Rabu, 31 Agustus 2011

Palu dan Gayus


Dalam bahasa inggris, kata ini disebut Hammer. Secara sintaksis, kumpulan abjad ini digolongkan dalam kelompok nomina, atau kata benda. Secara funsional, palu adalah alat yang digunakan untuk memukul sesuatu. Sedangkan Gayus, adalah sosok mafia pajak yang populer di negeri ini dan mampu penyedot perhatian media massa dan situs jejaring sosial.
Bagi para tukang, palu digunakan untuk memukul paku menembus papan atau balok, bagi kebutuhan konstruksi. Di tangan para montir, palu digunakan untuk memukul obeng atau benda lain demi keperluan perbaikan. Di tangan para perampok, palu juga berfungsi untuk membongkar sesuatu yang akan dijarah. Namun di tangan para hakim, palu menjadi penentu sebuah keputusan untuk suatu kebenaran dan keadilan. Di tangan pimpinan sidang, baik di forum kongres atau di parlemen, palu digunakan untuk menentukan sebuah kebijakan.
Dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang akrab dengan benda itu, palu digunakan untuk sebuah perbaikan. Tapi, bagaimana jika untuk kepentingan yang berhubungan dengan kebijakan dan keadilan, palu mungkin palu bisa digunakan sebagai pertanda keputusan yang tak sewajarnya.
Dengan kasus Gayus umpamanya. Palu yang diayunkan hakim menghasilkan keputusan penjara selama 7 tahun. Sama dengan palu yang dijatuhakn pimpinan DPRD dalam sidang paripurna tentang besaran APBD, atau untuk sebuah Perda. Keberadaan palu dalam situasi itu tentu akan mendapat respon yang beragam.
Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara Gayus menuai reaksi dari banyak kalangan.

Meski Gayus sendiri terlihat biasa-biasa saja saat mendengar ketukan palu, sesaat setelah putusan dibacakan.
Reaksi itu beragam. Ada yang menilai putusan Gayus terlalu rendah, ada yang mengaggap sudah wajar, dan ada pula menganggap kalau itu baru satu ketukan palu putusan. Dan masih ada ketukan palu lainnya yang akan diterima Gayus pada sederetan kasus yang melilitnya.
Tentu, atas nama kebenaran dan keadilan kita berharap kasus Gayus menjadi penentu bagaimana palu bisa digunakan bukan hanya sebagai simbol biasa, tapi juga sebagai kepastian bagaiman keadilan benar-benar ditegakkan seperti kokohnya Monas di jantung Jakarta. Sebagai bangsa, kita patut berharap ketukan palu Gayus pertama itu bisa menjadi awal untuk memancing palu berikutnya terhadap sederet nama pemilik perusahaan dan oknum penegak hukum, yang sempat disebutkan Gayus.
Palu, akan tetap berfungsi selayaknya palu. Ia tak akan membuahkan hasil apa-apa ketika diketuk oleh orang-orang yang belum sepenuhnya mengetahui fungsi mendasar dari palu itu sendiri.

Palu, ( Maaf lupa waktunya)

Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran yang Sunyi


Angkuhkah aku ketika berlaku abai dengan pintamu?

“Perjalanan kita masih panajang. Satu bulan ini hanyalah sebagai pemanasan dalam sebuah permainan. Kita punya rencana panjang bagi sebuah kehidupan. Tidak bisa, saya harus berangkat Minggu besok. Kan kita sama –sama berangkatnya,” 

Aku menjelaskan semua kepadanya. Kekasihku. Ku sayang dia dalam dekapan di sebuah malam yang kelam. Kujelaskan semuanya panjang lebar hanya untuk mengelak dari argumentasinya yang beraroma tendensi. Aku menciumnya, ini bahasa tendesius. Dan kuabaikan semua itu. Kutau perasaanya. Belum bosan ia denganku. Belum cukup dua minggu yang lalu aku bersamanya.

“Besok saya harus berangkat. Kita harus cek in bersama, biar di pesawat kita satu seat, ok!” ku tinggalkan dia dengan lamabian tangan melemah.
Suasana mulai cerah ketika rinai hujan jedah sejenak. Kami berburu menuju pesawat yang sudah  menunggu beberapa menit. Untung saja sang pilot masih berbaik hati. Tinggal pintu depan yang mengangah. 

Seat kami dua deret dari pintu belakang. Kami memang satu seat. Alhamdulillah. Walaupun ada seorang perempaun muda di samping jendela, yang sesekali mengintip dengan ekor mata ketika tanganku menjamah tangan kiri kekasihku yang halus dan sedikit pucat. Kuelus-elus gelangan tangan kecil berbulu halus itu. Kami sama-sama menutup mata.

“Apakah ini pertemuan kita yang terakhir? Tidak. Ia kekasihku, ia puteriku, ia memepelaiku. Nanti, setelah cita-citaku tercapai,” 

Penerbanagn kali ini tidak transit. Dari Palu langsung Jakarta. Cuaca di luar terang-benderang. Awan putih bergelantungan di bawah pesawat kami. Sepertinya penerbangan kali ini adalah penernagan menyenangkan bagiku. Tak ada tangisan anak kecil. Hampir tak ada guncangan saat pesawat menembus gumpalan awan. Di sampingku, kekasihku memejamkan matanya. Sepertinya ia terlena dengan genggamanku. 

“Nanti kamu transit sampe jam 10.30 kan? Aku akan menjagamu. Kita menunggu saja di luar. Cekin-nya nanti setelah ada panggilan memasuki ruang tunggu,” dan ia hanya mengangguk.
Hampir dua jam berlalu Co Pilot menyampaikan aba-aba. Seorang Pramugari kembali mengumumkan kepada kami semua untuk mengencangkan sabuk, menegakkan sandaran kursi dan mengunci meja kecil di depan seat. Dan pesawat siap landing.

Kami menunggu beberapa saat setelah pesawat benar-benar terparkir rapi di terminal. Turun dari pintu depan dan menjejakkan kaki di tangga dan melangkah. Satu anak tangga satu langkah. Aku membuntutinya dari belakang, menjinjing travel bag-nya dan menggendong ranselku. Melangkah penuh semangat, kami meninggalkan terminal menyelusuri lorong menuju tempat pengambilan bagasi. Kuraih travel bag-ku dan kutarik perlahan menuju pintu keluar. 

“Nanti kalau sudah sampai sms ya,” aku mengingatkan.

Mata kekasihku menatap kosong ke luar, ke jalan-jalan, menerawang awan putih yang bergulung-gulung di langit Jakarta. Aku tersingggung karena tak digubris. Ia masih kecewa atas putusanku.
“Saya sudah pernah kuliah kaya kamu. Kamu bisa saja berangakt setelah lebaran. Kan kamu tak wajib ikut matrikulasi sayang,” katanya menatap tajam wajahku. Aku hanya memandang kepulan-kepulan asap rokok berterbangan meliuk-liuk di ruang merokok di sudut café. 

Dan ia meninggalkanku setelah ada panggilan masuk ke ruang tunggu. Kukecup keningnya dan ia mencium tanganku seperti seorang anak kepada ayahnya saat berangkat sekolah. Kubuntuti geraknya dengan sorot mata penuh harap. Dan ia berbalik melambaikan tangan dan senyum sambil mengedipkan matanya yang putih kertas. Pergilah ia dengan pesawatnya. Menuju sebuah tempat untuk meraih masa depannya. Dan itulah saat terakhir aku melihatnya.
Kini, hanya suara yang aku dengar dari kekasihku itu. Suara yang sesekali mengeras dan melembut tergantung suasana hatinya. Ingin aku menyesali keputusanku. Tapi jalan ini sudah terlampau jauh. Jakarta terlalu jauh dengan Palu untuk berjalan kaki, menyebrangi lautan atau mengepakkan sayap malaikat.

Ini adalah malam terakhir Ramadhan. Suasana riuh di jalan-jalan kota. Bunyi petasan menyemburkan bunga api seperti air mancur ke udara. Aku tertegun di sudut simpang tol. Ku kenang dia dengan kata-katanya. “Nanti lepas lebaran saja baru berangkat”. 

Dan aku hanya sendiri di sini, hanya mendengarkan suaranya lewat sambungan telepon. Sebulan sudah lewat. Dan hanya suaranya yang kudengar di balik telepon. Terlalu jauh jarak untuk aku mengecup keningnya. Menggenggam tangan kecilnya yang putih berbulu halus. 

Cileunyi 1 Syawal 1423 H.


Senin, 29 Agustus 2011

Gila

Pernah sekali sekelumit pikiran pendek datang menyelimuti hati dan otak ini. Mula-mula sebentar saja. Namun jika diseriusi ternyata bisa juga. Mula-mula bertamu, dan harus dipastikan bahwa hanya dia sendiri di kantor itu. Dimulai dengan bercerita tentang hal sederhana dan tak menarik, kemudian mengeluarkan sebilah pisau atau sejenisnya. Yang teringat jelas saat itu adalah cuter merah, yang biasa digunakan memotong kertas.

Dengan matanya yang baru, aku yakin betul kalau dilekatkan di kulit dan ditarik, akan mempercepat terjadinya luka robek, menganga dan menyemburkan dara segar. Dan setelah luka terjadi, korban pun harus berteriak kesakitan dan kemudian perlahan mengakhiri hidupnya di atas kursi putar hitam yang di pegangannya diletakan handuk putih.

Tertegun sejenak tanpa sesal. Dan melakukan hal yang sama pada urat nadi di lengan sebelah kiri. Dengan harapan semuanya akan berakhir. Dan orang lain datang keesokan harinya menemukan kami, yang berlumuran darah kering karena angin yang keluar dari AC tepat di belakang kursi, dimana korban sering menghabiskan harinya bekerja dan melayani para tamu-tamu penting.

Tapi bisa juga ada dari pihak keluarga korban, yang mencoba menelpon ke handphone milik korban karena khawatir kalau sesore itu, korban belum berada di rumah tanpa kabar. Keluarga korban datang ke kantor dan menemukan kami dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Namun sebelum itu terjadi, aku sudah menulis surat tentang rencana gila ini agar dibaca para keluarga atau kerabat lainnya. Dan mereka akan bertanya-tanya, 'begitu mudahnya orang melakukan semua itu'. Namun saya tak lupa menuliskan lagi pada bait terakhir, agar kami dikubur berdekatan. Di mana pun tempatnya.

Aku mau semua orang bertanya kenapa, dan bagaimana?

Atau kalangan jurnalis akan menulisnya di koran harian mereka, bukan hanya memberitakan perkara saat kejadian, namun juga  mengungkap kenapa hal itu harus terjadi.

Untung saja pemikiran itu tak terlaksana, karena terang begitu cepat datang mewarnai hati dan pemikiran ini.

Palu (Maaf lupa waktunya)

Beberapa Fiksi Mini tentang Kerusuhan Poso


Ku Hargai Perhatianmu
Kriiiing…. telepon ku kembali berdering.
“Pak, bapak sudah dimana, ayo cepat keluar. Pasukan kami segera datang,”
“Tolong bapak mengungsi secepatnya, tolong pak. Saya sayang bapak,”
Aku yakin ia sangan perhatian padaku. Tapi aku lebih yakin dengan para tentara yang siaga di samping dan depan rumah jabatan ku.

