Kamis, 27 November 2014

Demi Pengabdian untuk Ilmu Pengetahuan, Keluar Masuk Hutan Sudah Menjadi Hobi



Prof. Ramadhanil Pitopang
Salah satu Penggagas Herbadrium Celebense


SUDAH tak terhitung jumlahnya, malam-malam dingin yang ia lalui selama bertahun-tahun berburu spesimen di hutan-hutan Sulawesi.  Berteman nyamuk, meringkuk dibalik kantong tidur untuk bertahan dari udara dingin pegunungan. Kalau komitmen diukur dari upaya seperti itu, maka kecintaan Prof. Ramadhanil terhadap dunia biologi tumbuhan tak perlu diragukan. Pria kelahiran Payakumbuh tahun 1964 ini mulai jatuh cinta dan serius untuk mengoleksi spesimen-spesimen di Sulawesi, setelah mendapat kesempatan dalam sebuah program pelatihan Manajemen Herbarium oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun1998. Selama 6 bulan, ia dan 6 orang rekan seprofesinya menekuni  sistem manajemen Herbarium di Kebun Raya Bogor. Dari Sulawesi Tengah, hanya dia yang ikut pada kesempatan sangat berharga tersebut. Berbekal pengalaman singkat itulah, setelah pulang ke Palu, ayah tiga anak ini mulai melakukan pengoleksian setahun kemudian. Dengan ruangan dan peralatan apa adanya, ia dan beberapa rekannya mulai melakukan upaya pengabdian terhadap ilmu pengetahuan itu. Mengumpulkan sejumlah spesimen Sulawesi. Baru-baru ini, ia bersama dua rekannya meluncurkan sebuah buku berjudul ‘Flora Fauna Endemik Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah’. 

Akhir pekan lalu, dosen Fakultas Mipa Untad ini meluangkan waktu berbincang-bindang dengan awak media ini, berkisah tentang bagaimana ia dan rekan-rekannya membangun Herbarium Celemebense di Universitas Tadulako, sebuah pusat studi biodiversity Sulawesi. Untuk lebih lengkapnya, berikut kutipan wawancaranya bersama reporter Mohammad Sahril dan Fotografer Ananda Rioeh.

Saya dengar anda baru megeluarkan buku, tentang apa itu?

Ya, ini buku kami yang terbaru. Kami mencoba mendokumentasikan flora dan fauna endemik di Kabupaten Sigi, khususnya di wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Dunia mengakui, bahwa kita punya berbagai macam spesies endemik, yang sangat unik. Karena itu, kami sebagai orang-orang yang memang punya hobi dan belajar tentang tumbu-tumbuhan ini, merasa terpanggil untuk melakukan upaya-upaya ini. Hitung-hitung bisa bermanfaat bagi orang lain. Terutama bagi dunia pendidikan kita. Kami senang, pemerintah Kabupaten Sigi mendukung dan sangat peduli tentang keanekaragaman hayati yang mereka miliki. Upaya ini, memang tidak bisa kami lakukan sendiri, tanpa dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah.

Kapan anda benar-benar serius untuk memulai upaya pengoleksian spesimen-spesimen ini?

Sekitar tahun 1999. Waktu itu, saya masih di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Ini sebagai rangkaian yang tak terpisahkan dari kegiatan yang saya ikuti di Bogor tahun sebelumnya. Waktu itu, LIPI bekerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi, melakukan Pelatihan Manajemen Herbarium. Kami, saya dari Palu, bersama teman-teman dari seluruh Indonesia, kumpul di Kebun Raya Bogor, di rumah Belanda yang tua itu. Kami mengikuti pelatihan itu selama enam bulan. Tidak boleh pulang selama itu. Saya, pas dengar kegiatan ini langsung tertarik. Karena memang ini hobi saya sejak sekolah dulu. Nah, setelah mengikuti pelatihan itu, harapannya, kami para alumni ini bisa menjadi penginisiasi untuk membangun Herbarium di masing-masing daerah, atau di universitas yang mereka wakili. Inilah cikal-bakal berdirinya Herbarium-Herbarium yang ada sekarang di seluruh Indonesia.

Oh ya, sebenarnya apa Herbarium ini, apa fungsinya?

Iya, memang waktu awal saya memperkenalkan ini, orang-orang bertanya-tanya, hewan apa lagi ini. Tapi akhir-akhir ini mereka sudah kenal, setidaknya tempatnya di kampus Untad itu mereka sudah tahu. Nah, kalau kita bicara apa itu Herbarium, ini adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk mengoleksi, mendokumentasikan spesimen-spesimen di suatu daerah. Herbarium ini asalnya dari kata herba, tumbuhan. Awalnya memang sebagai upaya untuk melakukan pengkoleksian suatu spesies tumbuhan, dengan cara mengeringkan. Jadi tumbuhan-tumbuhan itu, entah berupa daun atau akar, dikeringkan dan dilapisi kertas secara bolak balik, untuk mempertahankan kondisi bentuknya. Nah, seiring perkembangannya, istilah ini menjadi sebuah laboratorium yang mempunyai tugas dan fungsi untuk mengoleksi, mendokumentasikan dan mendata base seluruh tumbuhan, baik yang masih hidup atau yang sudah dikeringkan, atau yang diawetkan dengan spiritus atau ethanol. Nah sekarang, kalau orang bilang Herbarium, orang-orang sudah tau, bahwa ini sebuah lembaga yang bertugas untuk mendokumentasikan koleksi-koleksi tumbuhan. Semua koleksi yang ada di dalamnya, disebut spesimen Herbarium. Kalau ada orang bertanya bagaimana bentuk daun kayu Eboni, kita bisa tunjukkan koleksi Herbariumnya dalam bentuk yang sudah dikeringkan, atau yang diawetkan dengan ethanol. Sederhanya, Herbarium bisa dikatakan sebagai laboratorium atau perpustakaan khusus tumbuh-tumbuhan.

Ada berapa model pengoleksian Herbarium?

Macam-macam, semua tergantung dari jenis tumbuhan yang akan dikoleksi. Kan setiap tumbuhan itu, punya proses yang berbeda-beda juga ketika didokumentasikan. Kalau tumbuhan-tumbukan kecil, bisa diambil mulai dari akar, batang hingga daunnya. Kalau pohon kan tidak mungkin dicabut dengan akar-karnya. Kalau anggrek, karena bunganya cepat patah, akarnya mudah rusak, makanya dibuat dalam koleksi basah, ditaruh di dalam larutan ethanol dan campuran IAA, kalau tidak salah. Ada juga yang dalam bentuk kayu-kayuan. Misalnya rotan atau kayu-kayu yang besar. Ini disebut koleksi carpology. Misalnya untuk menunjukkan contoh-contoh kayu yang diperdagangkan yang ada di Sulawesi. Kalau Herbarium yang sudah berkembang, biasanya mereka mengoleksi tumbuhan dalam bentuk hidup, sepeti yang di Bogor itu, Kebun Raya Bogor. Jadi, orang-orang bisa melihat langsung bentuk aslinya yang masih hidup di kebun.

Kalau yang disimpan di dalam gedung, cara perawatannya bagaimana?

Umumnya, yang disimpan di dalam gedung, yang dalam koleksi kering, diawetkan dengan cara dioven, dihilangkan kadar airnya supaya tidak berjamur. Terus ada pemeliharaan setiap tiga bulan. Semua spesimen itu dirawat, dimasukkan ke dalam mesin pendingin, freezer pada suhu minus 20 derajat. Ini dilaukan untuk membersihkan spesimen, membunuh kutu atau jamur-jamur yang bisa merusak koleksi-koleksi tersebut. Perawatan secara reguler ini, untuk harbarium-herbarium besar seperti di Bogir itu (Bogoriense), mereka sudah tidak lagi memasukkan boks-boks penyimpanan itu ke dalam freezer. Karena mereka punya koleksi sudah banyak, sekitar 3,5 juta spesimen. Kan repot kalau dikeluarkan satu per satu. Akan memakan waktu. Makanya mereka mengggunakan cara yang sama seperti yang sering kita lihat ketika tim kesehatan melakukan fooging untuk membasmi jentik-jentik nyamuk demam berdara. Kalau di Herbarium, gedungnya dikunci rapat-rapat, kemudian koleksi-koleksi itu dikeluarkan dan diasapi dengan bahan-bahan kimia pembasmi serangga dan jamur. Dan yang mengerjakan itu, ada konsultan khususnya. Tidak boleh kita sendiri yang melakukannya. Karena ini juga menyangkut keamanan kesehatan lingkungan. Memang perhatian mereka terhadap dokumen-dokumen ini sangat besar. Perlindungannya sama dengan dokumen-dokumen negara.

Saya kagum dengan ada koleksi milik National Herbarium of Netherlands di Laiden. Mereka punya spesimen koleksi itu dari tahun 1700. Itu masih tersimpan dan masih awet sampai sekarang. Yang menarik, waktu beberapa tahun lalu kami pernah berkunjung kesana bersama Almarhun Rektor Untad lama, pak Sahabudin Mustapa, dengan rombongan pemerintah daerah, termasuk mantan gubernur kita, pak Paliuju. Pak gubernur waktu itu tanya koleksi kayu Eboni mereka. Mereka tunjukkan. Koleksi itu diambil pada tahun 1800an. Mungkin di lokasi tempat diambil tumbuhan itu sudah tidak ada lagi kayu hitamnya. Tapi mereka masih punya koleksi Herbariumnya. 

Kalau di Indonesi, apa semua Universitas atau daerah punya Herbarium?

Tidak semua. LIPI punya data tentang herbarium-herbarium yang ada di Indonesia. Bisa dibuka melalui ‘Indeks Herbarium Indonesiano’, di situ bisa kelihatan di mana saja Herbarium di Indonesia. Baik yang ada di universitas, atau milik lembaga-lembaga riset. Kalau di Kalimantan Timur, itu ada namanya Herbarium Wanariset. Itu milik kehutanan. Kalau di Palua, ada Herbarium Manokwari. Ini termasuk yang sudah lama, dari tahun 1950an, warisan Belanda. Sudah ada pada masa penjajahan dulu, sama seperti yang di Bogor. Setahu saya, yang dibangun dari nol, Herbarium kita yang ada di Untad, Herbarium Celebense, Herbarium Wanariset dan Herbarium Berau di Kalimantan. Dan semua model pengelolaanya mengadopsi pola yang dikembangkan di National Herbarium of Nedherlands di Leiden. Kebetulan technical support-nya dari Belanda. Misalnya untuk teknik pengeringan, mulai dari bentuk boks, ukuran kertas. Ukuran kertas ini, berbeda-beda untuk setiap Herbarium di dunia. Kalau kita, sama dengan yang di Leden, karena kita mengacu ke sana. Jenis kertas ini juga khusus. Tidak seperti kertas yang umum kita gunakan. Kertasnya adalah kertas yang bebas asam. Kertas Acid Free namanya. Kenapa harus bebas asam, supaya tidak mudah rusak, atau terdegradasi oleh bakteri, atau dimakan rayap. Kalau kertas Acid Free, tahan lama. Bentuknya tebal dan licin. Nah, yang kita pakai sekarang, itu semua adalah bantuan dari Belanda. Walaupun Indonesia juga sudah mulai produksi.

Oke, bisa cerita sedikit bagaimana pengalaman pertamanya melakukan pengoleksian?

Ceritanya lumayan panjang ini. Tapi singkatnya begini. Saya menganggap ini sebagai sebuah rangkaian kejadian. Pertama-tama sekali, setelah pulang dari Bogor tahun 1998 itu, saya dan beberapa teman sudah mulai mengoleksi dengan cara seadanya. Kami memulai dari pencarian di daerah Banawa. Saya bersama dengan Alm. Pak Ramli Tantu, pak Nur Sangadji dan pak Abdu Hamid Nur. Kebetulan waktu itu tim ini punya kerjasama join research dengan pihak Canada, melalui programnya CIDA. Koleksi kami pertama itu dari kawasan pesisir Banawa itu. Terus saya minta sama pak Akbar satu ruangan. Dari satu ruangn kecil itu saya dan teman-teman mulai bekerja, mengumpulkan dan menyimpan spesimen-spesimen itu. Waktu itu memang belum terstandarisasi peraalatan yang kami gunakan. Kertas-kertas pun kami gunakan yang biasa, sama seperti kertas-kertas yang digunakan untuk foto copy itu. Dalam pikiran kami, yang penting ada dulu koleksi. Terus kebetulan setelah itu ada tim riset dari belanda, mau melakukan penelitian di hutan kita di Sulteng. Saya bersama dengan pak Sukur Umar, paka Muslimin dan pak Imam. Kami bawa waktu itu mereka ke Lalundu, tapi bukan itu yang mereka cari. Akhirnya dua hari kemudian kami bawa ke Bolapapu, daerah Kulawi. Nah mereka suka, karena hutan seperti itu yang mereka maksud. Mulai dari situ, kawasan itu mereka plot-kan menjadi satu site lokasi penelitian mereka. Nah dari situlah upaya ini mulai berkembang. Saat itu juga, kami buat semacam kontrak MoU. Walaupun itu hanya semacam ‘MoU-MoU-an’ dengan dekan Fakultas Pertanian, Muhammad Idris ketika itu. Lucu juga waktu itu, semua dilakuakn secepat mungkin. Di laptop pak Syukur Umar itu diketik MoU. Kemudian jempat pak Idis di rumahnya untuk tanda tangan. Nah, mulai saat itulah kita bekerjasama dengan pihak Jerman. Kita susun proposal bersama untuk proyek-proyek penelitian. Setelah itu, ada program Stability of Rainforest Margins in Indonesia  (STORMA). Dari sinilah Herbarium mendapat kesempatan untuk dijadikan posisi tawar dalam projek itu.  Ketika kami tawarkan, mereka langsung tertarik. Karena mereka anggap kita punya banyak kekayaan boidiversity yang unik dan belum diiventarisir secara menyeluruh. Nah, begitulah cikal bakalnya. Jadi, sebelum ada Jerman, kita sudah memulainya. Dengan mereka, semakin jelas mimpi-mimpi kita dan harapan pihak LIPI yang telah memberi pelatihan kepada saya dan teman-teman lain se-Indonesia.

Di Sulawesi sendiri ada berapa Herbarium?

Di Manado ada. Herbarium Walaceana namanya. Pak Harpolo yang pegang di sana. Tapi belakangan saya tanya kabarnya, katanya sudah tidak aktif. Katanya situasinya kurang mendukung. Malah sekarang, dia berpindah dari dunia tumbuhan ke serangga. Sedangkan di Unhas, ada pak Alm. I Nengah Wirawan di Fakultas Kehutanan. Dia orang LIPI juga. Waktu TNLL kita ini dipersiapkan menjadi Taman Nasional, dia dan beberapa temannya sudah memulai pengkoleksian. Itu untuk memenuhi kebutuhan pencanangan Taman Nasional itu. Dia yang melakukan penelitian di sini. Sebagian koleksi dia itu disimpan di Unhas. Setelah itu, dia keluar dari Unhas, bekerja di LSM Internasional di Hawai. Dan sekarang, saya dengar kabar, situasinya sama dengan yang di Manado. Tidak ada yang urus. Saya juga khawatir dengan kita punya di Tadulako. Situasinya bisa sama, kalau tidak ada orang yang serius mengurusnya. Saya kan sekarang sudah di jurusan. Walaupun sekali-sekali saya datang ke Herbarium melihat-lihat koleksi dan tanya-tanya perkembangan mereka di sana.

Mudah-mudahan Herbarum kita tidak seperti di Unhas dan di Manado itu. Tapi, apa bagi anda ada jaminan kalau Herbarium itu bisa terus menjalankan tugas dan fungsinya?

Ya, kita berharap bisa tetap bertahan untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Tapi bagi saya, tugas-tugas itu harus dilakukan oleh orang-orang yang memang mempunyai hobi dan berdedikasi tinggi dalam bidang itu. Saya juga kemarin kaget, tiba-tiba saya diberi tugas di jurusan, dan dibilang bahwa saya tidak lagi di Herbarium. Sudah ada orang lain di sana. Seperti yang anda bilang, kami membangun itu di awal-awal benar-benar tak punya kepentingan lain, selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dan anda pasti tahu, orang-orang yang bekerja dengan hoby, pasti akan betah dan senang bekerja. Saya, karena memang ini hobi sejak sekolah dulu, merasa senang saja berada di lab, masuk keluar hutan. Berteman dengan nyamuk, dingin. Sampe hanyut-hanyt di sungai, tapi saya nikmati. Memang pekerjaanyaa ini sedikit rumut. Mulai dari kita temukan dia (spesimen) di hutan dengan segala upaya, terus dibawa ke lab, dikeringkan dan diberi nama sehingga dia benar-benar menjadi spesimen.Kalau hanya tumbuhan yang dikeringkan, tidak punya nama dan informasi yang terkait dengan itu, sama saja seperti sampah. Butuh upaya lanjutan untuk membuatnya menjadi dokumen dengan label ilmiah. Jadi tidak mudah mengumpulkan spesimen-spesimen itu. Bagi saya, spesimen-spesimen itu seperti anak-anak saya sendiri. Dulu waktu saya masih di Fakultas Kehutanan, ada 5 orang kader mahasiswa yang saya persiapkan. Mereka selalu ikut ke lapangan. Tapi belakangan, mereka memilih berkarir di dinas lain, karena tidak ada formasi untuk bidang ini. Padahal kalau mau mau mengembangkan Herbarium ini, butuh banyak orang. Mereka akan menangani spesialisasi masing-masing. Ada di bagian roran misalnya, bagian anggrek dan lain sebagainya.

Sejauh ini yang anda lihat di Herbarium kita?

Saya selalu sempatkan ke sana setiap bulan. Sayangnya, tidak ada perubahan. Tidak ada koleksi bertambah, padahal  kita masih punya banyak spesies yang belum terdokumentasikan. Saya anggap  masih banyak misteri-misteri biodiversity kita yang belum terungkap. Dunia mengakui kita sebagai 1 dari 10 biodiversity yang ada di dunia. Itu karena endemisitasnya yang cukup tinggi. Saya sering beritahu mereka untuk melakukan upaya-upaya peningkatan. Kalau ditugaskan di sana lagi, saya mau sekali. Tak perlu saya jadi kepalanya. Karena bidang saya disitu. Bisa dibilang, bidang ini sudah menjadi bagian dari roh saya.

Oh ya, kita flashback sedikit ke belakang. Kenapa anda sangat mencintai dunia tumbuh-tumbuhan ini?

Waktu SMA saya memilih kelas IPA. Ada guru biologi saya namanya ibu Rukmini. Dia yang mengajarkan kami tentang bagaimana cara membuat koleksi-koleksi Herbarium. Kemudian saya masuk Jurusan Biologi di Universitas Andalas, saya bertemu dengan pak Rusdi Tamin. Beliau menjadi idola saya. Kalau turun praktek ke lapangan, dia kelihatan sangat ceria sekali. Pak Tamin hanya S1, tapi kemampuannya mengenal tumbuh-tumbuhan itu luar biasa. Beliau juga orang gila kerja. Dia yang membangun Herbarium di Universitas Andalas. Beliau kami gelar sebagai kamus biologi berjalan. Setiap kami tanya satu jenis tumbuhan, umumnya beliau tahu. Nah, itu yang mengilhami saya untuk tekun di dunia biodiversity ini. Ditambah lagi, dalam filosofi kami orang Padang, bahwa wajib hukumnya belajar dari alam dan tumbuh-tumbuhan. Banyak sekali ilmu pengetahun di alam bebas. Ini yang kami sebut dengan salah satu pepatah minang; “Alam Takambang menjadi Guru”. Maksudnya, setiap fenomena yang terjadi di alam, itu adalah pelajaran. Waktu S1, skripsi saya tentang spora. S2 di Bandung, di ITB, tesis saya tentang biologi lingkungan. Pas S3 di IPB, saya mulai fokus di ilmu Taksonomi Tumbuhan.

Oh ya, saya dengar anda pernah belajar di luar negeri, di mana itu?

Ia, di Dublin College University di Irlandia, tahun 2011. Waktu itu kebetulan saya ambil program post doktoral. Ada prorgam Erasmusmundus yang dibiayai oleh Komisi Eropa. Saya dapat kesempatan itu sebelum mendat gelar Profesor. Secara kebetulan juga, ada seminar di Aceh waktu itu, tentang land use change after tsunami. Setelah presentase, saya ketemu profesor yang menjadi tim seleksi untuk program dari Erasmusmudus ini. Saya diwawancara, akhirnya bisa diterima. Saya urus semua dokumen, akhirnya bisa berangkat. Saya di Dublin mengajar selama satu semester. Dan melakukan riset juga. Kebetulan yang urus di sini ibu Dr. Aiyen. Dia yang tawarkan saya pertama kali untuk program itu. 

Yang terakhir, apa harapan anda tentang Herbarium kita?

Seperti yang kita ketahui, Herbarium itu punya fungsi strategis untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Kami berharap dulunya, dia akan menjadi tempat berkumpulnya para peneliti-peneliti biodiversity, menjadi reserch station. Sekarang kita sudah terdaftar secara internasional. Kalau ada peneliti yang membuat laporan penelitian, kalau mereka menulis tentang spesimen yang ada di kita, mereka selalu menyebutkan kode Herbarium kita.  Mengngingat fungsinya sangat strategis dan situasinya bisa timbul tenggelam, kita berharap orang-orang yang ditempatkan menjadi pengelola, bisa memahami itu sehingga kerja-kerja ilmu pengetahuan itu tetap berlanjut. Dan semakin banyak lagi koleksi-koleksi kita. Akan lebih meningkat lagi dari sekarang yang masih 15.000 koleksi. Sekarang kita sudah dikenal, dan punya jaringan. Sebagai Herbarium yang dibangun dari nol, kita sudah punya ribuan koleksi. Dan ingat, kita masih punya banyak kekayaan biodibersity yang belum terinventarisir. Ini yang menjadi tantangan dan juga peluang bagi para ilmuan kita. Saya berharap, ini bisa menjadi perhatian kita bersama, sampai pada mewujudkan mimpi-mimpi kita untuk melahirkan sebuah kebun raya, yang didalamnya tersimpan koleksi tumbuh-tumbuhan endemik Sulawesi.








Korbankan Ruang Tamu Rumah Menjadi Perpustakaan


Mohammad Isnaeni Muhidin, 
Pemilik Perpustakaan Mini Nemu Buku

Karena hobi, orang bisa melakukan apa saja. Orang-orang menginvestasikan banyak hal dalam hidupnya. Waktu, pikiran dan materi adalah kombinasi investasi yang akan terus mengkristal menjadi sebuah kenyataan, mewujud dalam cita-cita. Terkadang, orang lain mengangap mereka aneh, seperti apa yang dilakukan Opik di Garut. Ia membangun perpustakaan alam dengan cara mendatangi para petani di kebun atau sawah mereka dengan tumpukan buku-buku miliknya. Apa yang ia inginkan hanyalah sebuah kepuasan. Dengan apa yang ia punya, ia terus menempa diri untuk mendedikasikan hidupnya pada dunia literasi. Ia yakin, petani yang membaca buku akan lebih unggul pikirannya dibanding yang tidak membaca. Di Palu, diam-diam seseorang telah membuat kontrak dengan ibunya. Mau pindah ke Palu, asal diberi ruang untuk menjalankan hobinya. Neni Muhidin, yang mulai jatuh cinta dengan buku semasa semester III saat kuliah dulu, pindah ke Palu bersama anak isterinya setelah Ibunya memberi lampu hijau; “lakukan saja hal positif apa yang kau mau, asal kau di Palu”. Dan Neni pun hijrah. 

Kamis (13/11) siang kemarin, Palu Ekspres menyambanginya di perpustakaan mini miliknya di Jalan Tururuka Palu Selatan. Dalam suasana santai, ia berbagi cerita tentang usahanya membangun perpustakaan, mengorbankan ruang tamu rumahnya, untuk diletakkan rak-rak setinggi orang dewasa dengan buku-buku yang berjubel di atasnya. Ruangan itu menjadi semakin sesak. Tak mampu menampung ribuan buku yang setiap waktu datang dari hasil donasi orang-orang. Berkat upayanya selama ini, pertengahan Oktober lalu, Neni mendapat penghargaan dari Kemendikbud, sebagai perpustakaan komunitas terbaik se Indonesia di hari Literasi internasional di Kendari. Untuk mengetahui lebih jauh tentang cerita bapak dua anak ini, berikut petikan wawancaranya dengan reporter Mohammad Sahril dan fotografer PE, Ananda Rioeh.

Kemarin saya dengan anda mendapat penghargaan dari kementerian, penghargaan apa itu?

Iya, saya juga kaget. Ada beberapa kategori yang dinilai dan mendapat penghargaan. Di anataranya ada kategori perpustakaan lingkungan “Rumah Akar” di Medan, mereka berbasis lingkungan karena di alam terbuka. Yang kategori anak-anak, di Jember yang dapat. Nah, saya dapat yang kategori komunitas. Saya tak tau juga kenapa mereka bilang saya berbasis komunitas. Waktu Firman, orang Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) pusat datang asistensi, kebetulan saya pertemukan dia dengan teman-teman komunitas. Mungkin itu yang menjadi indikator mereka.

Kapan perpustakaan ini dibangun?

Ini sedikit panjang ceritanya. Sebelum di sini, saya setelah kuliah menetap di Bandung. Mama minta saya pulang. Cuman saya bilang kalau saya mau bangun perpustakaan ini. Nah, dia terbuka dan asal saya mau pindah. Itu sekitar tahun 2007. Sebelumnya saya bangun di teras samping itu. Ada 3 rak yang saya punya. Sederhana saja modelnya, papan-papan saya susun dengan pembatas batu bata. Jadi ada tiga susun. Tapi karena sering hujan dan atas bocor, akhirnya saya pindahkan. Ya seperti sekarang ini, di ruang tamu itu. Itu buku yang saya bawa dari zaman kuliah. Tak banyak, sekitar 300 judul saja dulunya.

Sebelum jauh mengembara di dunia literasi, kapan anda pertama mengenal buku?

Mengenal buku? Saya jatuh cinta untuk pertama kali ketika membaca novel filsafat milik Sustain Garder “Dunia Sofie”. Karya ini, terus terang telah memikat hati saya untuk mengenal lebih jauh tentang buku, tentang membaca. Inilah yang bagi saya sebagai pengalaman sangat pribadi dalam membaca. Waktu itu saya baru semester III di bangku kuliah. Ini termasuk lambat sebenarnya. Zaman SMA saya acuh saja dengan buku, saya anggap orang baca buku itu sia-sia. Tidak ada asiknya. Jadi saya tidak heran kalau saat ini, anak SMA itu tidak suka baca buku. Karena mereka belum menemukan pengalaman baca secara personal. Bagi saya, berdasarkan pengalaman pribadi, membaca itu bukan karena diajak-ajak. Tapi karena keinginan sendiri dan merasakan pengalaman menyenangkan itu. Dunia Sofie ini kan, membangun percakapan-percakapan filsafat yang mengena dengan usia-usia remaja; siapa saya, untuk apa saya hidup dan seterusnya. Itu yang membuat saya tertarik. Tapi soal ini bukan hanya pada buku. Apapun tentang hobi itu, dimulai ketika seseorang mendapatkan kesan dari pengalaman menyenangkan itu. Mau film, mau olah raga dan lain sebagainya.

Ketika itu, bagaimana atmosfer lingkungan anda, apa memang mendukung? Saya dengar juga ada muncul istilah aktifis buku, bagaimana itu?

Ya, bisa juga dibilang begitu. Tapi bagi saya ini semacam sebuah rangkaian situasi yang pada waktu itu secara alamiah membentuk saya dan teman-teman. Saat itu, sebelum peristiwa 1998 situasi politik berubah.  Situasi saat itu, kalau mahasiswa tidak turun ke jalan, itu bukan mahasiswa namanya. Kemudian saya mengenal dunia pers mahasiswa (Persma) di kampus. Dan satu-satunya tempat bagi saya untuk mengatasi kegalauan, hanya di Presma. Inilah yang membangkitkan gairah saya untuk menjadi aktivis ketika itu. Buku, waktu itu menjadi teman paling dekat bagi para aktivis mahasiswa. Banyak klub-klub buku yang mendiskusikan soal-soal politik dan situasi terkini. Ini yang mungkin dikatakan sebuah atmosfer kritis yang juga memberi dampak terhadap saya. Situasi politik menjelang reformasi itu, membuat kita menjadi lebih kritis. Saya masuk Universitas Pasundan tahun 1996, dua tahun kemudian reformasi. Di masa-masa semester awal itu, pencarian kita untuk menjawab rasa ingin tahun itu besar sekali. Saya lebih banyak larut di Persma daripada aktivitas kuliah. Sayang juga sih, orang tua kirim uang setiap bulan untuk ongkos kuliah. Tapi saya lebih dapat banyak hal di Presma. Tanggungjawab saya ada dua, harus selesaikan kuliah dan Persma. Tapi saya lebih merasa bertanggungjawab terhadap Persma.

Apa pengalaman yang paling anda ingat ketika menjadi Persma?

Wah ini yang saya tidak bisa lupakan. Oleh teman-teman Persma Balairung di UGM, saya ditantang untuk mewawancarai Umar Khayam. Orang-orang tau, bahwa tidak mudah menembus sastrawan ini. Dia termasuk orang yang ego budayawannya tinggi. Apalagi kepada saya yang hanya Persma. Tapi saya ambil tantangan itu. Pertama dia tolak. Pak Umar bilang kalau dia capek dan lagi tidak mau diwawancarai. Saya buat strategi. Saya buat dia menjadi marah, agar dia semakin terpancing. Saya bilang; “Bapak tidak bisa begitu, saya jauh-jauh datang dari Bandung untuk mewawancarai bapak, masa ditolak begitu saja”. Akhirnya dia terpancing. “Sampeyan ini bandel”.  Dia tanya lagi; kamu pasti bukan orang Sunda? Saya bilang saya orang Sulawesi. Orang bugis kamu? Saya bilang bapak saya orang Bugis. Dan inilah pintu masuk bagi saya. Tapi yang paling membuat saya berpeluang, dia tanya tentang mantan Rektor Untad pertama, Prof. Matulada. Itu teman baiknya. Dari sini saya bisa masuk, disuruh datang ke ruangannya di kampus. Perkara akan bicara apa di sana, itu urusan nanti. Yang penting saya bisa tembus.

Pengalaman lain yang mengkonstruksi hobi ini?

Oh iya, satu lagi. Tentang Tobucil di Bandung. Toko Buku Kecil milik Tarlen. Setau saya Tobucil sudah 3 kali pindah. Kalau saya ke Bandung, saya pasti sempatkan ketemu Tarlen. Terus terang, toko buku itu menginspirasi saya. Sampai sekarang, dia mempraktekkan betul literasi itu. Kami sering share kalau ketemu. Misalnya soal gerakan-gerakan literasi yang akan dibangun di setiap daerah. Ternyata berbeda-beda pendekatannya. Tadinya saya pikir bisa. Waktu di Tobucil dulu, Tarlen buat banyak klub baca. Mulai dari anak SMP yang sudah suka baca buku, sampe pensiunan tentara. Saya waktu itu terlibat aktif dalam klub baca Pramoedya Ananta Toer. Mulai dari kehidupan pribadinya Pram sampai urusan sikap politiknya, kami ulas. Dari situ juga saya mulai jalan-jalan ke Jogja, ketemu teman-teman AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) di sana. Dari sinilah cikal bakalnya penulis-penulis Insist, seperti Putut EA, Eka Kurniawan yang novelis itu. Saya merasa harus ke Jogja dan berkenalan dengan orang-orang seperti mereka. Sama-sama kerja untuk On-Off, news letter sastra yang sangat eksperimen. Saya jadi lopernya di Bandung. Jadi mereka kirim dari Jogja, saya masukkan ke distro-distro.

Soal pendekatan yang berbeda ketika membangun iklim literasi, seperti apa itu?

Kalau kita ngomongin literasi di lokus yang berbeda, pendekatannya juga harus beda. Contoh kasus begini; kalau di Bandung Jogja dan Jakarta, kita modal sms atau mailing list saja mengundang, orang sudah datang. Di sini, kita harus mengundang orang pake kertas, namanya harus benar, sesuai gelarnya. Dan cara-cara itu memang saya tempuh di sini. Kadang kepikir, ada cara yang lebih mudah dan smpel untuk urusan ini. Tapi ya, situasinya memang begini. Padahal mereka yang diundang ini kan juga suka tentang acara-acara yang kita buat. Nah, pendekatan-pendekatan itu yang menurut saya, masih menjadi tantangan sampai hari ini.

Bagaimana dengan kondisi anak-anak muda kita sekarang, terkait literasi?

Yang saya lihat, dua-tiga tahun terakhir sudah mulai ada perubahan. Mereka tidak mengenal secara langsung apa itu literasi. Tapi kegiatan mereka sudah menjadi bagian dari kegiatan literasi. Misalnya abak-anak muda yang menjadikan hobinya menghasilkan. Contoh teman-teman yang suka gambar-gambar, desain, sablon kaos trus dijual. Artinya begini, mereka tau betul apa yang mereka kerjakan. Saya sering bilang bahwa literasi itu adalah kecakapan kita terhadap apa yang kita lakukan. Misalnya seorang PNS, dia sudah tau, kalau jadi seorang pegawai itu, harus tau undang-undang, cakap computer, internet dan lain sebaginya. Inilah kegiatan literasi secara sederhana. Jadi, bahwa perpustakaan itu bagian dari literasi, benar. Tapi tidak bisa literasi ini direduksi menjadi hanya sebatas perpustakaan dan buku. Komunitas-komunitas literasi saat ini, selain dia dengan buku, dia juga dekat dengan aktifitas lain. Misalnya sambil bercerita ngalor ngodul dengan teman-temannya, mereka merajut. Dan tangtangan bagi pegiat leterasi seperti saya sekarang adalah, membuat kegiatan yang mengundang orang datang, tapi tidak bermaksud mengguruinya. Tapi membuat mereka menjadi merasa aktual. Dia merasa betul bahwa dia ada. Terlibat dalam diskusi atau forum-forum itu. Kita tidak mengajarkan orang bagaimana menulis. Tapi memfasilitasi mereka untuk berbagi tentang tulisan-tulisannya. Dan dengan begitu, orang akan merasa aktual, kalau tulisannya dibaca dan ditanggapi orang.

Selain anda mengupayakan buku-buku ini sendiri, apa ada donasi dari pihak lain?

Ia, terakhir saya buat barter buku dengan pohon. Satu pohon satu buku. Dulu saya pernah dapat bantuan buku anak dari Yessi Gusman. Bukunya masih ada. Begitu juga dengan Rieke Diaptaloka. Dia sebenarnya mau bawa buku itu ke Sidoarjo, untuk anak-anak korban lumpur Lapindo. Tapi Pemdanya nolak, dianggap politis. Akhirnya dia kontak saya. Saya bilang yang saya mau sekali. Sekarang sudah lebih 7000 judul buku yang ada di perpustakaan ini. Tapi lebih banyak yang sastra. Saya juga punya banyak koleksi khusus sejarah-sejarah lokal Sulawesi dan Sulawesi Tengah.

