Yusuf
Raja Muda
PALU memang tidak semaju kota-kota di Jawa dan
Sumatera. Di wilayah Sulawesi, juga keberadaannya masih banyak ketinggalan.
Namun tak ada batasan antara perkembangan dinamika kota dengan kreatifitas
orang-orangnya. Buktinya, meski Palu belum banyak dikenal, namun orang-orangnya
bisa tampil dengan kreatifitasnya di kanca nasional maupun internasional. Sudah
banyak seniman Palu yang dikenal di tanah air. Kebanyakan adalah musisi, juga
pemain film. Namun untuk suteradara dan produser, masih beberap saja. Di era informasi
dan teknilogi yang semakin pesat ini, siapa saja bisa memugkinkan untuk
menjalankan hobinya, menjadi apa dan mau bengukir prestasi di bidang apa.
Setelah bioskop di Palu tutup di awal penghujung
tahun 1990an, praktis dunia film beralih dari layar lebar bioskop berpindah ke
media audio visual yang lebih kecil. Televisi dan komputer menjadi sarana yang
memungkinkan orang untuk menikmati film kesukaan mereka.
Adalah Yusuf Raja Muda, sosok yang mencoba mengambil
peluang itu untuk mengembangkan kreatifitasnya di dunia film. Sejatinya, ia
berprofesi sebagai PNS di lingkup pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Namun namanya
lebih dikenal secara nasional, bahkan internasional di dunia film pendek. Ia
menekuni hobinya dengan kesenangan dan kepekaan rasa, untuk mentransfer alam
bawa sadarnya ke media audio visual. Setelah kembali dari kunjungannya ke Kota Vladivostok
di Rusia Timur akhir pekan kemarin, Ucup, panggilan akrabnya, berbagi cerita
dengan wartawan media ini di salah satu cafe di Palu Selasa malam lalu (23/9).
Untuk mengetahui bagaimana Ucup menjalani hobinya, mengisi waktu-waktu senggang
di luar aktifitas kantornya, berikut petikan wawancaranya bersama Mohammad
Sahril, dengan gaya khas bicara anak muda Kota Palu.
Kabarnya
komiu baru pulang dari Rusia ya, acara apa?
Biasalah festival. Alhamdulillah “Halaman Belakang”
masuk nominasi lagi di Pacific Meridian Festival di Vladivostok, Rusia Timur. Satu
minggu di sana, sudah termasuk perjalanan. Itu kota kecil, jauh dari Rusia,
sudah mo dekat Korea malah. Tapi asik.
Bagaimana
respon-nya dorang di sana dengan Halaman Belakang?
Responnya sangat luar biasa. Banyak kritik, banyak
masukkan. Banyak juga yang mengaku bingung. Seperti yang biasa saya bilang,
bahwa semakin banyak orang mengomentari filmnya kita, akan semakin banyak
hal-hal yang tidak sempat kita pikirkan muncul. Maksudnya, apa yang kita
tampilkan melalui film itu, ketika diinterpretasi sama penonton, jadi lebih
kaya. Saya tidak sempat pikirkan, tapi penonton pikirkan. Saya merasa terharu
sekali, waktu acara diskusi setelah film-ku diputar. Ada ibu-ibu so tua. Bisa
dibilang nenek-nenek juga. Dia batanya pake bahasa Rusia, saya tidak mengerti,
tapi waktu selesai diskusi dia peluk saya, dia terharu sampe menangis.
Wah
sebegitunya kah? Luar biasa komiu le. Apa sebenarnya yang komiu mo sampaikan
melalui Halaman Belakang ini? Sampe nenek-nenek juga menangis-menangis.
Sebenarnya halnya sederhana. Saya hanya mau
menyampaikan kegelisahan yang selama ini saya pikirkan kepada semua orang.
Kalau di antara penonton itu ada yang sama pikirannya dengan kegelisahanku, ya
syukur alhamdulillah. Kalu tidak ada, tidak masalah. Yang penting kegelisahanku
tersalurkan. Tapi yang penting ada yang nonton. Kritik keras atau bapatende
sekalipun, dibutuhkan untuk saya secara pribadi, biar film-film-ku bisa
dinonton orang banyak nantinya.
Bagimana
ceritanya kah?
Saya hanya mau ceritakan tentang kondisi kemenakanku,
Jay, yang ditinggal papanya selama empat tahun. Dia menjalani hari-harinya
kurang bahagia. Tapi dia mencoba melarikan kekesalan dan protesnya dengan
bermain. Namanya juga anak-anak. Tapi saya tau, bahwa Jay itu sakit hatinya.
Makanya kalau saya belikan anakku permainan, Jey juga dibelikan. Saya berusaha
menggantikan sosok papanya. Walaupun dia panggil saya Papa Al. Biar Jay tetap
merasa ada orang yang selalu memperhatikan, saya selalu berusaha untuk tidak
melupakan Jay. Kalau saya pulang kantor, selain dua anakku, Jay juga saya tanya
kondisinya bagimana.
Saya
dengar film itu berbeda dengan film-filmnya komiu sebelumnya, gendrenya apa?
Film itu banyak orang bilang gayanya sangat
eksperimental, tapi saya tidak mau bilang begitu. Film itu jadi, mengikuti
bentuknya secara alamiah sampe tahap akhir. Saya melakukan beberapa kali
penulisan secara berulang-ulang, sampai pada saat saya merasa sudah memenuhi
unsur ‘rasa’ yang saya mau sampaikan itu. Saya pake gambar hitam putih, karena
waktu take awal, rasanya pas dengan gambar begitu. Orang bilang bahwa film ini
karena gayanya eksperimental, jadi banyak makna terselip di dalamnya.
Filosofislah, semiotiklah, dan macam-macam. Itu hak penonton untuk
menginterpretasi. Di Rusia kemarin, orang-orang bertanya, dan saya menjawab apa
adanya. Dorang tidak percaya. Mungkin dorang bilang saya bohong. Terpaksa saya
harus jelaskan lagi dengan apa adanya. Saya juga kaget, ada penontonku yang
mencoba menafsirkan adegan menyiram bunga dalam film itu kepada kondisi
keluarganya Jay dan harapannya. Ceritanya begini: kan ada tiga pot bunga, satu
pot itu layu bungannya. Mamanya Jay tidak menyiram bunga yang layu itu. Tapi Jay,
dengan gerakan yang agak segan, menyiram bunga yang layu tadi. Penontonku itu
bilang, ketika Jay menyiram bunga, artinya dia punya harapan bahwa ia ingin
papanya kembali. Bunga yang layu itulah sebagai bapaknya. Adegan itu, secara
tidak sadar saya konstruksi. Tapi itu benar adalah bentuk perwakilan pikirinku
yang mau disampaikan pada penonton. Temanku yang sutradara juga, orang Jogja,
sampe berfikir begini: bagaimana kondisi masa depan generasi kita sekarang,
kalau kebanyakan mereka mengalami masalah broken home? Tanggapan-tanggapan itu
saya tidak pernah pikirkan. Penonton itu memang luar biasa. Mereka mampu
melampaui gagasan-gagasan suteradara.
Tantu
itu film so di putar dimana-mana?
Tidak juga, cuman untuk beberapa festival di
Indonesia sudah diputar. Awalnya dapat penghargaan di Ladrang Award di Festival
Film Solo tahun 2013 lalu. Di luar negeri, sudah beberapa kali juga. Di Dubai,
di Rusia, dan di Iran nanti. Dan karena film itu, saya sudah beberap kali dapat
kesempatan ke festival internasional.
Saya
dengar film itu orang bilang film keluarga?
Betul skali. Tema yang saya angkat itu tentang
dinamika keluarga. Keluarga dekatku malah. Pemainnya juga keluargaku. Kan hanya
dua pemain dengan adegan tiga babak itu. Jay itu memang Jay yang asli,
kemenakanku. Ibunya Jay diperankan maituaku. Saya yang suteradara, dan
teman-temanku anak SMA yang jadi kameramen. Lokasinya juga di rumahnya maceku
di Maesa. Irit kan?
Oh
iyo, hampir lupa. So berapa lama komiu bergelut di film?
Pertama tidak langsung terjun. Liat-liat saja. Saya
memang suka nonton film. Dulu tahun 2003, orang Palu sudah buat film panjang.
Judulnya “Telunjuk tak Kerarah” karyanya Eman Sirajudin. Kebetulan maitua juga
yang main di film itu. Jadi saya ikut bagabung-gabung. Pertama saya buat film pendek
yang judulnya “Sahabat dan Harapan” tahun 2006. Ini cerita tentang dua anak
putus sekolah, yang sangat akrab berteman. Akhirnya mereka berpisah karena yang
satunya ada orang yang mau sekolahkan, tapi harus pindah ke Parigi. Itu film
pertamaku. Saya belajar pegang kamera pertama waktu Mace naik haji, saya
soting-soting sembarang, trus saya edit. Walaupun masih banyak kekurangannya,
tapi saya pus. Trus sampe sekarang saya Alhamdulillah masih tetap eksis di film
pendek.
Komiu
banyak diajak ke luar negeri karena kedekatan relasi dengan sutradara dengan
nama besar, bagimana itu?
Ia. Sebenarnya bukan hanya suteradara. Tapi dengan
kurator film, mereka yang sering jadi penggagas film, kritikus dan siapa saja
yang terkait dengan film. Pertama kali saya ke Jerman, itu karena disarankan
oleh Lulu Ratna. Dia suteradara, sekaligus kurator film. Waktu itu kebetulan
ada acara festival di Berlin. Berlinale nama festivalnya. Ini termasuk festival
film tua juga. Goethe institute Jakarta, ada program yang akan memberangkatkan
orang ke acara itu. Nah melalui Lulu, saya dikontak dan saya nyatakan siap
berangkat. Untung ada sedikit modal waktu kuliah dulu di Bahasa Inggris. Jadi
tidak terlalu khawatir. Untuk beberapa kali keluar juga begitu, selain memang
filmku masuk nominasi atau dapat penghargaan. Seperti waktu festival Cinema
Prancis kemarin, saya kan dapat sutradara terbaik, hadiahnya mengunjungngi
festival di Clermont Ferrand.
Tentang
bioskop di Palu, apa komiu pe komentar?
Iya, saya dengar akan ada bioskop nanti. Paling di
mall tempatnya. Bagi saya, keberadaan bioskop itu mestinya bisa satu sama lain
mendukung dengan geliat kreatifitas perfilman di Palu. Saya pikir bukan hanya
bioskop, tapi kalau ada fasilitas lain yang layak untuk menunjang kreatifitas
kita, akan lebih baik. Untuk apa hadir fasilitas-fasilitas itu kalau tidak
saling mendukung. Kalau kami, tidak butuh banyak. Kami hanya butuh ruang
ekspresi yang kalau pemerintah mau mensupport, kita bisa bergandengan tangan.
Gairah
remaja Palu membuat film bagimana?
Ya pada umumnya responnya cukup positif. Beberapa
sekolah sudah memberi ruang untuk kami berbagi dengan siswanya dorang. Saya
beberapa kali diminta buat klinik film di SMA 1, di SMP Al Azhar. Minat mereka
tinggi. Anggotaku di film Halaman Belakang, semuanya anak SMA. Cuman mereka
butuh ruang ekspresi yang lebih luas lagi, terutama di Palu. Soal mereka mau
serius di dunia film, ini belum bisa diukur. Yang pasti mereka mau belajar.
Komiu
serius ini di film?
Uh, berat sekali komiu pe pertanyaan le. Tapi
bagaimana pun saya tetap memelihara semangat untuk tetap babuat film. Semangat
ini mungkin sampe mati saya jaga. Sebab begini, saya melakukan ini semua untuk
memenuhi kebutuhan hobi. Saya senang dengan film karena ini menjadi media saya untuk
berbagi dengan orang lain. Kalau komui kan menulis berita, banyak yang baca.
Dan setahu saya, jadi wartawan itu juga bukan hanya sekedar pekerjaan. Tapi
dikombinasikan dengan hobi menulis dengan idealisme. Berimba? Saya juga kurang
lebih begitu, cuman medianya saja yang beda. Dan untungnya, saya tidak dikejar
deadline. Kapan saja kalu ada waktu, saya kerjakan satu-satu tahapan membuat
film itu. Dalai Lama pernah ditanya, apa yang paling membingungkan di dunia
ini? Dia bilang manusia. Manusia itu mahluk paling unik. Dia mengorbankan
kesehatannya untuk mendapatkan uang. Dan ia akan menghabiskan uang untuk
kesehatannya. Manusia itu selalu menyesali masa lalunya. Dan meresahkan masa
depannya. Sampe-sampai dia tidak bisa menikmati hari-harinya, dia lupa waktu
bahwa dia hidup. Kalau begitu, apa yang dia dapatkan di dunia ini? Masa depan
itu direncanakan saja, jangan dipermasalahkan.
Yang
terakhir, apa komui merasa sudah menemukan kesenangan dalam film?
Susah juga ini pertanyaan. Sebenarnya tidak ada
orang yang benar-benar susah dalah menjalani hidup ini. Dan tidak ada orang
yang benar-benar senang. Yang ada hanyalah bahwa dia harus menjalani hidupnya. Kalau
dia tidak senang menjalani hidupnya, berarti dia mau mati. Tapi yang ada,
bagaimana pun susah atau senang dalam hidupnya, tetap dia akan menjalaninya.
Biasanya kita membicarakan zona nyaman dalam menjalani hidup. Ini naluri
manusia, selalu mencari kenyamanan dalam hidupnya. Tapi bagi saya, kelau orang
selalu mencari zona nyaman itu, ia tidak dapat banyak hal. Di zona tidak
nyaman, dia akan mendapat hal yang lebih untuk dia berproses.
Berpose bersama di Pacific Meridian Festival di
Vladivostok-Rusia. Rémi St-Michel
(Canada)-Naama Piritz (Israel)-Yusuf Radjamuda (Indonesia).
0 komentar:
Posting Komentar