Aku Ingat Seorang Staf ku
“Dia sudah seperti orang gila. Terkadang mengendarai motor menggunakan handuk, bahkan sesekali hanya menggunakan sempak,”
“Aku ingat, ia sempat bertanya padaku tentang gaji tunjangan. Ia mengaku pendapatannya lebih tinggi dari hasil kebunnya, karena jauh di atas gaji tunjanganku,”
“Tapi sayang, semuanya musnah. Rumah dan kebunnya habis akibat kerusuhan itu,”

Ini Semacam Jalur Gaza
“Di sini tempat para pegawai melakuakn transaksi pembayaran gaji,”
“Orang mereka tak bisa masuk ke kota, sebab kami ada di sana,”
“Itu berlangsung berbulan-bulan dalam suasana mencekam,”
“Ahhh sadis, aku tak mau membayangkannya,”

Cair Lagi
“Cair lagi,”
“Cair,”
“Aman?”
“Aman,”
Istilah itu akrab di telinga kami selama berbulan-bulan. Siang dan malam para lelaki mondar-mandir saling sapa, bertanya satu sama lain menggunakan istilah itu. Mereka berubah menjadi algojo-algojo yang siap membantai lawan.
“Wahh… dahsyat, ternyata manusia bisa sekeji itu,”

Kami Seperti Burung
“Apa saja harus dimakan. Mie instan menjadi menu harian,”
“Kami berpindah dari rumah ke rumah mencari makan. Terkadang mampir ke rumah Bupati,”
“Kami seperti burung. Sebab anak isteri kami telah mengungsi ke luar kota,”


Palu, (Maaf lupa waktunya)

Aku Ingin Pisah Dengannya


 Sudah lebih sepuluh tahun kami saling mengenal. Awalnya hanya coba-coba. Bagaimana bisa menikmati suasana untuk saling mengisi satu sama lain. Hanya kesenangan yang aku dapatkan. Belum ada jera atau kapok untuk melepaskannya. Sambil menulis cerita ini pun, aku tetap ditemaninya. Kemana pun aku, dan dimana pun aku menghembuskan nafas, ia selalu bersamaku. Hampir tak ada waktu dalam hari-hariku tanpanya. Aroma khasnya selalu kuhirup saat-saat penting menjalani dalam hidup.

Harus ku akui, interaksi sosial memang sangat berpengaruh erat dalam gaya hidupku. Hingga hubungan pertemanan itu mengenalkanku kepadanya. Penapilannya sederhana, putih, ramping dan elegan. Bisa dibawa kemana saja. Ia memang tak henti meyakinkanku, kalau ia memang selalu setia. Di saat-saat hati sedang gundah, ia menjadi teman yang paling berharga di banding berlian. Bahkan kejiwaanku pun berhasil dikuasainya. Aku hampir separuh menggantungkan hidup padanya. Saat kenikmatan itu menghampiriku, ketika bersamanya melalui siang dan malam-malam yang bahagia dan kelam. Ketergantunganku kepadanya terstimulasi melalui reseptor-nya di susunan saraf pusat untuk mengeluarkan dopamine, yang kemudian mengubahnya menjadi endorphin atau zat menciptakan rasa senang.

Sulit dibayangkan, jika aku harus berpisah. Beberapa kali aku mencoba renggang dengannya. Paling lama aku pernah berpisah hingga dua bulan. Saat itu, aku sedang berusaha mendekatkan diri dengan sang khalik, dan membatasi diri dari pergaulan di luar rumah. Aku hanya bertemu orang saat menjelang waktu sholat di Masjid. Atau saat belajar di kampus. Hanya waktu itulah yang membuatku bisa berdamai, tak saling menggoda dengannya. Sulit memang saat aku menjalani hari-hari pada masa itu. Hingga akhirnya aku kembali akrab dengannya. Lagi-lagi, aku dipertemukan dengannya karena lingkungan. Aku sempat berfikir, kalau aku ini berkembang menjadi baik, atau tidak baik karena lingkungan.

Waktu semakin tak bisa dihentikan. Malam beberapa jam lagi akan menemui pagi. Gelap akan beruba terang. Matahari akan menyinari seisi dunia, hingga aku harus bangun bekerja seperti biasa. Seperti biasa pula, aku akan bersamanya, mengisi kebahagiaan atau kejenuhan, bahkan kekesalan dalam melalui hari. Kini ia masih bersamaku. Semakin dekat, hampir tak ada jarak. 

Ia seolah mengarahkan jari-jariku untuk menekan toots hingga bisa menghasilkan tulisan ini menjadi lebih baik. Bisa dibaca dengan jelas dan membawa manfaat bagi anda yang membacanya. Aku belum mau mengenalkan anda dengannya. Apa anda penasaran? Entahlah. Aku hanya mau menggambarkan sosoknya sebagai bagian yang  sulit terpisahkan dari hidupku.

Suatu waktu, aku pernah bertanya dengan seseorang, yang sudah berhasil berdamai dengannya. Kata orang itu, hanya satu jawabannya, kesungguhan. Masuk akal juga pernytaannya. Sebab perubahan seseorang yang aku pahami, adalah perubahan yang sungguh datang dari dalam hati dan jiwanya sendiri, bukan dari luar.