Bagaimana dengan pinjam bukunya, apa harus jadi anggota?

Ia, saya buatkan kartu anggota. Tapi saya bilang ke mereka, bahwa jangan disamakan dengan meminjam di perpustakaan-perpustakaan di luar-luar. Saya bangun perpustakaan ini, saya mau orang-orang bertangungjawab, dan menjadi bagian dari perpustakaan ini. Ya, absurd memang. Maksud saya, siapa yang kita bisa percaya di zaman seperti ini? Tapi saya optimis, bahwa orang yang sudah mencintai buku, dia pasti akan menjadi lebih manusiawi. Kita juga menemukan orang-orang meminjam dengan waktu yang sudah lewat dari waktu peminjaman. Di sini, satu buku 2 minggu. Biasa mereka selipkan uang karena sudah lewat waktu peminjamannya. Tapi saya kadang tidak tega.

Apa ada masa-masa yang membuat anda ngedrop untuk mengurus semua ini?

Mungkin yang kamu maksud adalah soal dinamika komunitas. Kami punya bioskop Jumat, walaupun biasa ada konflik. Jadi mulai dari 2007 sampai sekarang, ada titik-titik jenuh itu memang. Dulu ada Nombaca untuk arisan buku, Hilda yang tangani. Dia pindah, Frida yang gantikan. Frida ke Papua, Ahsan yang gantikan. Ahsan sekolah di Jogja, tiada lagi orang. Dengan konflik-konflik yang saya alami itu, saya sempat bicara ke teman-teman; tanpa kalian pun, perpustakaan ini bisa jalan. Kadang-kadang kalau saya tertegun sendiri, seandainya buku-buku itu bisa bicara, mungin mereka akan bertanya, mau kamu apakan saya di sini. Itulah dinamikanya kalau membangun komunitas.

Ini termasuk dedikasi, entah sampai kapan, anda yang tahu dan waktu akan menjawabnya.

Ya, setiap apa yang dikerjakan orang, pasti ada dampaknya. Kalau misalnya apa yang saya kerjakan sekarang akan berdampak baik, ya sukur. Tapi yang saya mau sampaikan, bahwa gairah saya, passion saya memang ada di sini. Dihargai seperti dari kementerian kemarin, itu kan formalistis. Padahal kita tidak tahu, lebih banyak lagi orang-orang yang lebih punya dedikasi untuk literasi. Dihargai atau pun tidak, saya akan tetap pada passion saya.

Rencana anda kedepan, apakah akan mengembalikan ruang tamu itu sehingga rumah ini menjadi kembali layak?

Ia. Saya mau bangun yang lebih besar lagi. Itu tanah yang di Tanjung Tada sementara kita mau advokasi. Saya sudah menghadap Gubernur, dia kasih desposisi. Tapi ada urusan-urusan birokrasi yang menyangkut aset-aset itu. Gubernur sudah apresiasi gagasan ini. Saya bilang, kalau hanya untuk kepentingan pribadi saya mau ketemu gubernur terkait tanah itu, mungkin tidak. Tapi saya punya rencana ini, mau bangun perpustakaan. Tapi kita masih tetap berdoa, mudah-mudahan ada jalan sehingga kita bisa bangun perpustakaan impian itu.

Selasa, 04 November 2014

Berencana Ekspansi Industri di Kawasan Timur Indonesia # Jika Memungkinkan, Juga akan masuk ke Palu


Dua minggu lalu Bandung Bismono datang ke Palu. Ia diundang untuk berbicara dalam acara Rembuk Nasional, yang digagas Lembang 9 Institute bersama beberapa lembaga non pemerintah asal Jakarta. Karena pembicaraan saat itu mengenai kemaritiman dan potensi SDA, ia menyempatkan waktu seharian untuk berbagi cerita, sekaligus ‘curhat’ tentang kondisi dunia perkapalan di tanah air. Usai makan siang setelah sesi satu pada acara rembuk tersebut, Arsitek Perkapalan jebolan Institute Teknologi 10 Novenber Surabaya (ITS) ini meluangkan waktu untuk wartawan Palu Ekspres, sekedar berbincang tentang rencana perusahaan yang ia pimpin. Duduk santai di sofa di salah satu sudut lobby hotel Mercure, Bandung Bismono, Direktur Industri Kapal Indonesia (IKI)  bercerita santai namun penuh semangat. Untuk mengetahui lebih jauh isi pembicaraannya, berikut petikan wawancaranya bersama Reporter Mohammad Sahril dan Fotografer, Ananda Rioeh. 

Tadi ketika anda bicara di forum, sempat menyinggung ingin ekspnasi ke Palu, jika pemerintahnya siap. Bagaimana, apa memang sudah ada rencana sebelumnya yang matang?

Belum. Kalau di Ambon sudah. Kan saya harus melihat potensi galangan kapal apa bisa dibangun disini. Potensi itu secara geografis seperti apa,  dan lautnya itu bentuknya seperti apa? Lahan juga sangat penting. Yang kedua tenaga kerja. Lingkungan industry itu kan harus mendukung industrinya. Industry itu harus didukung oleh skill, pekerja yang mempunyai skill. Setelah itu baru workers. Tenaga kerja ini jumlahnya juga harus cukup. Dan kalau industrinya dibangun jauh dari kota, tidak bisa. Coba bayangkan kalau industrinya dibuat di luar kota, tarnsportasinya kan juga susah. Lalu pemukiman. Pemukiman itu harus tersedia air tawar, ada perumahan yang harus dekat, dan infrastrukur lain untuk pekerja. Kemudian jalan dan listrik. Ini sangat penting. Kalau membangun industr listriknya mati-hidup, mati hidup, kan susah. Di Kota Palu katanya begitu. Ya ngga bisa, siapkan dulu infrastrukturnya. Jalan harus kuat dengan bobot yang bisa dilewati container puluhan ton. Sebab besi-besi plat itu kan beratnya puluhan ton. Kalau jalannya tidak didesain untuk lingkungan industry, ya rusak dong jalannya. 

Trus ownernya. Maksudnya, tidak mungkin dia dari Jakarta, trus pabriknya di Palu. Tentu harus sama-sama Sulawesi dong! Terus supplier. Ini juga penting. Ini kan industri, harus ada supporting industrinya. Untuk pabrik galangan kapal, harus ada bengkel-bengkel bubut, las, dan bengkel-bengkel kecil yang mendukung. Kalau tidak ada, ya ngg tumbuh industrinya.

Selain itu?

Kalau aspek lokasi dan teknis lain sudah memenuhi, lalu perbangkan. Perbangkan mau ngga kerjasama? Yang berikutnya adalah dukungan dari pemerintah daerah. Pemda itu sangat penting, jangan diam saja lalu hanya menikmati. Dia harus siapkan infrastrukturnya. Termasuk tenaga kerja yang harus dipersiapkan. Anak-anak muda yang harus diajari dulu. Dilatih, di sertifikasi. Kan ngga mungkin para nelayan, beralih profesi menjadi tenaga erja di industri.  

Oke, sebenarnya Pemda kami sudah punya perencanaan industry itu. Bapak pernah dengar KEK, Kawasan Ekonomi Khusus? Nanti kebijakan ini akan bisa memenuhi permintaan kalangan industriawan itu. Cuman infrastrukturnya belum cukup. Dalam diskusi tadi, bahwa ini harus disubsidi.

Ya ia. Itu urusan Pemda. Jangan diam saja Pemda. Di sini kan punya logistik. Ada tambang, ada minyak, gas, hasil pertanian, tadi dibilang ada hasil hutan dan lain sebaginya. Lalu harus ada pelabuhan dan punya kapal. Bayangkan, dia kuasai tiga modal ini sudah cukup. Tinggal nanti dia mau distribusikan kemana logistik itu. Misalnya Pemda Palu  dan Bitung kerjasama, masing-masing menanggung biaya untuk infrastruktur. Ini akan sama-sama menguntungkan. Kalau itu terjadi, kita bisa menguasai dari hulu sampai hilir. Katanya kita kaya, harus berbuat dong. Malaisya saja memiliki kebun sawit di Sumatera bisa, kenapa kita tidak bisa punya pelabuhan di Jakarta?

Kalau kondisinya begitu, berpeluang dong anda membuka usaha di sini?

Oh iya, pasti. Jadi saya itu punya cita-cita mengembangkan usaha perkapalan di Indonesia Timur. Sebab galangan kapal di Indonesia Timur itu hanya IKI. Dimana lagi coba, di Kandari kecil. Hanya kapal-kapal 20-30 ton. Kami ribuan ton, besar. Jadi kami bikin Caraka Jaya, bikin kapal gede-gede. Kalau seandainya nanti industry itu muncul di sini, saya gampang saja masuk. Infrastruktur sudah tersedia, nanti fifty –fifty, pemda berapa kita berapa. Jadi secara asset, milik pemda-milik kita juga. Nanti persyaratannya kita atur, bisa bagi hasil. Direktur utamanya kita misalnya. Direktur keuangannya pemda. Atau kita semua, nanti komisarisnya pemda.

Berarti memang ada rencana itu?

Ia, memang ada. Tapi tadi, empat syarat itu harus dipenuhi. Kalau itu ada, pasti jalan. Tapi saya melihat kapal aja ngga ada ko’. Bagaiamana industri mau berkembang. Jadi short shipping harus ada. Mo kirim barang memang bisa hanya lewat darat? Kan lama, belum lagi kendala macet di jalan atau bencana longsor. Kalau pake kapal kan sekali angkut. Kalau pake truk, bisa ribuan truk yang dipakai.
Kalau Ambon gimana?

Dengan Ambon sudah jalan sih. Cuman dulu itu bukan milik IKI, tapi milik DPS, Dok Perkapalan Surabaya. Dengan dia, karena ngg serius, sekarang sahamnya turun. Ini peluang untuk saya ambil alih. Jadi DPS yang sedang drop tadi, saya mau ambil, saya mau beli sahamnya. Kan sama-sama BUMN, jadi ngga terlalu ribet, hanya seperti dari kantong kiri ke kantong kanan. Kalau ini sebelum akhir tahun sudah beres sama pak menteri, ya sudah, itu milik saya. Jadi nanti saya mayoritas, dia minoritas.

Kalau di Palu, bisa ngga diberlakuakan kerjasama join venture untuk industry ini?

Bisa. Nanti kerjasamanya pemda bisa sediakan lahan, saya persiapkan peralatan dan fasilitasnya. Nanti hasilnya bisa dibagi. Ngga perlu dikhawatirkan, kami kan BUMN. Beda dengan swasta, akan lain lagi ceritanya.

Apa alasan yang paling mendasar anda punya perencanaan untuk investasi di Sulteng?

Ini kan daerah tumbuh. Ada minyak dan gas, ada juga tadi saya dengar hasil hutan, dan bahan tambang. Ini kan menunjukkan logistik ada di sini. Lalu pelabuhan akan dibangun di sini. Sekarang harus dikaji ulang, kenapa hasil-hasil komoditas kita diangkut lewat darat. Kalau pun pakai kapal, lewat pelabuhan luar. Bukan Sulawesi Tengah. Pemerintah harus bangun pelabuhan. Tidak usah terlalu besar, yang penting harus ada komoditas yang bisa dikeluarkan dari sini.

Berarti ada kemungkinan untuk masuk Palu?


Ia, kalau di Ambon gagal, saya aan ke Palu. Tapi lagi-lagi tetap saya akan mempertimbangkan syarat-syarat tadi bisa terpenuhi.