya mulai jalan-jalan ke Jogja, ketemu
teman-teman AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) di sana. Dari sinilah cikal
bakalnya penulis-penulis Insist, seperti Putut EA, Eka Kurniawan yang novelis
itu. Saya merasa harus ke Jogja dan berkenalan dengan orang-orang seperti
mereka. Sama-sama kerja untuk On-Off, news letter sastra yang sangat
eksperimen. Saya jadi lopernya di Bandung. Jadi mereka kirim dari Jogja, saya
masukkan ke distro-distro.
Soal pendekatan yang
berbeda ketika membangun iklim literasi, seperti apa itu?
Kalau kita
ngomongin literasi di lokus yang berbeda, pendekatannya juga harus beda. Contoh
kasus begini; kalau di Bandung Jogja dan Jakarta, kita modal sms atau mailing
list saja mengundang, orang sudah datang. Di sini, kita harus mengundang orang
pake kertas, namanya harus benar, sesuai gelarnya. Dan cara-cara itu memang
saya tempuh di sini. Kadang kepikir, ada cara yang lebih mudah dan smpel untuk
urusan ini. Tapi ya, situasinya memang begini. Padahal mereka yang diundang ini
kan juga suka tentang acara-acara yang kita buat. Nah, pendekatan-pendekatan
itu yang menurut saya, masih menjadi tantangan sampai hari ini.
Bagaimana dengan
kondisi anak-anak muda kita sekarang, terkait literasi?
Yang saya
lihat, dua-tiga tahun terakhir sudah mulai ada perubahan. Mereka tidak mengenal
secara langsung apa itu literasi. Tapi kegiatan mereka sudah menjadi bagian
dari kegiatan literasi. Misalnya abak-anak muda yang menjadikan hobinya
menghasilkan. Contoh teman-teman yang suka gambar-gambar, desain, sablon kaos
trus dijual. Artinya begini, mereka tau betul apa yang mereka kerjakan. Saya
sering bilang bahwa literasi itu adalah kecakapan kita terhadap apa yang kita
lakukan. Misalnya seorang PNS, dia sudah tau, kalau jadi seorang pegawai itu,
harus tau undang-undang, cakap computer, internet dan lain sebaginya. Inilah
kegiatan literasi secara sederhana. Jadi, bahwa perpustakaan itu bagian dari
literasi, benar. Tapi tidak bisa literasi ini direduksi menjadi hanya sebatas
perpustakaan dan buku. Komunitas-komunitas literasi saat ini, selain dia dengan
buku, dia juga dekat dengan aktifitas lain. Misalnya sambil bercerita ngalor
ngodul dengan teman-temannya, mereka merajut. Dan tangtangan bagi pegiat
leterasi seperti saya sekarang adalah, membuat kegiatan yang mengundang orang
datang, tapi tidak bermaksud mengguruinya. Tapi membuat mereka menjadi merasa
aktual. Dia merasa betul bahwa dia ada. Terlibat dalam diskusi atau forum-forum
itu. Kita tidak mengajarkan orang bagaimana menulis. Tapi memfasilitasi mereka
untuk berbagi tentang tulisan-tulisannya. Dan dengan begitu, orang akan merasa
aktual, kalau tulisannya dibaca dan ditanggapi orang.
Selain anda
mengupayakan buku-buku ini sendiri, apa ada donasi dari pihak lain?
Ia,
terakhir saya buat barter buku dengan pohon. Satu pohon satu buku. Dulu saya
pernah dapat bantuan buku anak dari Yessi Gusman. Bukunya masih ada. Begitu
juga dengan Rieke Diaptaloka. Dia sebenarnya mau bawa buku itu ke Sidoarjo,
untuk anak-anak korban lumpur Lapindo. Tapi Pemdanya nolak, dianggap politis.
Akhirnya dia kontak saya. Saya bilang yang saya mau sekali. Sekarang sudah
lebih 7000 judul buku yang ada di perpustakaan ini. Tapi lebih banyak yang
sastra. Saya juga punya banyak koleksi khusus sejarah-sejarah lokal Sulawesi
dan Sulawesi Tengah.
Bagaimana dengan
pinjam bukunya, apa harus jadi anggota?
Ia, saya
buatkan kartu anggota. Tapi saya bilang ke mereka, bahwa jangan disamakan
dengan meminjam di perpustakaan-perpustakaan di luar-luar. Saya bangun
perpustakaan ini, saya mau orang-orang bertangungjawab, dan menjadi bagian dari
perpustakaan ini. Ya, absurd memang. Maksud saya, siapa yang kita bisa percaya
di zaman seperti ini? Tapi saya optimis, bahwa orang yang sudah mencintai buku,
dia pasti akan menjadi lebih manusiawi. Kita juga menemukan orang-orang
meminjam dengan waktu yang sudah lewat dari waktu peminjaman. Di sini, satu
buku 2 minggu. Biasa mereka selipkan uang karena sudah lewat waktu peminjamannya.
Tapi saya kadang tidak tega.
Apa ada masa-masa yang
membuat anda ngedrop untuk mengurus semua ini?
Mungkin yang
kamu maksud adalah soal dinamika komunitas. Kami punya bioskop Jumat, walaupun biasa
ada konflik. Jadi mulai dari 2007 sampai sekarang, ada titik-titik jenuh itu
memang. Dulu ada Nombaca untuk arisan buku, Hilda yang tangani. Dia pindah, Frida
yang gantikan. Frida ke Papua, Ahsan yang gantikan. Ahsan sekolah di Jogja,
tiada lagi orang. Dengan konflik-konflik yang saya alami itu, saya sempat
bicara ke teman-teman; tanpa kalian pun, perpustakaan ini bisa jalan. Kadang-kadang
kalau saya tertegun sendiri, seandainya buku-buku itu bisa bicara, mungin
mereka akan bertanya, mau kamu apakan saya di sini. Itulah dinamikanya kalau
membangun komunitas.
Ini termasuk dedikasi, entah sampai kapan, anda
yang tahu dan waktu akan menjawabnya.
Ya, setiap
apa yang dikerjakan orang, pasti ada dampaknya. Kalau misalnya apa yang saya kerjakan
sekarang akan berdampak baik, ya sukur. Tapi yang saya mau sampaikan, bahwa
gairah saya, passion saya memang ada di sini. Dihargai seperti dari kementerian
kemarin, itu kan formalistis. Padahal kita tidak tahu, lebih banyak lagi
orang-orang yang lebih punya dedikasi untuk literasi. Dihargai atau pun tidak,
saya akan tetap pada passion saya.
Rencana anda kedepan,
apakah akan mengembalikan ruang tamu itu sehingga rumah ini menjadi kembali
layak?
Ia. Saya
mau bangun yang lebih besar lagi. Itu tanah yang di Tanjung Tada sementara kita
mau advokasi. Saya sudah menghadap Gubernur, dia kasih desposisi. Tapi ada
urusan-urusan birokrasi yang menyangkut aset-aset itu. Gubernur sudah apresiasi
gagasan ini. Saya bilang, kalau hanya untuk kepentingan pribadi saya mau ketemu
gubernur terkait tanah itu, mungkin tidak. Tapi saya punya rencana ini, mau
bangun perpustakaan. Tapi kita masih tetap berdoa, mudah-mudahan ada jalan
sehingga kita bisa bangun perpustakaan impian itu.
0 komentar:
Posting Komentar