Sabtu, 25 Februari 2012

Perempuan Kembang Jepun

SEBUAH NOVEL percintaan lintas budaya berlatar belakang perang dunia kedua karya Lan Fang. Dengan alur majau mundur yang merambat pelan, novel ini membedah satu per satu persaan para tokohnya, dibingkai di masing-masing bagian untuk kemudian disimpulkan pembaca sendiri. Dan bisa jadi anda merasa menjadi saksi dari perjalanan cinta Sujono, Sulis dan Matsumi. Cerita dimulai dengan mengulas kemiskinan keluarga Sulis yang menyebabkan dirinya dibawah ke kota oleh orang tuanya, diserahkan hidup bersama si Mbah.

Bernaung di rumah petak penuh sesak, Sulis menjalani hari-harinya sebagai perempuan penjual jamu gendong. Sulis digambarkan tidak sebagai tokoh seksi sebagaimana Matsumi. Ia hanya wanita pribumi Jawa dengan perawakan pas-pasan, menjajakkan jamu kepada tukang becak dan kuli pelabuhan di Tanjung Priuk Surabaya.

Sebagai perawan belasan tahun yang belum pernah mengenal seluk beluk dunia lelaki, Sulis acap kali disentuh Wandi, tukang becak yang dianggap Sulis lelaki paling baik yang ia kenal. Wandi jualah yang mengenalkan Sulis pada dunia lelaki, hanya dengan dorongan nafsu semata. Rasa cinta di antara keduanya tak bisa diwujudkan dalam bentuk pernikahan, karena Wandi adalah lelaki beristri dan sudah berusia lebih tua dari Sulis.

Lan Fang kemudian menghadirkan tokoh lelaki lain yang tampang dan profesinya tak jauh beda dengan Wandi. Ia adalah Sujono, yang juga menaksir Sulis diam-diam. Kuli pengangkut barang di sebuah toko kain milik Babah Oen di daerah Pecinang Surabaya.

Daerah itu sering disebut sebagai segi empat emas di Surabaya. Sulis mengenal Sujono dari pekerjaan yang ia lakoni sehari-hari sebagai penjual jamu. Sujono sering berutang dan suka mencuri-curi pandang. Sulis pun tergoda. Dan pada suatu malam di rumah petak Sulis, Sujono dalam keadaan mabuk mendatangi dan menyetubuhi perempuan penjual jamu gendong itu.

Perputaran waktu perlahan mengantarkan Sulis pada situasi yang lebih sulit. Perutnya buncit dan siap melahirkan. Ia tak tau benih siapa yang telah berbuah di rahimnya. Wandi atau Sujono. Dalam kegamangannya, Sulis hanya berfikir untuk menggantungkan harapan pada Sujono. Sebab ia tak mau menjadi isteri kedua Wandi. Sementara Sujono menolak keras keinginan Sulis untuk dinikahi. Sujono menganggap janin itu bukan miliknya, tapi Wandi.

Sulis berusaha semampunya hingga akhirnya dinikahkan dengan Sujono dengan bantuan warga. Maka lahirlah Joko di kamar petak sempit milik Sulis. Kehidupan makin menghimpit mereka. Upah dari pekerjaan Sujono sebagai kuli di toko kain, lebih banyak ia habiskan untuk membeli rokok dan minum-minum. Sulis semakin merasakan getirnya hidup. Setiap hari pertengkaran terjadi di antara pasangan muda itu.

Hingga suatu saat, pekerjaan sebagai kuli panggul kain membawa Sujono mengenal seorang perempuan jepang, Matsumi. Ia adalah perempuan yang sengaja diseludupkan dari Kyoto saat Jepang akan melakukan ekspani ke wilayah asia termasuk menguasai Indonesia. Di Kyoto, Matsumi telah menjadi seorang Geisha paling terkenal dengan bayaran termahal. Itu juga sudah menjadi impiannya sejak kecil. Dan lagi-lagi, ia melakukan itu berawal dari himpitan ekonomi di keluarganya. Kedatangannya ke Indonesia karena diminta oleh Shosho Kobayashi, seorang Mayor jendral Jepang yang ditugaskan di Indonesia untuk memimpin agresi. Di Kyoto, Shosho Kobayashi adalah pelanggan tetap Matsumi.

Untuk mempertahankan martabat bangsa, Matsumi harus berganti nama. Ia tidak bisa menujukkan identitas sebagai orang Jepang di Indonesia, karena Geisha hanya ada di Jepang. Tidak di negara lain. Ia harus mengganti namanya menjadi Tjoa Kim Hwa, yang artinya ular bunga emas. Dengan begitu, ia akan dikenal sebagai perempian Cina yang berprofesi sama dengan perempuan lainnya di Kurabu, kelab hiburan di Jalan Kembang Jepun Surabaya.

Disinilah ia mengenal Sujono. Dengan keaanggunan dan kemolekkan wajah yang ia miliki, Sujono pun tergoda dan berniat menyaingi Shosho Kobayashi untuk bermain memadu cinta dengan Matsumi. Niat Sujono pun tercapai setelah berhasil mencuri uang Babah Oen untuk membeli Matsumi. Sensasi baru dari permainan cinta yang ditujukkan Sujono mengantarkan Matsumi sebagai seorang perempuan yang berhak mendapatkan kenikmatan dari setiap hubungan badan.

Sebagai Geisha, bertahun-tahun ia benar-benar barlaku hanya sebagai pemuas. Tak pernah terpuaskan. Pelanggaran yang menurutnya selama ini telah memenjarahkan gairahnya sebagai perempuan telah terbebaskan dengan sepak terjang Sujono di atas ranjang. Tak jarang, hasil pekerjaannya melayani tamu-tamu besar ia berikan kepada Sujono, agar Sujono bisa menemuinya lagi di Kurabu. Bukan sebagai kuli panggul kain, tapi sebagai tamu.

Dan pada suatu hari, gairah mereka pun memuncak dan lebih berkembang. Pengaruh Sujono bukan hanya saat berhubungan badan, tapi juga berhasil mencuci otak Matsumi. Dan ajakan hidup bersama yang ditawarkan Sujono diterima mentah-mentah oleh Matsumi tanpa berfikir panjang. Walaupun ia mengetahui bahwa Sujono telah beristeri dan mempunyai anak.

Sementara Sulis sendiri juga sudah semakin berubah. Gonggongannya sudah jarang terdengar. Karena Sujono telah memberikan apa yang ia minta, uang belanja dan jajanan Joko sudah dipenuhi. Meskipun ia tak tahu pada awalnya, bahwa uang-uang itu adalah hasil jeripayah Matsumi.

Lama kelamaan, hubungan tanpa jalinan pernikahan Sujono dan Matsumi menemukan titik nadir. Matsumi sadar kalau Sujono bukanlah lelaki yang pantas dijadikan sandaran hidup. Ia harus kembali ke kelab hiburan untuk memenuhi uang belanja dan asupan gizi puterinya, Kaguya. Meskipun bangsanya telah berhasil menguasai Indonesia, namun siatuasi Matsumi bertolak belakang dengan keadaan.

Ia menderita atas pilihannya sendiri untuk hidup bersama Sujono. Kekuasaan jepang tak berlangsung lama, setelah menaklukkan pendudukan Belanda di Indonesia. Agresi sekutu menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, membuat kekuasaan Jepang di daerah-daerah kolononya termasuk Indonesia semakin tak bisa dipertahankan. Hingga akhirnya, bangsa Indonesia memanfaatkan situasi itu untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang telah merdeka.

Nasib Matsumi pun semakin terjepit. Ia harus kembali ke Jepang. Pilihan itu bukan hanya karena pesan gurunya dulu di Kyoto sebagai seorang Geisha, tapi karena saat itu terjadi swiping terhadap warga Jepang di Indonesia. Akhirnya ia harus kembali ke Jepang bersama kapal-kapal Cina, dan harus meninggalkan Kaguya di sebuah panti asuhan.  Ia tinggalkan Surabaya dengan seluruh penyesalan. Ia meresa seperti burjudi meninggalkan putrinya tanpa tau kapan ia akan kembali menjemputnya.

Sekilas, sulit bagi saya untuk memastikan bahwa novel ini beraliran feminisme. Setelah mendalaminya dengan mencermati kandungan di luar teks, menghubungkan setiap makna yang terselip dibalik pemberontakan isi hati para tokoh perempuannya, ternyata novel ini telah menggambarkan sebuah perlawanan bagi kebudayaan dan peradaban manusia. Menggoyahkan patriarki yang selama ini dikenal sebagai entitas bagi kebudayaan-kebudayaan lama, termasuk Jepang dan Indonesia. Perjalanan Matsumi kembali ke negara asalnya ternyata tak sia-sia. Ia temukan lagi kebahagiaannya di sana sebagai seorang perempuan, sebagai manuasi yang layak mendapat kasih-sayang, bukan sekedar pemuas nafsu atau sekedar menjadi objek penderita dalam kehidupan manusia.

Novel ini pertama diterbitkan oleh PT Grmedia pada tahun 2006. Dan kembali dicetak dengan tebal 288 halaman dalam ukuran 20 sentimeter pada tahun 2007. Lan Fang sendiri termasuk penulis muda berbakat kelahiran Banjarmasin tahun 1970. Ia telah menyelesaikan dan menerbitkan beberapa novel sebelumnya, seperti Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005) dan Reingkarnasi (2003).

Jumat, 24 Februari 2012

New Orleans Jazz 2011

Louis Amstrong
Pat Metheny
Stevie Wonder
Bob James
Troy Andrews
Michael Doucet
Galactic
C. J. Cheiner
Jesse Winchester
Sonny Rollins & Marceo Parker
Blurunners Reunion

Oud Batavia

Foto Ojan (20/22012)
Mungkin anda pernah mendengar dari berita-berita di media massa atau melalui pelajaran sejarah di sekolah, tentang sebuah Kota Tua di Jakarta, yang dulunya dikenal dengan sebutan Oud Batavia (Batavia Lama). Kota ini dibangun sejak pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1916. 

Awalnya, kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah. (Wikipedia bebas bahasa Indonesia). Itu dulu. Ratusan tahun yang lalu.

Sesungguhnya bukan hanya di Jakarta, di kota-kota lain di Indonesia, pun kita akan menemukan berbagai gedung perkantoran, benteng, rumah dan bangunan-bangunan lainnya yang menjadi peninggalan jaman kolonial, bahkan zaman sebelum itu. Misalkan jika anda ke Provinsi Banten, anda akan ditawari para pemandu wisata disana untuk mengunjungi Banten Lama, yakni sebuah kawasan yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Banten, yang telah dibangun sejak tahun 1552 pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552–1570). (R. Cecep Eka Permana, jurnal.ui.ac.id).

Atau jika anda ke Kota Makassar, anda akan ditawari mengunjungi benteng Rotterdam yang dibangun pada 1545 oleh Raja Goa ke 9, yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Dan masih banyak lagi tempat-tempat penting lain di setiap kota di Indonesia. Namun kali ini, saya hanya akan mengajak anda menjelajahi Kota Tua di Jakarta. 

Sebagai mula, saya akan memulai cerita ini melalui pengalaman pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Begini ceritanya; 

Waktu itu matahari beranjak senja dan malam turun sesaat kemudian menggelapi seisi kota. Bus kami tiba di selter terakhir, yakni selter Kota. Hanya cahaya lampu-lampu jalan dan kenderaan yang mengimbangi pekatnya malam. Ditambah neon-neor para penjual pernak-pernik dan jajanan di lapangan depan gedung museum Fatahillah.

Meskipun beberapa tahun sebelumnya saya pernah berkunjung ke Jakarta, namun baru kali ini hasrat saya terlampiaskan untuk mengunjungi lokasi yang eksotik itu. Bersama seorang sahabat, saya menapakkan kaki, langkah-demi langkah sambil menghirup harumnya masakan siap saji dari para penjual di pinggir lapangan. 

Karena teman saya ini akan kembali ke Palu keesokan harinya, maka sudah barang tentu ia harus membeli ole-ole untuk sanak famili. Ia memilih berbagai kerajinan, sementara saya asyik memerhatikan gedung-gedung yang menjulang tinggi di sisi kiri-kanan lapangan. Sungguh menakjubkan. Betapa gedung-gedung itu telah menjadi saksi sejarah dan masih kokoh untuk berbagi cerita dengan para pengunjung di area itu. Sudah ratusan tahun umurnya, masih tetap  berdiri kokoh. Berbeda dengan hasil karya manusia abad ini, yang baru beberapa tahun dibangun sudah roboh. 

Singkat kata, setelah membeli beberapa hasil kerajinan, kami pun berlalu meninggalkan Oud Batavia dengan Busway menuju Rawamangun, setelah melahap beberapa tusuk sate padang.

Sepeda-sepeda di Oud Batavia

Itu yang pertama saya menginjakkan kaki di lokasi tersebut. Dan untuk kesekian kalinya, saya berkunjung di Oud Batavia menggunakan sepeda. Dari sinilah rasa ingi tau saya muncul untuk  mengethui tentang apa gerangan dengan sepeda-sepeda yang ada di Oud Batavia. 

Seperti layaknya, tempat-tempat wisata harus menyediakan sarana pendukung untuk mengkonstruksi tempat itu agar membuat pengunjung nyaman, betah dan menemukan kesan atas pengalam wisatanya. Selain sajian aneka jajanan dan penjual pernak-pernik, sepeda adalah salah satu fasilitas pendukung yang menjadi sarana transportasi bebas polusi di Oud Batavia.

Sepeda-sepeda di Kota, Foto by Ojan (20/2/2012)
Bukan sembarang dan tanpa pertimbangan sepeda-sepeda itu hadir. Kesan eksotis tempo doe-loe dan pengalaman berwisata akan anda temukan dengan mengderai sepeda-sepeda itu, berkeliling mengitari Oud Batavia. Ia akan membawa pengalaman anda jauh ke belakang, menggambarkan bagaimana orang-orang dulu di lokasi itu dalam beraktivitas. Tentunya dengan menggunakan sepeda. 

Ada beberapa titik konsentrasi sepeda-sepeda ini dikumpulkan oleh pemiliknya. Di dalam (area depan museum Fatahillah), sepeda-sepeda dicat dengan warna terang dan mencolok, dilengkapi topi lebar khas perempuan eropa zaman dulu dan Pith helmet, atau orang Belanda mengenalnya sebagai Tropenhelm, terparkir rapi berjajar di pinggir lapangan.

Adalah Rubai (36), salah seorang pemilik dari sepeda-sepeda itu. Ia bercerita dengan mimik ramah ketika saya bertanya. Sebagai anggota dari paguyuban Sepedan Ontel Kota, ia setiap hari nongkrong menunggu para pengunjung yang akan menyewa sepedanya. Meskipun menurutnya, hanya setiap Sabtu dan Minggu pengunjung ramai berdatangan. 

Biasanya kata Rubai, ia mendapatkan keuntungan bersih hingga Rp100.000, jika rejeki lagi baik. Namun di hari-hari biasa, seharian pun ia tak mendapat apa-apa. Di samping dari upah sewa sepedanya, keuntungan sebanyak itu ia dapatkan juga dari upah sebagai guide. “Jasa guide itu dihitung per sepeda yang dipakai. Biasanya tiga sampai empat sepeda. Satu sepeda, dikenakan tarif Rp30.000 per satu setengah jam. Sedangkan untuk sewa sepeda sendiri, dihargai Rp20.000 per jam,” jelasnya pria asal Semarang ini. 

Meski dengan penghasilan pas-pasan seperti itu, ia mengaku bisa bertahan hidup menafkahi isteri dan 2 orang anaknya di kampung. Untuk melepas rasa kangen dengan keluarganya, Rubai yang sejak 2007 mangkal di Oud Batavia ini pulang sebulan sekali ke kampung. 

Lain lagi dengan Damir (40). Ia juga pemilik sepeda ontel yang mangkal di luar. Ia mangkal di jembatan yang menghubungkan antara lokasi Oud Batavia (lapangan depan gedung museum Fatahillah dan sekitarnya) dengan wilayah arah Pasar Pagi. Jika sepeda di area dalam disewakan, maka sepeda miliknya digunakan sebagai ojek. Tak dihias (tetap polos sesuai warna asli) dan boncengannya diberi busa tebal untuk kenyamanan penumpang. 

Setiap hari ia beroperasi mulai jam 3 sore hingga jam 4 dini hari. Tarifnya bervariasi, tergantung jauh dekat tujuan penumpang. Paling dekat kata dia, penumpang membayarnya sebesar Rp3.500. Sementara paling jauh, misalnya keluar dari wilayah Oud Batavia, bisa mencapai Rp15.000. Dengan pendapatan Rp 30.000 sehari, ia bangga dan bersyukur dengan profesinya, sebagai tukang ojek sepeda di Oud Batavia. 

Tak jarang kata dia, jika permintaan pengunjung atas sepeda di dalam lagi banyak, maka sepeda miliknya pun disewakan. Tarifnya sedikit lebih mahal dengan sepeda yang ada di dalam, yakni sebesar Rp25.000 per jam.
Baginya, dengan pendapatan pas-pasan itu, ia masih menyimpan harapan besar atas ketiga anaknya yang ada di kampung, agar mereka melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Tidak seperti dia yang hanya tamat SD.

“Biar sedikit yang penting halal Mas. Allah maha tahu atas rejeki setiap orang. Dan saya yakin ia akan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang berusaha di jalan yang benar. Harapan saya tak muluk-muluk, asal bisa makan dan bisa membiayai sekolah anak-anak,” harapnya.

Damir dan Rubai telah menjadi bagian dari ratusan orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada Oud Batavia. Gedung-gedung tua peninggalan penjajah itu telah memberi inspirasi bagi mereka untuk menentukan jalan hidup. Bertahan dari segala tantangan yang kian menjepit. Menyimpan harapan dan senyum bahagia atas kesuksesan anak-anak mereka di suatu hari nanti.

Rawamangun 20 Febriari 2012. 





Kamis, 23 Februari 2012

GREEN 23/2/12