Sedikit lagi aku harus berpisah dengannya. Bukan karena aku tak lagi mencintainya. Tapi ada  batasan-batasan yang kami tak sepakati, tapi sudah menjadi titah manusia. Tak mungkin kan, saat seseorang dalam keadaan tak sadar bisa menikmati sesuatu, apalagi dengannya.

Ia seakan mengarahkan pikiranku, berhenti sejenak, untuk mengumpulkan inspirasi. Kupandangi seisi ruangan. Hanya ada suara televisi yang sedari tadi mengalun, memanjakan telingaku dengan berbagai informasi ringan yang terjadi pada hari ini. Ia masih bersamaku. Entah beberapa menit lagi. Aku hampir kehilangan imajinasi, terhipnotis beberapa detik menyaksikan perbincangan menarik di Metro tv, tentang cara makan yang sehat. Ia kembali mengingatkanku untuk mengahiri tulisan ini. 

Baterai leptopku hampir habis. Cahaya biru yang menujukkan power baterai sudah berubah merah. Itu tanda kritis. Ah, aku mau mengakhiri tulisan ini, karena ia pun sudah tak bersamaku. Ia hanya tergeletak dibalut kotak kertas yang akrab bagi semua orang. Maaf, aku harus merahasiakannya. Aku takut kalau anda akan terjebak sama sepertiku. Maaf ya! 

Palu, (Maaf lupa waktunya)






Antara Kasih Sayang, Darah dan Rupiah

“Tolong Dinda, ini masalah reputasi, institusi dan keluargaku,”
Sms pak Arland membangunkan Susi dari tidur siangnya. Buru-buru ia mengambil tas dan membasuh wajahnya dengan air seadanya, dan bergegas memacu sepeda motornya menuju kantor.
Setibanya di kantor, rapat liputan sedang berlangsung. 

Menjaga agar kehadirannya tidak mempengaruhi situasi, Susi mengambil jalan belakang dan muncul dari ruang redaksi. Kehadirannya tak dihiraukan. Situasi rapat yang alot tak terusik dengan kehadirannya. Beberapa rekan wartawan terlihat sedang alot berdebat soal liputan besok.

Lima menit telah berlalu, Susi tak berkata-kata. Matanya liar melirik kiri-kanan, kearah rekan-rekannya yang saling melempar argumen. Sesekali bola matanya memelototi pak Suryo, redaktur pelaksana, yang sedang asik mengotak-atik leptop. Seolah di ruang lain, pak Suryo juga tak menghiraukan perdebatan dalam rapat itu.

*****

“Semua itu terjadi tanpa sengaja, saya tak punya niat sama sekali. Saya anggap dia seperti anak sendiri,” kata pak Arland kepada tim penyidik.

 “Tolong bapak ceritakan sedikit kronologisnya,” pinta sang penyidik.
“Malam itu kami jalan bersama. Sudah janjian memang, tapi ketemunya di rumah saya. Karena saya ketemu sejak sore di swalayan sama dia, maka saya langsung tawarkan, biar dia tidak datang malam, karena di rumah ada tamu,” sejenak terdiam.

Ilustration by Rilues
“Tapi saya liat dia waktu itu agak kurang semangat. Mungkin karena capek seharian di kampus. Pas saya tawarkan jalan-jalan ke pantai, dia juga mau. Di pantai, kami hampir tiga jam. Waktu itu sudah mau magrib. Dia juga belum bawa skripsinya. Katanya, dia berencana nanti malam baru kerumah saya,” hening kembali mengisi seisi ruangan. “Waktu magrib sudah lewat, kami masih di pantai. Pas saya ajak pulang, dia belum mau. Katanya dia lagi bingung, ada masalah keluarga katanya. Pas saya tanya, dia juga diam, dia tidak mau bicara tentang masalahnya,” kata pak Arland, dengan kepala sedikit tertunduk.

“Langsung saja pak, jangan bertele-tele, dimana kejadiannya” tegas sang penyidik
“Kami main di mobil, waktu itu kalau tidak salah jam 10. Pas selesai, saya antar dia pulang. Dia juga sepertinya tak keberatan, dia hanya diam ko,” tambah pak Arland, dengan nada lembut dan santai.

Meski begitu, alat perekaman milik Susi, dengan jelas menangkap semua hasil pemeriksaan itu. Tak ada wartawan lain di ruangan itu, hanya mereka bertiga. Memang hanya Susi yang dikabari tim penyidik, karena benar korban dan pelaku adalah kenalannya. Bukan hanya sekedar kenalan biasa, tapi korban adalah adik teman akrab Susi. Sementara pak Arland adalah rektor dan sekaligus dosen walinya.

“Tolong Sus, kamu bantu saya. Adikku itu anak baik-baik, sama dengan adik perempuanmu. Mereka punya cita-cita, punya harapan, punya masa depan,” sms Norma  membuyarkan lamunan Susi yang sedang mendengarkan hasil rekaman.

Tak lama berselang, handphone Susi kembali berdering. “Dinda, tolong saya, berapa yang kamu minta, kalau kamu anggap kurang, nanti saya usahakan lagi, tolong sms nomor rekeningnya,” begitu pinta sang rector, lewat sms.

Susi masih membisu. Bibirnya kelu, wajahnya merah padam, tangannya keringatan, padahal suhu di ruangan itu cukup sejuk.
“Susi, hari ini dapat berita apa?,” tanya pak Suryo dengan nada lantang.
Belum sempat Susi menjawab pertanyaan itu, handphonenya kembali berdering.

“Dinda, saya tau kamu, kamu juga tau bagaimana pergaulanku. Saya tidak mengancam, tapi saya ingin masalah ini tidak diekspose. Kamu masih mau hidup lama kan?,” kembali Susi membaca sms pak Arland.

Susi tak sadar, kalau situasi lagi hening, dan semua pandangan mengarah padanya. Ia menengadahkan kepala. Hayalannya melambung tinggi, hanya ada wajah Norma, pak Arland dan adik Norma yang terbayang di ujung pandangannya. Ia tak menghiraukan situasi saat itu. Susi menghela nafas panjang.
“Cobaan apa lagi ini, ya Allah, tolong saya,” doanya dalam hati

Pikirannya berkecamuk, kedua sms yang baru dibaca, terus membayangi alam sadarnya. Dua menit berlalu, ia belum juga menjawab pertanyaan pak Suryo.
Memang, uasi mengikuti proses pemeriksaan pak Arland, Susi langsung kembali ke rumah. Tak ada berita lain yang ia liput hari itu, kecuali kasus sang rektor.  

Dalam keheningan, Susi sempat terperangkap dengan sms pak Arland. Dia teringat, perkataan ibu kostnya pagi tadi. “Susi, tolong diperhatikan pembayaran kostnya, sudah lima bulan lo. Kemarin sudah ada orang lain yang mau masuk juga,” kata ibu kost, yang masih terekan jelas dalam ingatan Susi.
Bukan hanya itu, Susi juga teringat dengan sms kakaknya beberapa waktu lalu. “Sus, alhamdulillah, si Anto lulus. Dia mau kuliah,” demikian sms kakaknya. 

Tanpa sadar, satu demi satu buliran air bening menetes dari sudut matanya. Tak ada yang bisa menebak suasana hati Susi saat itu. Semua yang ada di ruangan, sedang asik ngobrol satu sama lain. Untung saja, perhatian pak Suryo sempat buyar dengan kehadiran pak Ahlis, teman lamanya yang baru kali itu bertemu.
Tanpa basa-basi, susi langsung bersuara, dengan alasan kalau dirinya lagi ditunggu kakaknya di ruang UGD. “Maaf pak, saya harus ke rumah sakit sekarang,” katanya terburu-buru.

Tingkah Susi seakan menghipnotis semuanya. Tak ada yang tau kalau dia sedang bermain peran. Semua pandangan mengiringi kepergiannya.

Palu (Maaf, lupa waktunya)







Gelisah

Gelisah. Malam ini aku kembali dihantui kegelisahan. Kupejam mata dan kerebahkan tubuhku, membujur diselimuti kegelisahan. Sudah sekian lama aku berjalan tanpa kegelisahan. Seolah semua jalan yang kutempuh pasti dan sudah benar. Aku kembali melihat kebelakang, apa ada yang teringgal? Atau semuanya sudah kubawa bersama angin malam ini. Aku sedkit meragukan langkahku belakangan ini.

Jari-jariku tak selancar dulu saat menyentuh toots. Aku harus berusaha memperhatikan abjad-abjad di keybord leptopku seteliti mungkin. Ah, ada yang janggal dari hari-hariku. Ada yang hilang. Ada yang terlupakan. Atau aku sudah terlalu jauh melangkah, hingga aku sudah meninggalkan semuanya.

Aku memang sudah berniat akan berubah. Tapi perubahan yang bagaiman? Aku ingin menggapai asa, cita dan angan. Tapi apakah aku harus meninggalkan semua masa lalu? Ah.., tidak. Aku tak bisa meninggalkan begitu saja. Sulit rasanya walau sekedar membayangkan.

Daun-daun kering akan jatuh ke tanah ketika musim semi. Menyentuh tanah dan berangsur-angsur menjadi kompos dan menyuburkan tanah. Dan tunas-tunas muda akan bermunculan di ranting-ranting kecil di pohon jati belakang rumah.

Aku berusaha menemukan diriku di malam ini. Cahaya bulan di luar memaksa aku keluar dari bilik kecil yang mamasungku. Angin sepoi membelai asa. Menusuk perlahan-lahan ke tulang rusuk. Aku ingat Jakarta, Bali, Yogyakarta, Banjarmasin, Makassar, Serang, Bandung dan Surabaya yang telah ku tinggalkan.

Aku ingin Aceh, Medan hingga Jayapura. Beberapa waktu lalu, aku ingin Holand, Paris atau Oslo. Tapi apa yang saat ini sudah kupunya. Latihanku belum membuahkan hasil. Tiba-tiba aku ingin Tentena, Ampana atau Wakai. Aku ingin menikmati damainya desa. Aku ingin merekam kejadian-kejadian penting di sana. Aku ingin menemukan orang-orang lama yang pernah ku kenal. Atau orang-orang baru yang bisa menjadi teman.

Tapi sedikit sulit, aku masih diselimuti gelisah yang tak tau akan berujung dimana. Aku ingin melempar petugas-petugas itu, yang selalu mengontrol. Mereka mencoba membuyarkan kosentrasiku dalam kegelisahan.

Harus ku akui, aku masih di sini. Masih seperti dulu meski berupaya untuk terus berubah. Kuperhatikan dua lembar kertas berisi nilai-nilai dan tanda tangan. Hampir saja aku menyesal. Tapi aku tak mau. Aku tak mau larut dan menyesali masa lalu. Aku yakin matahari kan kembali bersinar. Burung-burung kan bernyanyi dan hariku akan kembali terang. Aku akan meraih semuanya, setelah menyingkirkan serangga-serangga kecil yang tersesat di antara rambut-rambutku. Aku akan terus berupaya semampuku.  Aku akan membuktikan kepada semua orang, kalau aku mampu menggapai semua yang ku inginkan.

Palu, 24 Oktober 2010.

Tata dan Tangisannya


Tangis Tata kembali memecah kesunyian pagi, saat semua orang di rumahnya akan berangkat kerja, termasuk ibunya. Bu’denya yang diamanatkan untuk menjaganya sudah cukup berusaha menghibur Tata dengan menirukan suara-suara binatang. Mulai dari bebek, sapi, kucing hingga ular.

Bahkan gajah sekalipun. Beberapa binatang mainan terbuat dari bahan palstik di atas meja kecil itu, berusaha dimaikan Bu’de untuk menarik perhatian Tata. Namun Tata terus meraung sebisanya. Kesedihan menyelimutinya tanpa kesan apa-apa. Bu’de yang menyaksikan itu sudah biasa. “Paling juga akan bosan sendiri. Kemarin juga begitu. Maklum, dia kan baru di sini,” kata Bu’de, menerangkan kondisi sebenarnya kepadaku selaku orang baru juga di rumahnya.

Aku memang orang baru yang baru tiba dari kampung. Aku akan bergabung di rumah Bu’de selama beberpa hari kedepan. Jika aku lulus tes univertitas, kemungkinan aku akan kembali ke rumah Bu’de, memilih satu kamar kos untuk 2 tahun kedepan. 

Hampir 2 jam telah berlalu, Tata masih berlanjut. Istirhata pun tidak. Tangisnya seakan menyaingi suara motor Adi yang dipanasin di samping lorong. Matanya yang bulat nampak sayu. Rambut ikalnya acak-acakan karena tangannya sendiri. Ia berguling-guling di lantai, dan terus meraung. Tak kusangka, tubuh mungilnya ternyata menyimpan tenaga yang besar, mengeluarkan teriakan keras hingga berjam-jam. Bu’de yang hampir bosan dengan ulah Tata beralih ke dapur, menyibukkan diri memasak air dan mencuci beberapa gelas. Dan Tata masih terus menangis.

Ibunya pun tak lagi nampak. Telah pergi ke kantor berburu agar tak terjebak macet. Tak ada waktu untuk membujuk atau merayu Tata dengan berbagai alasan. Dan memang harus begitu. Kaduanya harus disibukkan dengan urusan masing-masing, Ibu harus lekas-lekas ke kantor agar tak terjebak macet, dan Tata mau tidak-mau menangisi kepergian ibunya seperti seminggu sebelumnya. 

Tak ada orang lain yang bisa menyayangi Tata selain ibunya. Bu’de hanya bertugas mengajak Tata bermain atau menemaninya mengerjakan sesuatu di dapur. Bapak dan kakak laki-lakinya berada di Cirebon. Juga sibuk dengan urusannya masing-masing. Tata yang baru berumur empat tahun ini hanya mendapat kehangatan peluk ibunya saat malam hari.

Tiba-tiba, aku menemukan diriku dalam lamunan. Terbayang peristiwa yang masih melekat dalam ingatanku hampir 28 tahun silam. Pagi yang cerah di depan rumahku. Orang-rang di rumah, termasuk ibuku juga telah keluar mencari nafkah untuk keluarga, termasuk untukku. Kakak laki-laiku yang paling terakhir melangkah dari pintu depan, seakan tak rela meninggalkan diriku seorang diri di rumah. Nenek yang tak ramah denganku masih tetap berada di kamar. 

Kakakku membujuk agar aku tak bersedih dan menerima kenyataan itu. Aku harus ditinggal setiap hari seperti itu untuk masa depanku juga katanya. Loloslah dia karena telah berhasil membujukku. Nyanyian burung-burung pipit menyambut pagi tak sedikit pun menghibur. Yang namanya sedih tetap sedih.
Seorang kakek, tetanggaku, melambaikan tangan dan memanggil-manggil dari depan rumah papan polos tanpa cat sedikit pun. Dan aku pun mendekat. Ia bahagia karena aku telah melepaskan sedih. 

Wajahku kembali cerah, merona entah karena apa. Sama seperti anak-anak lainnya, saya terus ditinggal setiap hari. Tumbuh dan berkembang bersama nenek yang tak kenal kompromi. Selalu marah-marah dan suka terbakar emosi dengan tatapan tajam jika aku berbuat salah. Sisa rambutnya yang dikonde kecil, kulitnya yang keriput dan bertotol-totol, tubuhnya yang semakin pendek karena membungkuk serta tongkat yang setia menemaninya, tetap segar dalam ingatanku. 

Ia sering duduk-duduk di pintu depan menjaga ayam-ayam yang biasanya menerobos mencari makan di rumah. Dan setua itu, ia masih tetap mengisap tembakau. Jarang sekali ia berlaku ramah kepadaku, dan kepada kak-kakakku yang lain. Tapi ia tetap nenekku. Dan hanya ia yang tersisa dari keturunan ibuku. Nenek dan kakek dari ayahku telah mendahului kami, berpindah alam sebelum aku lahir. Sementara kakek dari ibukku, masih ada dan cukup kuat. Hanya sayangnya ia berada jauh dari kami. Ia telah pergi dan kawin lagi dengan perempaun lain dan menetap bersama isteri barunya itu. 

Mataku berkaca-kaca mengenang meraka. Dan melihat Tata yang masih meraung dan sesekali terseduh-seduh. Aku membayangkan Tata adalah diriku yang dulu, yang selalu ditinggal pergi ketika pagi hari. Orang-orang dewasa, kakak dan orang tuaku tak mau memerdulikan itu. Toh juga semua yang mereka lakukan untuk aku.  

Seandainya aku sudah bisa memainkan logika-logika seperti sekarang ini, aku akan melakukan protes kepada mereka, orang dewasa yang sok menjadi pahlawan terhadap diriku. Begitu juga Tata. Hanya bisa menangis untuk meluapkan keinginan protes atas kondisi yang ada. Cerahnya pagi tak berarti apa-apa bagi kami. Mendung atupun cerah tetap saja sama. Semua harus dimulai dengan tangisan. Entah mereka tau atau tidak. Aku yang kecil dulu dan Tata yang sekarang juga butuh perhatian mereka. 

Butuh kasih sayang, sama dengan anak-anak lainnya yang orang tuanya berkecukupan, sehingga ibu-ibu mereka tak perlu berangkat kerja di pagi hari seperti ibuku dan ibu Tata yang berburu macet di Jakarta. Tak banyak yang bisa dilakukan selain menangis dan menagis. Karena Tata tak bisa merangkai kata-kata untuk mengetuk hati orang-orang dewasa termasuk ibunya, untuk memberi perhatian penuh kepadanya. Dan itulah Tata. Sama seperti aku yang dulu.

Jakarta, 13 Agustus 2011

Guntur dan Sang Gubernurnya


Kaki-kaki kecil itu kembali melangkah mendekati kami. Tak banyak suara yang keuar dari mulutnya, keculi jika ditanya. Rambut plontosnya sama dengan potongan tentara yang baru lulus pendidikan kemarin. Terkadang ia menjungjung bakul berisi jagung rebus, terkadang juga ia menggandengya di samping dengan tangan kanan. Kaos putih yang ia gunakan lusuh dan tak lagi bersih karena dipenuhi banyak noda. Sawo matang kulit kakinya berlumuran debu, setelah melangkah berputar-putar mendatangi orang-orang yang ia lewati dalam tugasnya menjajahkan jagung rebus buatan ibunya. 

Guntur namanya. Ia adalah anak ke sebelas dari 12 bersaudara. Sudah dua tahun terakhir, ia luput dari hiruk pikuk sekolah. Ia tak bisa menikmasti indahnya suasana belajar dan bermain bersama teman-teman sebaya di lingkungan pendidikan formal. Hari ini, ia kembali mendatangi kami, menawarkan jagung rebus dan termenung melihat kami bercerita tentang pengalaman sehari ini. 

Seorang sahabat bertanya kepadanya seolah bersimpatik. Guntur menjawab seadanya sambil menunduk. Ia sepertinya malu saat ditanya apakah masih sekolah atau tidak. Setelah beberapa saat, ia berani menjawab lantang bahwa memang ia tak lagi bersekolah. Alasanya sangat sederhana. Tapi ia tak kuasa untuk menuntaskannya. 

“Dulu saya sekolah sampai kelas 4. Waktu pindah ke Palu, surat pindah saya ketinggalan. Pas mau masuk sekolah di sini, saya tidak punya surat pindah. Sudah lama mamaku minta sama tante di Ampibabo, tapi belum dikirim-kirim juga,” katanya mendeskipsikan pengalamannya.

Semestinya jika Guntur bisa melanjutkan sekolah di Palu, ia sudah duduk di bangku kelas 6 semester akhir. Ketika ditanya apakah masih ingin sekolah, ia mengangguk dan kembali menunduk. “Mau,” katanya.
Saya pun tertegun, mencoba menarik kembali peristiwa pagi tadi di kantor gubernur, untuk kembali di pelupuk mata. Katika itu, Gubernur Sulteng, Ahmad Tanribali Lamo, berpidato di hadapan para peserta upacara memperingati Hardiknas. Panjang lebar ia bercerita soal pendidikan anak bangsa, hingga mencanangkan Pendidikan Karakter di Sulteng segala. 

Hiruk pikuk upacara itu juga diramaikan dengan berbagai pertunjukkan kesenian dari anak sekolah dan pemberian penghargaan bagi siswa dan guru perprestasi. Dan memang seperti itulah kegiatan peringatan Hardiknas setiap tahunnya.

Pada kesempatan itu, Tanribali juga menyinggung kalau peringatan itu tidak hanya sebatas seremonial saja. Tapi ada bukti nyata dari pemaknaan Hardiknas bagi kelangsungan dunia pendidikan kita. Saya nyaris tak bersemangat lagi mengingat pernyataan Tanribali, ketika diperhadapkan dengan kondisi Guntur, yang hanya soal surat pindah, tak bisa melanjutkan sekolah. Entahlah, saya hanya bisa menuliskan ini. Saya tak bisa berbuat banyak, selain menulis cerita tentang Guntur dan berharap ada yang bisa membaca dan berempati kepadanya. 

Palu, 14 Mei 2011



Demokrasi Semu dan Budaya Korupsi


Spontan saja aku memilih judul ini. Ispirasinya singkat terbayang hingga memaksaku harus menulis lagi. Sehari yang lalu, aku diajak salah satu pasangan calon gubernur yang akan mengikuti Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulteng pada 6 Aparil mendatang. Semua berjalan lancar dan biasa-biasa saja, sejak saya dan 3 orang tim sukses serta calon wagub merangsek perlahan dengan mobil yang kelihatannya agak mewah bagi masyarakat awam, dan juga saya. 

Pagi itu, matahari yang bersinar teduh mengiringi perjalanan kami menuju kecamatan terujung di bagian barat Sulteng.

Kali ini, maksud perjalanan kami adalah bersilaturahmi. Ya, bersilaturahmi dengan warga di perbatasan, yang kebetulan berbeda kepercayaan denganku, calon wagub dan 3 orang tim sukses itu. Perlahan dan pasti, kami menelusuri bibir pantai menuju kota tua, Donggala. Perjalanan yang indah menurutku. Sebab dalam mobil, suasana santai terbangun apik dibumbuhi celetup-celetup guyonan sang calon wagub, dan disambut guyonan juga oleh ketiga rekannya. Aku hanya diam dan tersenyum-senyum, dan sesekali cengengesan.

Hampir dua jam kami melaju dengan kecepatan tak lebih dari 80 km per jam. Menjelang waktu makan siang, kami tiba di sebuah rumah makan sederhana di pinggir pantai untuk ngopi dan rehat siang.
Sambil makan, salah seorang tim sukses menerima telepon dari warga yang sudah menunggu di kampung sebelah, dimana acara silaturahmi akan berlangsung. Kami pun bergegas menuju lokasi. Karena sinyal yang kurang bersahabat, kami sempat melewati lokasi, dan kembali lagi, setelah dijemput puluhan warga yang menggunakan mobil dan beberapa sepeda motor.

Dalam bacaanku, kondisi warga benar-benar siap. Dan memang begitu. Sebelum memasuki lokasi, kami diajak masuk gereja dan didoakan, kemudian menuju lokasi.
Antusias warga mulai nampak ketika kami tiba dan berbaur dengan mereka di teras gereja, tempat akan berlangsungnya sosialisasi. 

Suasana pertemuan itu terbilang akrab, seolah ada semacam kerinduan warga ketika melihat kami. Usai diberi kesempatan berceramah, sang calon duduk dan berdiskusi dengan beberapa pemuka gereja. Tak lama berselang, rombongan warga Muslim dari salah satu kampung transmigrasi di bagian barat Kecamatan Banawa Selatan pun tiba. Mereka mengenakan seragam putih, berleter singkatan nama pasangan calon. Meski berbeda keyakinan, semua warga membaur dalam suasan penuh keakraban. 

Usai sudah acara ceramah, dan kami pun harus melanjutkan perjalanan. Di belakang mobil, ada beberapa warga yang meminta atribut calon. Diberikan dan diucapkan terima kasih. Dua orang kepala rombongan, datang menghampiri kami sambil menyodorkan selembar kertas berisi nama-nama warga. ”Pak 1 motor bensinnya 2 liter,” kata seorang ibu, yang menjadi kepala rombongan. 

Begitu juga dengan sang kepala kampung, yang berinisiatif mengundang kami untuk mengunjungi warga di kampungnya. Meski menggunakan motor, ia ingin juga naik mobil bersama kami, walau berdesak-desakan. Tapi, menurut seorang tim sukses, biar saja kepala kampung naik motor dan diberikan uang bensin. Dua lembar uang Rp50an pun diberikan kepada kepala kampung itu, agar ia naik motor saja.

Saya tak sempat merekam semua bisik-bisik di teras gereja tadi. Saya hannya mendengar siaran ulang di dalam mobil. Ternyata, selain disodorkan proposal pembangunan rumah ibadah, kami juga dimintai mensponsori sejumlah kegiatan, mulai dari membelikan kaos hingga hadiah. Hal yang sama juga kami dapatkan ketika berdiskusi di depan warung salah seorang warga. Mereka juga meminta agar dibantu menyukseskan kegiatan. ”Biar hanya tamba-tamba bonus saja pak,” kata seorang warga. 

Tak terjadi tawa- menawar, calon hanya melayani warga berdiskusi tentang realitas masyarakat dan budaya korupsi di pemerintahan. Semacam merendahkan diri, sang calon mengaku tak punya dana besar untuk membiayai kegiatan. Oh ya, saya hampir lupa, sebelum berdiskusi di warung itu, kami sempat bertemu seorang tokoh di kampung sebelah. Ia juga meminta batuan untuk pembangunan rumah ibadah.

Hampir 1 jam berdiskusi, kami pun harus kembali karena gelap nyaris menyelimuti seisi kampung. Hujan deras yang mengiringi perjalanan kami membuat jalan berlubang dan becek semakin sulit dilalui. Diskusi kecil di dalam mobil semakin kecil, hingga tak ada yang bersuara seorang pun. Aku hanya terdiam berusaha menikmati guncangan mobil karena kondisi jalan. Hujan, jalan berlubang dan licin itu membawa anganku melambung, menerawang, mereka-reka, meduga-duga, dan sedikit memastikan, kalau realitas demokrasi kita bisa digambarkan dengan perlakuan warga kampung tadi.

Aku mencoba membuat kesimpulan, kalau sikap ramah yang ditunjukan dengan tak malu-malu itu hanyalah sebatas lipstick di bibir mereka. Kelihatanya mereka bisa menyatu dalam harmoni perbedaan. Tapi aku cukup memelihara kecurigaan-kecurigaan kecil dibenakku atas harmonisasi itu. Sebab permintaan bantuan dan uang pembeli bensin tadi menyimpan tanda tanya, kalau saja sikap yang sama akan ditunjukan warga kampung kepada pasangan calon lain. Aku tersadar saat mobil kami meluncur cepat menuruni jalan membumbung dan tersentak di kubangan berbecek. Dan hujan pun semakin deras hingga kami kembali tiba di Palu, di sekretariat pemenangan.

Besoknya, aku bertemu seorang teman dan menceritakan pengalamanku itu. Dia, yang juga seorang pentolan aktivis 90an itu tak ragu menyatakan kalau itu adalah “gambaran demokrasi yang semu, dan stimulasi korupsi yang dimulai dari kelompok kecil di kampung-kampung”.

Palu, 14 Pebruari 2011