TIBA-TIBA AKU MENJADI KAKU. Bagaimana dan darimana harus memulainya. Semua mengaduk dalam sadar. Bukan karena tidak dalam keadaan mood,
tapi perhatian ini nyaris beterbangan ke masa lalu, yang tak pernah
saya temukan, karena memang itu telah lalu. Telah lampau. Dan
kelampauan itulah yang membuat roman ‘Larasati’ yang ditulis Pramoedya
Ananta Toer ini menjadikan saya terhuyung-huyung membayangkan masa
revolusi. Masa ketika semangat pemuda telah dibuktikan.
Dari sudut pandang Larasati sebagai tokoh kunci dalam roman ini,
dimulailah cerita dengan alur maju yang sesekali menghentak. Bermula
perjalanannya dari daerah pedalaman (Yogyakarta) menuju daerah
pendudukan (Jakarta) menggunakan kereta, berdesak-desakan merasakan hawa
revolusi yang dibakar semangat pemuda yang ia lewati di perjalanan.
Larasati adalah seorang artis, bintang film yang akrab dimata masyarakat
ketika itu. Kemolekkan tubuhnyalah membuat ia dipuja-puji di panggung,
bermain peran, bermain dalam film-film propaganda Belanda. Hingga
berkenalan dengan petinggi negara. Ia juga akrab dengan pria hidung
belang. Tapi ia adalah revolusi.
Ia saksikan orang-orang dengan senjata berseragam kusam dan gondrong,
jarang bersampo, dengan semangat revolusi berapi-api, dari balik
jendela kereta. Mereka bersorak ketika melihat Larasati “Ara, Ara,
sukses…selamat,” dan Larasati hanya tersenyum. Namanya lebih akrab
dipanggil Ara.
Beberapa kesempatan dalam kereta ia lewati dalam buruk sangka. Ia
lebih menduga-duga daripada berpikir positif kepada lelaki-lelaki dalam
perjalanan itu. Hingga ia pun sadar kalau semua lelaki itu adalah
pejuang revolusi. Rasa penyesalan hadir ketika para lelaki itu turun
dari kereta, dan Ara baru mengetahui itu semua, tanpa sempat berkenalan
dan meminta maaf.
Setibanya di Cikampek, Ara memulai perjuangannya. Sempat ia
menyaksikan kepiluan yang dialami para pemuda (orang republikan) dalam
penjara. Disiksa hingga tewas. Dengan watak kerasnya dan tak kenal
kompromi, Ara berusaha dan berdoa agar lolos dari Cikampek dengan
bantuan Martabat, sopir kolonel Surjo Sentono.
Cerita pun berjalan lebih dinamis ketika Ara lolos dari rayuan
Mardjohan, seorang penyiar dari Jakarta yang menghianat bergabung dengan
Nica (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Pemerintahan Sipil
Hindia Belanda. Bersama Martabat, pemuda yang diam-diam juga adalah
orang republikan itu, Ara menemui ibunya di kampung di Jakarta.
Pram kembali menggambarkan semangat revolusi dari para pemuda di
kampung Larasati itu. Kampung yang setiap malam-malamnya diramaikan
dentuman granat dan rentetan tembakan senjata mesin oleh tentara Nica.
Disinilah Ara menemukan semangat jaung yang lebih nyata dari orang-orang
muda. Ia pun terlibat dalam peristiwa heroik di sebuah malam, untuk
membuktikan kepada para pemuda kalau ia dan Tabat juga bagian dari
revolusi itu.
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau berani
tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita” kata komandan
pemuda desa saat bersama Ara dalam malam terakhirnya.
Kebebasan Ara pun tertawan karena ulahnya sendiri. Ia tak
menghiraukan permintaan ibunya agar pergi jauh dari kampung naas itu. Ia
pun disekap Jusman, pemuda arab yang juga mata-mata Nica, setelah
bertemu seorang penyair dari Yogya, Chaidir, dalam keadaan perut kosong
dan tubuh yang lemas.
Nyaris ia menyerah pada keadaan ditawan tanpa status, bukan isteri
bukan kekasih. Ia hanya memantau perjalanaan revolusi melalui radio dan
koran. Kematian Chaidir yang ia baca di Koran bersamaan dengan
dikuasainya Yogya oleh Nica. Ia menyerah dalam hati, mengatakan itu
semua pada ibunya.
Seiring berjalannya waktu, ia pun lepas dari tawanan Jusman dengan
pengorbanan ‘berdarah-darah’. Dan revolusi menemui kemenangan. Ara pun
kembali bertemu mantan kekasinya, Oding. Ia tinggalkan gubuk reot di
desa, pindah bersama ibunya serumah dengan Oding di gedung bekas
bangunan Belanda dalam suasana kemerdekaan.
Itulah Larasati dengan caranya sendiri dalam perjuangan. Dalam
revolusi pasca proklamasi. Cerita ini pertama kali dipublis, naskahnya
dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar Bintang Timur kolom
budaya, mulai 2 April 1960 hingga 17 Mei 1960.
Dan setelah itu dibukukan
mulai tahun 2000 oleh Hasta Mitra dan disusul cetakan berikutnya oleh
Lentera Dipantara hingga edisi ke lima, dengan tebal 180 halaman dan
ukuran 13X20 cm. Saya menyarankan anda untuk membacanya, biar keciprat
perasaan dan semangat juang masa lalu. Masa Revolusi.
Minggu, 02 Oktober 2011
LARASATI
19.44
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar