Minggu, 02 Oktober 2011

Dongeng ini sangat khas dengan cara bertutur Pram dalam tulisan-tulisannya. Simpel dan enteng untuk dibaca. Dari beberapa buku-buku Pram, mungkin Cerita Calon Arang adalah satu di antara yang paling tipis dengan jumlah bahasan 92 halaman dan terdiri dari dua belas bagian. Atau mungkin inilah buku yang paling simpel yang ditulis Pram?

Dongeng yang diangkat dari cerita rakyat Jawa Timur ini berkisah tentang seorang janda kampung. Janda yang gemar melakukan praktek ilmu teluh. Ia senang menganiaya, merampas dan menyakiti. Seperti dalam tulisan-tulisannya yang lain, Pram menuliskan Cerita Calon Arang dengan runut dalam alur maju.

Dalam cerita itu, konon pada jaman dahulu kala, ada sebuah negeri termashur di Jawa timur yang dulunya bernama Daha, dan sekarang menjadi Kediri. Kemashuran negeri itu telah tersebar kemana-mana.
Dalam cerita ini, melalui tangan Pram digambarkan negeri yang damai, rakyatnya sejahtera, tak ada kasus busung lapar, tak ada rusuh pembagian zakat.

Semua warga hidup dalam ketentraman. Namun di sebuah desa di luar kota yang diperintah oleh Raja Erlangga itu, terdapat seorang perempuan tukang sihir. Calon Arang namanya. Hidup bersama seorang putrinya yang cantik namun tak bersahabat.

Tak satu pun warga yang berani menegur sang gadis jika berpapasan. Sebab jika tersinggung, maka sang gadis akan melaporkan itu kepada ibunya yang tukang sihir itu. Maka dalam waktu yang tak terlalu lama, orang itu akan mati akibat mendapat teluhan dari Calon Arang.


Dalam cerita ini, Pram menggambarkan praktek ilmu teluh secara fulgar. “Kalau mereka sedang berpesta tak ubahnya dengan sekawanan binatang buas, takut orang melihatnya, yang jika ketahuan mengintip orang itu akan diseret ke tengah pesta dan dibunuh, dan darahnya akan digunakan untuk berkeramas oleh para pengikut Calon Arang”.

Nyaris seisi negeri dikuasai Calon Arang ketika ia melakukan praktek peneluhan secara besar-besaran. Wabah penyakit menyerang seisi negeri, dan membunuh warga secara masal. Raja pun kewalahan menanganinya, mantra harus dilawan dengan mantra. Maka diutuslah orang dalam istana untuk menemui Empu Baradah di subuah dusun di kaki gunung. Hanya sang empuhlah yang bisa mengalahkan kesaktian Calon Arang. Raja memercayai itu.

Dalam operasi yang sangat cerdik, akhirnya Empu Baradah berhasil menumpas Calon Arang, dengan mempelajari kitab bertuah milik Calon Arang. Dan seisi negeri pun bisa kembali seperti sedia kala. Sang Raja pun berkeinginan untuk menjadi pendeta dan melakukan pertapaan mengikuti jejak Empuh Baradah. Tak ada kejahatan, kepongahan, yang abadi. Melainkan kebaikan (ilmu) yang terus bertahan hingga akhir zaman.

Inilah gaya dongeng. Layak dibaca atau diceritakan kepada anak-anak kita saat mereka tidur di malam hari. Dongeng ini pertama kali naik cetak pada 1954 oleh NV Nusantara. Cetakan keduanya adalah edisi Bulgaria. Kemudian pada tahun 1999 dicetak kembali dalam edisi Indonesia, dan pada 2002 dicetak dalam edisi Singapore oleh Equinox.

Setahun setelah cetakan edisi Singapore, edisi Spanyol kemudian menyusul dicetak oleh Editorial Cruilla. Sementara buku yang saya baca ini adalah cetakan tahun 2006 oleh Lentera Dipantara, dengan ukuran 13×20 cm dan ketebalan 94 halaman ditambah kata pengantar, termasuk cetakan kedua, setelah cetak pertama dengan hak cipta Pram pada tahun 2003.

Berbeda dengan buku-buku yang lain yang ditulis Pram, buku ini simple dan seakan-akan Pram menulisnya hanya menambahkan bumbuh-bumbuh sastra seadanya, tanpa melibatkan unsur subjektifitas. Hampir tak ada yang dilebih-lebihkan kecuali khayal kita yang akan terbang ke suasana desa yang dulu, jauh ke belakang di zaman kerajaan. Jika anda mempunyai waktu luang barang sedikit, tak sampai pada menit ke 120 anda akan hatam dengan dngeng ini.

Menurut Pram dalam pengantarnya, cerita tersebut dikarang pada tahun Caka 1462. Tulisan lamanya ada dua macam, yaitu berasal dari Jawa dan diterjamahkan ke Bahasa Belanda oleh R.Ng.Prbatjaraka dalam Bijdr. Kemudian dimacapatkan (dilagukan) oleh Raden Wiradat dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1931. Sesungguhnya, crita ini ada dua versi, yakni versi Jawa dan Bali. Memang kedua nama ini: Erlangga dan Bharada adalah dua nama yang paling berpengaruh dalam sejarah Hindu Jawa.
Penasaran? Bacalah kan..!

LARASATI

TIBA-TIBA AKU MENJADI KAKU. Bagaimana dan darimana harus memulainya. Semua mengaduk dalam sadar. Bukan karena tidak dalam keadaan mood, tapi perhatian ini nyaris beterbangan ke masa lalu, yang tak pernah saya temukan, karena memang itu telah lalu. Telah lampau.  Dan kelampauan itulah yang membuat roman ‘Larasati’ yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini menjadikan saya terhuyung-huyung membayangkan masa revolusi. Masa ketika semangat pemuda telah dibuktikan.

Dari sudut pandang Larasati sebagai tokoh kunci dalam roman ini, dimulailah cerita dengan alur maju yang sesekali menghentak. Bermula perjalanannya dari daerah pedalaman (Yogyakarta) menuju daerah pendudukan (Jakarta) menggunakan kereta, berdesak-desakan merasakan hawa revolusi yang dibakar semangat pemuda yang ia lewati di perjalanan.

Larasati adalah seorang artis, bintang film yang akrab dimata masyarakat ketika itu. Kemolekkan tubuhnyalah membuat ia dipuja-puji di panggung, bermain peran, bermain dalam film-film propaganda Belanda. Hingga berkenalan dengan petinggi negara. Ia juga akrab dengan pria hidung belang. Tapi ia adalah revolusi.

Ia saksikan orang-orang dengan senjata berseragam kusam dan gondrong, jarang bersampo, dengan semangat revolusi berapi-api, dari balik jendela kereta. Mereka bersorak ketika melihat Larasati “Ara, Ara, sukses…selamat,” dan Larasati hanya tersenyum. Namanya lebih akrab dipanggil Ara.

Beberapa kesempatan dalam kereta ia lewati dalam buruk sangka. Ia lebih menduga-duga daripada berpikir positif kepada lelaki-lelaki dalam perjalanan itu. Hingga ia pun sadar kalau semua lelaki itu adalah pejuang revolusi. Rasa penyesalan hadir ketika para lelaki itu turun dari kereta, dan Ara baru mengetahui itu semua, tanpa sempat berkenalan dan meminta maaf.

Setibanya di Cikampek, Ara memulai perjuangannya. Sempat ia menyaksikan kepiluan yang dialami para pemuda (orang republikan) dalam penjara. Disiksa hingga tewas. Dengan watak kerasnya dan tak kenal kompromi, Ara berusaha dan berdoa agar lolos dari Cikampek dengan bantuan Martabat, sopir kolonel Surjo Sentono.

Cerita pun berjalan lebih dinamis ketika Ara lolos dari rayuan Mardjohan, seorang penyiar dari Jakarta yang menghianat bergabung dengan Nica (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Bersama Martabat, pemuda yang diam-diam juga adalah orang republikan itu, Ara menemui ibunya di kampung di Jakarta.

Pram kembali menggambarkan semangat revolusi dari para pemuda di kampung Larasati itu. Kampung yang setiap malam-malamnya diramaikan dentuman granat dan rentetan tembakan senjata mesin oleh tentara Nica. Disinilah Ara menemukan semangat jaung yang lebih nyata dari orang-orang muda. Ia pun terlibat dalam peristiwa heroik di sebuah malam, untuk membuktikan kepada para pemuda kalau ia dan Tabat juga bagian dari revolusi itu.

“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau berani tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita” kata komandan pemuda desa saat bersama Ara dalam malam terakhirnya.
Kebebasan Ara pun tertawan karena ulahnya sendiri. Ia tak menghiraukan permintaan ibunya agar pergi jauh dari kampung naas itu. Ia pun disekap Jusman, pemuda arab yang juga mata-mata Nica, setelah bertemu seorang penyair dari Yogya, Chaidir, dalam keadaan perut kosong dan tubuh yang lemas.

Nyaris ia menyerah pada keadaan ditawan tanpa status, bukan isteri bukan kekasih. Ia hanya memantau perjalanaan revolusi melalui radio dan koran. Kematian Chaidir yang ia baca di Koran bersamaan dengan dikuasainya Yogya oleh Nica. Ia menyerah dalam hati, mengatakan itu semua pada ibunya.

Seiring berjalannya waktu, ia pun lepas dari tawanan Jusman dengan pengorbanan ‘berdarah-darah’. Dan revolusi menemui kemenangan. Ara pun kembali bertemu mantan kekasinya, Oding. Ia tinggalkan gubuk reot di desa, pindah bersama ibunya serumah dengan Oding di gedung bekas bangunan Belanda dalam suasana kemerdekaan.

Itulah Larasati dengan caranya sendiri dalam perjuangan. Dalam revolusi pasca proklamasi. Cerita ini pertama kali dipublis, naskahnya dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar Bintang Timur kolom budaya, mulai 2 April 1960 hingga 17 Mei 1960.

Dan setelah itu dibukukan mulai tahun 2000 oleh Hasta Mitra dan disusul cetakan berikutnya oleh Lentera Dipantara hingga edisi ke lima, dengan tebal 180 halaman dan ukuran 13X20 cm. Saya menyarankan anda untuk membacanya, biar keciprat perasaan dan semangat juang masa lalu. Masa Revolusi.

SOE HOK-GIE.......Sekali Lagi

Ini adalah buku non fiksi dengan berbagai sudut pandang penulisnya, tentang sosok pemuda idealis yang hidup pada akhir rezim orde lama. Dengan kegigihan dan keteguhan jiwanya, idealisme yang ia miliki mengantarkan dirinya terjun bersama para mahasiswa lain menjadi demonstran pada tahun-tahun 1960an.
Ia adalah Soe Hok Gie, pemuda keturunan Tionghoa yang oleh kawan-kawannya ketika itu sering disebut ‘China kecil’. Kumpulan cerita ini diawali dengan detik-detik terakhir kehidupan Soe Hok-Gie. Ia menemukan akhir hidupnya di dataran tertinggi pulau Jawa, yakni di Puncak Mahameru gunung Semeru Jawa Timur pada 16 Desember 1969. Dimana ketika itu ia akan memasuki usianya yang ke 27, ia bertemu maut pada saat-saat sehari menjelang hari jadinya. Kesetiaan dalam pertemanan sebagai sesama pendaki, juga akan diulas tuntas oleh Rudy Badil, kawan Gie yang menjadi saksi dalam tragedi Semeru itu.
Buku berukuran 17,5 X 22 sentimeter ini dikemas elegan dengan bahasa populer dalam tutur-tutur kawan-kawan seangkatan Gie ini, mengulas kisah-kisah penting sang pejuang, waratwan lepas, kolumnis yang juga seorang dosen di Universitas Indonesia.
Sungguh sebuah pengabdian tulus terhadap bangsa, yang luput dari rekaman rentetan catatan-catatan sejarah. Orang bijak pernah berkata bahwa “Sejarah hanyalah milik orang-orang yang menang”. Dan saat itu sebenarnya, kehidupan Gie bukan diperhadapkan pada posisi menang atau kalah. Tapi pada posisi perjuangan membangkitkan semangat pemuda (mahasiswa) menyikapi berbagai fenomena sosial politik, budaya dan ekonomi sebelum dan sesudah bubarnya PKI, dan berakhirnya kekuasaan Soekarno.
Dalam ketebalan 512 halaman, buku ini akan menghantarkan pembacanya pada situasi pertarungan rasa, melalui penggambaran situasi yang terjadi saat Gie aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Semua disajikan langsung dari kedalaman rasa para pelaku sejarah pergerakan mahasiswa Universitas Indonesia, yang tak lain adalah kawan-kawan dekat Gie.
Di halaman-halaman hampir separuh buku ini, anda akan menemukan catatan seorang sahabat yang juga wanita pengagum Gie. Ia adalah Kartini Sjahrir (Ker) yang mengulas kekaguman dan rasa cintanya terhadap Gie dalam sepuluh surat yang ditulis sejak 1968. Bagaimana Gie di mata perempuan (mahasiswa) kala itu, catatan Ker bisa menjadi representasinya.
Ada sedikitnya 25 orang yang juga berkontribusi memberikan catatan-catatan mereka tentang Gie, termasuk Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessi Luntungan R, yang menjadi penulis inti dalam buku ini. Dengan gaya deskriptif seperti dalam penulisan feature catatan perjalanan dan catatan dalam buku diary, buku ini akan menghantarkan kita pada sebuah perenungan, bagaimana seseorang bisa menjadi sebegitu idealisnya dengan kesederhanaan yang dimiliki keluarganya, dan itulah yang menghantarkannya pada ketenaran sebagai seorang penulis lepas di koran-koran nasional. Hobinya dalam berdiskusi, membaca, menonton film dan mendengarkan lagu-lagu kerakyatan, membuat Gie semakin kaya dengan pengetahuan tentang dunia luar.
Sesungguhnya, buku ini dibuat sebagai bentuk penghargaan kepada Gie dan kepada kita semua yang masih teguh pada perjuangan melawan tirani yang saat ini samar namun ada. Bergentayangan di balik tirai-tirai rumah para penguasa dalam gaya yang berbeda dengan orde baru maupun orde lama. Bagi Rudy Badil dan kawan-kawan, buku ini sebagai persembahan untuk merayakan 40 tahun tragedi Semeru (1969-2009), dimana Gie dan Idhan Dhanvantari Lubis menutup lembaran-lembaran perjalanan keduniawiannya.
Buku ini penting untuk dibaca sebab banyak hal yang belum sempat diulas pada film Gie yang diagrap oleh Riri Riza. Riri, Nicholas Saputra, dan Mira Lesmana juga turut ambil bagian dalam buku ini. Menyumbangkan catatan mereka untuk memperkaya buku ini dengan prespektif orang yang hidup di masa 1990-2000an.
Bagi saya, ini adalah buku wajib bagi para mahasiswa semester satu yang mau belajar menjadi seorang mahasiswa (aktivis). Bukan untuk diikuti sepenuhnya, tapi hanya sebagai bahan untuk membaca situasi di masing-masing kampusnya. Gie hidup di masa 1960an, anda hidup di masa 2000an, maka berlakulah selayaknya anda sekarang sebagai mahasiswa.

Kamis, 15 September 2011

TAKUT


Takut…
Hanya ketakutan…
Taku seperti dulu
Khawatir….Khawatir seperti dulu….
Takut lagi…
Dan takut…..
Takut lagi….
Takut…..
Untung belum ketakutan….!

Jumat, 02 September 2011

Sungguh Lebaran Telah Menelanjangi Kita


Peristiwa Bagi Zakat di Pasuruan 2009
Sungguh lebaran telah berkali-kali menelanjangi kita sebagi sebuah bangsa. Lebaran adalah moment yang begitu sakral bagi warga muslim di Indonesia. Jutaan orang setiap tahun berburu mudik untuk bertemu keluarga di kampungnya. Dan setiap tahun pula dalam satu dekade  terakhir, lebaran telah menelanjangi kita. 

Apa pasal?  

Puasa selama sebulan penuh telah mengantarkan umat muslim kepada titah kemanusiaan umat sebagai mahluk ciptaan tuhan. Berproses siang dan malam dan berjibaku dengan amalan-amalan, memebrsihkan diri, bersuci dari segala dosa selama sebelas bulan silam. 

Namun apa yang terjadi saat menjelang dan ketika lebaran berlangsung. Media kita begitu fulgar mengeksploitasi kemiskinan, menelanjangi, mengungkap semua fakta ironis tentang wajah kemiskinan negeri kita. 

Di setiap kota, orang-orang kaya yang mengaku dermawan membagi-bagikan duit kepada orang miskin. Di setiap kota, orang-orang miskin berbondong-bondong memenuhi halaman para dermawan musiman untuk mendapatkan bingkisan, uang dan benda berharga bagi mereka. Ini fakta berulang tanpa mendapat perhatian. Hanya untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah, korban pun berjatuhan setiap tahun. 

Ya itulah orang miskin, saudara kita. Kematian bisa saja menjemput mereka saat berebut duit dari saudaranya yang dermawan. Terlalu kecil bagi para pejabat atau kalangan menengah di negeri ini nominal sepuluh ribu. Dan jumlah itu sudah lebih cukup bagi saudara kita yang miskin itu. Mereka berpanas-panasan, berdesak-desakan, saling menginjak berebut duit-duit kecil itu. 

Sementara di lain kesempatan, pejabat-pejabat negeri ini dengan mudahnya merampok uang negara, mengorupsi dana-dana pembangunan. Dan anak-anak mereka dengan hanya memelas di hadapan ayah ibunya, sudah mendapatkan sejumlah uang atau barang mewah yang mereka inginkan. Mereka tak perlu berpanas-panasan, berhimpitan untuk memenuhi keinginannya seperti saudara kita yang miskin itu. 

Pada suatu kesempatan di salah satu media, seorang ustad pernah berkata tegas memprotes dan menyatakan bahkan kesalahan telah dilakukan oleh para dermawan yang membagikan harta mereka melalui zakat fitrah kepada warga miskin. 

Zakat fitrah itu adalah hak bagi orang miskin. Ini sebuah ajaran kemanusiaan yang dianjurkan dalam Islam. Setiap tahun setelah menjelang akhir Ramadhan, semua orang-orang yang mampu, harus mengeluarkan zakat dari harta benda mereka. Memberikannya kepada orang yang layak menerimanya, yakni orang miskin. Dan karena itulah, maka selayaknyalah mereka mendapatkan itu dengan cara yang manusiawi juga. 

Berita disebar ke seisi kota bahwa seorang dermawan akan membagi-bagikan zakat. Maka jika siapa saja yang merasa/mengaku miskin, silahkan mengunjungi rumah sang dermawan. Bukan. Bukan dengan cara dikumpulkan mereka (orang miskin)  di halaman rumah, dan para dermawan membagi-bagikan hartanya. Bukan begitu caranya. Zakat fitrah itu hak mereka. Dan yang namanya hak, wajib mereka terima. 

Jika itu dipahami oleh para dermawan, maka selayaknya sang dermawan dan orang-orangnya mendatangi orang miskin untuk memberikan hak mereka. Titik. Jangan membuat alasan lagi. Hanya Allah yang tau hati semua ummatnya. Ia yang maha tau siapa yang sungguhan dan siapa yang pura-pura. Maka janganlah kita berpura-pura dengan harta benda kita sendiri, sebab Allah juga tak berpura-pura memberikan amanah itu (harta) kepada kita.

Bukankah fakta bertahun-tahun itu tidak cukup dijadikan pelajaran. Apakah puasa harus dipanjangkan lebih dari sebulan untuk melatih kita untuk berlaku lebih arif dan bijaksana. Tapi entahlah. Apakah puasa selama sebulan penuh belum memberi pelajaran bagi kita?
Sungguh lebaran telah menelanjangi kita.

Cileunyi, 4 Syawal 1432 H.   

Kamis, 01 September 2011

Kampungku Dikenal Karena Cekcok, Sungguh Sayang.


Gelap telah menyelimuti Bandung dan sekitarya. Sunset yang mengiringi perjalananku sore tadi lenyap sudah. Berganti lampu-lampu jalan yang menyirami jalanan empat lajur itu. Kupacu sepedamotorku perlahan, setelah angka satu hilang dari traffic light dan lampu hijau menyala. Belok kanan dan mengambil lajur kiri, khusus untuk kederaan roda dua yang menelusuri jalan lurus tanpa belokan. 

Kutengok ponselku untuk memastikan kalau waktu magrib belum lewat. Sepanjang jalan, kulemparkan pandang ke sebelah kiri, memerhatikan tanda-tanda kalau di sekitar itu ada masjid. Sudah hampir satu kilo meter aku meninggalkan pusat perbelanjaan moderen itu. Angin lembah berhembus sedemikian lembutnya, perlahan menusuk tulang.

Kupastikan bahwa tanda panah ke arah kiri yang baru saja kulewatkan tadi adalah berisi keterangan yang aku cari. Masjid..! 

Kubelokkan arah untuk kembali memperjelas tanda itu. Dan memang benar bahwa dari tanda itu, sekitar 200 meter ke kiri ada sebuah masjid.
Langsung kutancap sepedamotorku mencari-cari. Perlahan dan pasti, kutemukan masjid di kompleks itu, di sebelah kiri jalan, dengan halaman sempit sekali diberi pafin blok tak berwarna. 

Mataku menjelajah mencari-cari tempat wuduh. Di sudut masjid terpaku seorang lalaki paruh baya, sedang asyik menikmati sensasi sebatang rokok. Bersandar di tiang teras.

Kusapa ia dengan senyum seadanya.

Tanpa sungkan, perlahan kulepaskan jaket dan segera memasuki tempat wuduh. Kembali kulemparkan senyum kepada lelaki itu, dan ia juga kembali tersenyum sambil melepaskan kepulan asap ke udara. Aku memasuki masjid dari pintu belakang. Kuselesaikan sholatku yang hanya tiga rakaat itu dengan zikir dan doa. Syahdu.

Setelah sholat, berlakulah aku berbasa-basi mencari perhatiannya. Dalam hati saya berharap, semoga kehadiranku tidak menggangu waktu santainya menunggu sholat Isya sambil mengisap beberapa batang rokok. 

Ia mulai buka bicara. Sorot matanya menelanjangiku dari ubun-ubun hingga ujung jari kaki. Sepertinya aku adalah mahluk asing di matanya. 

“Dari mana de’,”
“Tadi dari Carrefour,”
“Ooooooo…!” Asap-asap kembali mengepul, berhembus dari mulutnya dengan bibir atas dihiasi kumis tipis keabuan.
“Oh ya, kalau Buah Batu itu dimana ya pak?”
“Buah Batu itu luas, mau ke daerah mananya?” katanya seketika dengan penuh keramahan.
Aku terdiam sejenak sambil memikirkan apalagi yang harus kujawab. Sebenarnya aku hanya berbasa-basi, menghabiskan waktu menunggu sholat Isya.
“Kalau dari sini Buah Batu di sebelah mana?”
“Kamu putar lagi ke arah Carrefour, itu perempatan pertama, dan setelah itu ada perempatan lagi. nah itu perempatan Buah Batu,” jelasnya.
“Ooooooo”
“Memangnya kamu tinggal dimana?”
“Aku di Cileunyi,”
“Sudah lama di asana?”
“Baru dua minggu. Cuman maen aja sih”

Rasanya seperti saat sesi interview saja. Ia melepaskan kacamatanya dan melatakkan di atas tikar anyaman dari daun nipa berwarna putih gading. Perlahan aku merokok saku jaketku, mencabut sebatang rokok dari dalam kotaknya dan berusaha lebih santai sambil membakarnya. Dalam hisapan pertama, pertanyaan kembali meluncur. 

“Memangnya kamu dari mana?”
“Aku dari Sulawesi,”
“Oooooo…, Makassar?
“Bukan, Makassar itu Sulawesi Selatan,”
“Kalau Sanger?,”
“Itu Sulawesi Utara,”
“Gorontalo?”
“Dulunya Gorontalo masuk wilayah Sulawesi Utara. Tapi sekarang sudah jadi provinsi sendiri,”
“Lantas kamu dimana?”
“Di Palu,”
“Sulawesi Tenggara?”
“Bukan, Palu itu ibukota Sulawesi Tengah,”

Bentrok Tiaka Agustus 2011/ Foto Antara
Aku mulai khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba aku minder, tak ada penjelasan lanjutan dari mulutku untuk menggambarkan kota ku. Keraguan menyelimutiku.
“Oooooo, yang rusuh-rusuh itu ya?”  

Aku tersentak. Sedari tadi aku membayangkan pernyataan itu akan meluncur, tinggal menunggu waktu. Tak ada kesempatan untuk mengelak, aku harus menghadapi pertanyaan berikutnya dengan bijak dan menjelaskannya secara rinci walau dadaku terasa sesak.

“Iya, itu dulu pak, sekarang tidak lagi,”
Tiba-tiba ia berlaku serius, mencondongkan badannya sedikit kedepan seperti ingin mendengarkan penjelasan dari seorang guru.

“Ribut-ribut itu karena apa ya,”
“Akhir-akhir ini disebabkan perkelahian pemuda antar kampung sih. Cuman terus berulang, tak ada yang diselesaikan secara hukum. Entahlah, kenapa aparat keamanan dan pemerintah daerah tak berlaku tegas,”
“Bukan karena masalah SARA?”
“Bukan..! Itu dulu, waktu kerusuhan Poso,”
“Sebenarnya kerusuhan Poso itu bukan dilatarbelakangi SARA. Isu agama hanya dijadikan pemicu untuk memperbesar konflik”
“Ya, memang kalau rebut-ribut yang dipicu oleh masalah SARA, pasti cepat merembetnya,” 

Kami terdiam, sunyi. Seseorang datang dan menyapa. Ternyata waktu Isya telah tiba. Bapak yang tak ku kenal namanya ini langsung menuju tempat wudhu meninggalkanku dalam ketermenungan.
Dua hari sebelum lebaran kemarin, aku menonton sebuah berita perkelahian lagi dari daerahku. Pertikaian pemuda antar kampung. Entahlah, apa konflik-konflik itu memang ditakdirkan untuk akrab dengan warga di daerahku. Atau karena televisi yang terlalu membesar-besarkannya?

Cileunyi, 2 September 2011.


Rabu, 31 Agustus 2011

Palu dan Gayus


Dalam bahasa inggris, kata ini disebut Hammer. Secara sintaksis, kumpulan abjad ini digolongkan dalam kelompok nomina, atau kata benda. Secara funsional, palu adalah alat yang digunakan untuk memukul sesuatu. Sedangkan Gayus, adalah sosok mafia pajak yang populer di negeri ini dan mampu penyedot perhatian media massa dan situs jejaring sosial.
Bagi para tukang, palu digunakan untuk memukul paku menembus papan atau balok, bagi kebutuhan konstruksi. Di tangan para montir, palu digunakan untuk memukul obeng atau benda lain demi keperluan perbaikan. Di tangan para perampok, palu juga berfungsi untuk membongkar sesuatu yang akan dijarah. Namun di tangan para hakim, palu menjadi penentu sebuah keputusan untuk suatu kebenaran dan keadilan. Di tangan pimpinan sidang, baik di forum kongres atau di parlemen, palu digunakan untuk menentukan sebuah kebijakan.
Dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang akrab dengan benda itu, palu digunakan untuk sebuah perbaikan. Tapi, bagaimana jika untuk kepentingan yang berhubungan dengan kebijakan dan keadilan, palu mungkin palu bisa digunakan sebagai pertanda keputusan yang tak sewajarnya.
Dengan kasus Gayus umpamanya. Palu yang diayunkan hakim menghasilkan keputusan penjara selama 7 tahun. Sama dengan palu yang dijatuhakn pimpinan DPRD dalam sidang paripurna tentang besaran APBD, atau untuk sebuah Perda. Keberadaan palu dalam situasi itu tentu akan mendapat respon yang beragam.
Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara Gayus menuai reaksi dari banyak kalangan.

Meski Gayus sendiri terlihat biasa-biasa saja saat mendengar ketukan palu, sesaat setelah putusan dibacakan.
Reaksi itu beragam. Ada yang menilai putusan Gayus terlalu rendah, ada yang mengaggap sudah wajar, dan ada pula menganggap kalau itu baru satu ketukan palu putusan. Dan masih ada ketukan palu lainnya yang akan diterima Gayus pada sederetan kasus yang melilitnya.
Tentu, atas nama kebenaran dan keadilan kita berharap kasus Gayus menjadi penentu bagaimana palu bisa digunakan bukan hanya sebagai simbol biasa, tapi juga sebagai kepastian bagaiman keadilan benar-benar ditegakkan seperti kokohnya Monas di jantung Jakarta. Sebagai bangsa, kita patut berharap ketukan palu Gayus pertama itu bisa menjadi awal untuk memancing palu berikutnya terhadap sederet nama pemilik perusahaan dan oknum penegak hukum, yang sempat disebutkan Gayus.
Palu, akan tetap berfungsi selayaknya palu. Ia tak akan membuahkan hasil apa-apa ketika diketuk oleh orang-orang yang belum sepenuhnya mengetahui fungsi mendasar dari palu itu sendiri.

Palu, ( Maaf lupa waktunya)

Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran yang Sunyi


Angkuhkah aku ketika berlaku abai dengan pintamu?

“Perjalanan kita masih panajang. Satu bulan ini hanyalah sebagai pemanasan dalam sebuah permainan. Kita punya rencana panjang bagi sebuah kehidupan. Tidak bisa, saya harus berangkat Minggu besok. Kan kita sama –sama berangkatnya,” 

Aku menjelaskan semua kepadanya. Kekasihku. Ku sayang dia dalam dekapan di sebuah malam yang kelam. Kujelaskan semuanya panjang lebar hanya untuk mengelak dari argumentasinya yang beraroma tendensi. Aku menciumnya, ini bahasa tendesius. Dan kuabaikan semua itu. Kutau perasaanya. Belum bosan ia denganku. Belum cukup dua minggu yang lalu aku bersamanya.

“Besok saya harus berangkat. Kita harus cek in bersama, biar di pesawat kita satu seat, ok!” ku tinggalkan dia dengan lamabian tangan melemah.
Suasana mulai cerah ketika rinai hujan jedah sejenak. Kami berburu menuju pesawat yang sudah  menunggu beberapa menit. Untung saja sang pilot masih berbaik hati. Tinggal pintu depan yang mengangah. 

Seat kami dua deret dari pintu belakang. Kami memang satu seat. Alhamdulillah. Walaupun ada seorang perempaun muda di samping jendela, yang sesekali mengintip dengan ekor mata ketika tanganku menjamah tangan kiri kekasihku yang halus dan sedikit pucat. Kuelus-elus gelangan tangan kecil berbulu halus itu. Kami sama-sama menutup mata.

“Apakah ini pertemuan kita yang terakhir? Tidak. Ia kekasihku, ia puteriku, ia memepelaiku. Nanti, setelah cita-citaku tercapai,” 

Penerbanagn kali ini tidak transit. Dari Palu langsung Jakarta. Cuaca di luar terang-benderang. Awan putih bergelantungan di bawah pesawat kami. Sepertinya penerbangan kali ini adalah penernagan menyenangkan bagiku. Tak ada tangisan anak kecil. Hampir tak ada guncangan saat pesawat menembus gumpalan awan. Di sampingku, kekasihku memejamkan matanya. Sepertinya ia terlena dengan genggamanku. 

“Nanti kamu transit sampe jam 10.30 kan? Aku akan menjagamu. Kita menunggu saja di luar. Cekin-nya nanti setelah ada panggilan memasuki ruang tunggu,” dan ia hanya mengangguk.
Hampir dua jam berlalu Co Pilot menyampaikan aba-aba. Seorang Pramugari kembali mengumumkan kepada kami semua untuk mengencangkan sabuk, menegakkan sandaran kursi dan mengunci meja kecil di depan seat. Dan pesawat siap landing.

Kami menunggu beberapa saat setelah pesawat benar-benar terparkir rapi di terminal. Turun dari pintu depan dan menjejakkan kaki di tangga dan melangkah. Satu anak tangga satu langkah. Aku membuntutinya dari belakang, menjinjing travel bag-nya dan menggendong ranselku. Melangkah penuh semangat, kami meninggalkan terminal menyelusuri lorong menuju tempat pengambilan bagasi. Kuraih travel bag-ku dan kutarik perlahan menuju pintu keluar. 

“Nanti kalau sudah sampai sms ya,” aku mengingatkan.

Mata kekasihku menatap kosong ke luar, ke jalan-jalan, menerawang awan putih yang bergulung-gulung di langit Jakarta. Aku tersingggung karena tak digubris. Ia masih kecewa atas putusanku.
“Saya sudah pernah kuliah kaya kamu. Kamu bisa saja berangakt setelah lebaran. Kan kamu tak wajib ikut matrikulasi sayang,” katanya menatap tajam wajahku. Aku hanya memandang kepulan-kepulan asap rokok berterbangan meliuk-liuk di ruang merokok di sudut café. 

Dan ia meninggalkanku setelah ada panggilan masuk ke ruang tunggu. Kukecup keningnya dan ia mencium tanganku seperti seorang anak kepada ayahnya saat berangkat sekolah. Kubuntuti geraknya dengan sorot mata penuh harap. Dan ia berbalik melambaikan tangan dan senyum sambil mengedipkan matanya yang putih kertas. Pergilah ia dengan pesawatnya. Menuju sebuah tempat untuk meraih masa depannya. Dan itulah saat terakhir aku melihatnya.
Kini, hanya suara yang aku dengar dari kekasihku itu. Suara yang sesekali mengeras dan melembut tergantung suasana hatinya. Ingin aku menyesali keputusanku. Tapi jalan ini sudah terlampau jauh. Jakarta terlalu jauh dengan Palu untuk berjalan kaki, menyebrangi lautan atau mengepakkan sayap malaikat.

Ini adalah malam terakhir Ramadhan. Suasana riuh di jalan-jalan kota. Bunyi petasan menyemburkan bunga api seperti air mancur ke udara. Aku tertegun di sudut simpang tol. Ku kenang dia dengan kata-katanya. “Nanti lepas lebaran saja baru berangkat”. 

Dan aku hanya sendiri di sini, hanya mendengarkan suaranya lewat sambungan telepon. Sebulan sudah lewat. Dan hanya suaranya yang kudengar di balik telepon. Terlalu jauh jarak untuk aku mengecup keningnya. Menggenggam tangan kecilnya yang putih berbulu halus. 

Cileunyi 1 Syawal 1423 H.


Senin, 29 Agustus 2011

Gila

Pernah sekali sekelumit pikiran pendek datang menyelimuti hati dan otak ini. Mula-mula sebentar saja. Namun jika diseriusi ternyata bisa juga. Mula-mula bertamu, dan harus dipastikan bahwa hanya dia sendiri di kantor itu. Dimulai dengan bercerita tentang hal sederhana dan tak menarik, kemudian mengeluarkan sebilah pisau atau sejenisnya. Yang teringat jelas saat itu adalah cuter merah, yang biasa digunakan memotong kertas.

Dengan matanya yang baru, aku yakin betul kalau dilekatkan di kulit dan ditarik, akan mempercepat terjadinya luka robek, menganga dan menyemburkan dara segar. Dan setelah luka terjadi, korban pun harus berteriak kesakitan dan kemudian perlahan mengakhiri hidupnya di atas kursi putar hitam yang di pegangannya diletakan handuk putih.

Tertegun sejenak tanpa sesal. Dan melakukan hal yang sama pada urat nadi di lengan sebelah kiri. Dengan harapan semuanya akan berakhir. Dan orang lain datang keesokan harinya menemukan kami, yang berlumuran darah kering karena angin yang keluar dari AC tepat di belakang kursi, dimana korban sering menghabiskan harinya bekerja dan melayani para tamu-tamu penting.

Tapi bisa juga ada dari pihak keluarga korban, yang mencoba menelpon ke handphone milik korban karena khawatir kalau sesore itu, korban belum berada di rumah tanpa kabar. Keluarga korban datang ke kantor dan menemukan kami dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Namun sebelum itu terjadi, aku sudah menulis surat tentang rencana gila ini agar dibaca para keluarga atau kerabat lainnya. Dan mereka akan bertanya-tanya, 'begitu mudahnya orang melakukan semua itu'. Namun saya tak lupa menuliskan lagi pada bait terakhir, agar kami dikubur berdekatan. Di mana pun tempatnya.

Aku mau semua orang bertanya kenapa, dan bagaimana?

Atau kalangan jurnalis akan menulisnya di koran harian mereka, bukan hanya memberitakan perkara saat kejadian, namun juga  mengungkap kenapa hal itu harus terjadi.

Untung saja pemikiran itu tak terlaksana, karena terang begitu cepat datang mewarnai hati dan pemikiran ini.

Palu (Maaf lupa waktunya)

Beberapa Fiksi Mini tentang Kerusuhan Poso


Ku Hargai Perhatianmu
Kriiiing…. telepon ku kembali berdering.
“Pak, bapak sudah dimana, ayo cepat keluar. Pasukan kami segera datang,”
“Tolong bapak mengungsi secepatnya, tolong pak. Saya sayang bapak,”
Aku yakin ia sangan perhatian padaku. Tapi aku lebih yakin dengan para tentara yang siaga di samping dan depan rumah jabatan ku.

Aku Ingat Seorang Staf ku
“Dia sudah seperti orang gila. Terkadang mengendarai motor menggunakan handuk, bahkan sesekali hanya menggunakan sempak,”
“Aku ingat, ia sempat bertanya padaku tentang gaji tunjangan. Ia mengaku pendapatannya lebih tinggi dari hasil kebunnya, karena jauh di atas gaji tunjanganku,”
“Tapi sayang, semuanya musnah. Rumah dan kebunnya habis akibat kerusuhan itu,”

Ini Semacam Jalur Gaza
“Di sini tempat para pegawai melakuakn transaksi pembayaran gaji,”
“Orang mereka tak bisa masuk ke kota, sebab kami ada di sana,”
“Itu berlangsung berbulan-bulan dalam suasana mencekam,”
“Ahhh sadis, aku tak mau membayangkannya,”

Cair Lagi
“Cair lagi,”
“Cair,”
“Aman?”
“Aman,”
Istilah itu akrab di telinga kami selama berbulan-bulan. Siang dan malam para lelaki mondar-mandir saling sapa, bertanya satu sama lain menggunakan istilah itu. Mereka berubah menjadi algojo-algojo yang siap membantai lawan.
“Wahh… dahsyat, ternyata manusia bisa sekeji itu,”

Kami Seperti Burung
“Apa saja harus dimakan. Mie instan menjadi menu harian,”
“Kami berpindah dari rumah ke rumah mencari makan. Terkadang mampir ke rumah Bupati,”
“Kami seperti burung. Sebab anak isteri kami telah mengungsi ke luar kota,”


Palu, (Maaf lupa waktunya)

Aku Ingin Pisah Dengannya


 Sudah lebih sepuluh tahun kami saling mengenal. Awalnya hanya coba-coba. Bagaimana bisa menikmati suasana untuk saling mengisi satu sama lain. Hanya kesenangan yang aku dapatkan. Belum ada jera atau kapok untuk melepaskannya. Sambil menulis cerita ini pun, aku tetap ditemaninya. Kemana pun aku, dan dimana pun aku menghembuskan nafas, ia selalu bersamaku. Hampir tak ada waktu dalam hari-hariku tanpanya. Aroma khasnya selalu kuhirup saat-saat penting menjalani dalam hidup.

Harus ku akui, interaksi sosial memang sangat berpengaruh erat dalam gaya hidupku. Hingga hubungan pertemanan itu mengenalkanku kepadanya. Penapilannya sederhana, putih, ramping dan elegan. Bisa dibawa kemana saja. Ia memang tak henti meyakinkanku, kalau ia memang selalu setia. Di saat-saat hati sedang gundah, ia menjadi teman yang paling berharga di banding berlian. Bahkan kejiwaanku pun berhasil dikuasainya. Aku hampir separuh menggantungkan hidup padanya. Saat kenikmatan itu menghampiriku, ketika bersamanya melalui siang dan malam-malam yang bahagia dan kelam. Ketergantunganku kepadanya terstimulasi melalui reseptor-nya di susunan saraf pusat untuk mengeluarkan dopamine, yang kemudian mengubahnya menjadi endorphin atau zat menciptakan rasa senang.

Sulit dibayangkan, jika aku harus berpisah. Beberapa kali aku mencoba renggang dengannya. Paling lama aku pernah berpisah hingga dua bulan. Saat itu, aku sedang berusaha mendekatkan diri dengan sang khalik, dan membatasi diri dari pergaulan di luar rumah. Aku hanya bertemu orang saat menjelang waktu sholat di Masjid. Atau saat belajar di kampus. Hanya waktu itulah yang membuatku bisa berdamai, tak saling menggoda dengannya. Sulit memang saat aku menjalani hari-hari pada masa itu. Hingga akhirnya aku kembali akrab dengannya. Lagi-lagi, aku dipertemukan dengannya karena lingkungan. Aku sempat berfikir, kalau aku ini berkembang menjadi baik, atau tidak baik karena lingkungan.

Waktu semakin tak bisa dihentikan. Malam beberapa jam lagi akan menemui pagi. Gelap akan beruba terang. Matahari akan menyinari seisi dunia, hingga aku harus bangun bekerja seperti biasa. Seperti biasa pula, aku akan bersamanya, mengisi kebahagiaan atau kejenuhan, bahkan kekesalan dalam melalui hari. Kini ia masih bersamaku. Semakin dekat, hampir tak ada jarak. 

Ia seolah mengarahkan jari-jariku untuk menekan toots hingga bisa menghasilkan tulisan ini menjadi lebih baik. Bisa dibaca dengan jelas dan membawa manfaat bagi anda yang membacanya. Aku belum mau mengenalkan anda dengannya. Apa anda penasaran? Entahlah. Aku hanya mau menggambarkan sosoknya sebagai bagian yang  sulit terpisahkan dari hidupku.

Suatu waktu, aku pernah bertanya dengan seseorang, yang sudah berhasil berdamai dengannya. Kata orang itu, hanya satu jawabannya, kesungguhan. Masuk akal juga pernytaannya. Sebab perubahan seseorang yang aku pahami, adalah perubahan yang sungguh datang dari dalam hati dan jiwanya sendiri, bukan dari luar.

Sedikit lagi aku harus berpisah dengannya. Bukan karena aku tak lagi mencintainya. Tapi ada  batasan-batasan yang kami tak sepakati, tapi sudah menjadi titah manusia. Tak mungkin kan, saat seseorang dalam keadaan tak sadar bisa menikmati sesuatu, apalagi dengannya.

Ia seakan mengarahkan pikiranku, berhenti sejenak, untuk mengumpulkan inspirasi. Kupandangi seisi ruangan. Hanya ada suara televisi yang sedari tadi mengalun, memanjakan telingaku dengan berbagai informasi ringan yang terjadi pada hari ini. Ia masih bersamaku. Entah beberapa menit lagi. Aku hampir kehilangan imajinasi, terhipnotis beberapa detik menyaksikan perbincangan menarik di Metro tv, tentang cara makan yang sehat. Ia kembali mengingatkanku untuk mengahiri tulisan ini. 

Baterai leptopku hampir habis. Cahaya biru yang menujukkan power baterai sudah berubah merah. Itu tanda kritis. Ah, aku mau mengakhiri tulisan ini, karena ia pun sudah tak bersamaku. Ia hanya tergeletak dibalut kotak kertas yang akrab bagi semua orang. Maaf, aku harus merahasiakannya. Aku takut kalau anda akan terjebak sama sepertiku. Maaf ya! 

Palu, (Maaf lupa waktunya)






Antara Kasih Sayang, Darah dan Rupiah

“Tolong Dinda, ini masalah reputasi, institusi dan keluargaku,”
Sms pak Arland membangunkan Susi dari tidur siangnya. Buru-buru ia mengambil tas dan membasuh wajahnya dengan air seadanya, dan bergegas memacu sepeda motornya menuju kantor.
Setibanya di kantor, rapat liputan sedang berlangsung. 

Menjaga agar kehadirannya tidak mempengaruhi situasi, Susi mengambil jalan belakang dan muncul dari ruang redaksi. Kehadirannya tak dihiraukan. Situasi rapat yang alot tak terusik dengan kehadirannya. Beberapa rekan wartawan terlihat sedang alot berdebat soal liputan besok.

Lima menit telah berlalu, Susi tak berkata-kata. Matanya liar melirik kiri-kanan, kearah rekan-rekannya yang saling melempar argumen. Sesekali bola matanya memelototi pak Suryo, redaktur pelaksana, yang sedang asik mengotak-atik leptop. Seolah di ruang lain, pak Suryo juga tak menghiraukan perdebatan dalam rapat itu.

*****

“Semua itu terjadi tanpa sengaja, saya tak punya niat sama sekali. Saya anggap dia seperti anak sendiri,” kata pak Arland kepada tim penyidik.

 “Tolong bapak ceritakan sedikit kronologisnya,” pinta sang penyidik.
“Malam itu kami jalan bersama. Sudah janjian memang, tapi ketemunya di rumah saya. Karena saya ketemu sejak sore di swalayan sama dia, maka saya langsung tawarkan, biar dia tidak datang malam, karena di rumah ada tamu,” sejenak terdiam.

Ilustration by Rilues
“Tapi saya liat dia waktu itu agak kurang semangat. Mungkin karena capek seharian di kampus. Pas saya tawarkan jalan-jalan ke pantai, dia juga mau. Di pantai, kami hampir tiga jam. Waktu itu sudah mau magrib. Dia juga belum bawa skripsinya. Katanya, dia berencana nanti malam baru kerumah saya,” hening kembali mengisi seisi ruangan. “Waktu magrib sudah lewat, kami masih di pantai. Pas saya ajak pulang, dia belum mau. Katanya dia lagi bingung, ada masalah keluarga katanya. Pas saya tanya, dia juga diam, dia tidak mau bicara tentang masalahnya,” kata pak Arland, dengan kepala sedikit tertunduk.

“Langsung saja pak, jangan bertele-tele, dimana kejadiannya” tegas sang penyidik
“Kami main di mobil, waktu itu kalau tidak salah jam 10. Pas selesai, saya antar dia pulang. Dia juga sepertinya tak keberatan, dia hanya diam ko,” tambah pak Arland, dengan nada lembut dan santai.

Meski begitu, alat perekaman milik Susi, dengan jelas menangkap semua hasil pemeriksaan itu. Tak ada wartawan lain di ruangan itu, hanya mereka bertiga. Memang hanya Susi yang dikabari tim penyidik, karena benar korban dan pelaku adalah kenalannya. Bukan hanya sekedar kenalan biasa, tapi korban adalah adik teman akrab Susi. Sementara pak Arland adalah rektor dan sekaligus dosen walinya.

“Tolong Sus, kamu bantu saya. Adikku itu anak baik-baik, sama dengan adik perempuanmu. Mereka punya cita-cita, punya harapan, punya masa depan,” sms Norma  membuyarkan lamunan Susi yang sedang mendengarkan hasil rekaman.

Tak lama berselang, handphone Susi kembali berdering. “Dinda, tolong saya, berapa yang kamu minta, kalau kamu anggap kurang, nanti saya usahakan lagi, tolong sms nomor rekeningnya,” begitu pinta sang rector, lewat sms.

Susi masih membisu. Bibirnya kelu, wajahnya merah padam, tangannya keringatan, padahal suhu di ruangan itu cukup sejuk.
“Susi, hari ini dapat berita apa?,” tanya pak Suryo dengan nada lantang.
Belum sempat Susi menjawab pertanyaan itu, handphonenya kembali berdering.

“Dinda, saya tau kamu, kamu juga tau bagaimana pergaulanku. Saya tidak mengancam, tapi saya ingin masalah ini tidak diekspose. Kamu masih mau hidup lama kan?,” kembali Susi membaca sms pak Arland.

Susi tak sadar, kalau situasi lagi hening, dan semua pandangan mengarah padanya. Ia menengadahkan kepala. Hayalannya melambung tinggi, hanya ada wajah Norma, pak Arland dan adik Norma yang terbayang di ujung pandangannya. Ia tak menghiraukan situasi saat itu. Susi menghela nafas panjang.
“Cobaan apa lagi ini, ya Allah, tolong saya,” doanya dalam hati

Pikirannya berkecamuk, kedua sms yang baru dibaca, terus membayangi alam sadarnya. Dua menit berlalu, ia belum juga menjawab pertanyaan pak Suryo.
Memang, uasi mengikuti proses pemeriksaan pak Arland, Susi langsung kembali ke rumah. Tak ada berita lain yang ia liput hari itu, kecuali kasus sang rektor.  

Dalam keheningan, Susi sempat terperangkap dengan sms pak Arland. Dia teringat, perkataan ibu kostnya pagi tadi. “Susi, tolong diperhatikan pembayaran kostnya, sudah lima bulan lo. Kemarin sudah ada orang lain yang mau masuk juga,” kata ibu kost, yang masih terekan jelas dalam ingatan Susi.
Bukan hanya itu, Susi juga teringat dengan sms kakaknya beberapa waktu lalu. “Sus, alhamdulillah, si Anto lulus. Dia mau kuliah,” demikian sms kakaknya. 

Tanpa sadar, satu demi satu buliran air bening menetes dari sudut matanya. Tak ada yang bisa menebak suasana hati Susi saat itu. Semua yang ada di ruangan, sedang asik ngobrol satu sama lain. Untung saja, perhatian pak Suryo sempat buyar dengan kehadiran pak Ahlis, teman lamanya yang baru kali itu bertemu.
Tanpa basa-basi, susi langsung bersuara, dengan alasan kalau dirinya lagi ditunggu kakaknya di ruang UGD. “Maaf pak, saya harus ke rumah sakit sekarang,” katanya terburu-buru.

Tingkah Susi seakan menghipnotis semuanya. Tak ada yang tau kalau dia sedang bermain peran. Semua pandangan mengiringi kepergiannya.

Palu (Maaf, lupa waktunya)







Gelisah

Gelisah. Malam ini aku kembali dihantui kegelisahan. Kupejam mata dan kerebahkan tubuhku, membujur diselimuti kegelisahan. Sudah sekian lama aku berjalan tanpa kegelisahan. Seolah semua jalan yang kutempuh pasti dan sudah benar. Aku kembali melihat kebelakang, apa ada yang teringgal? Atau semuanya sudah kubawa bersama angin malam ini. Aku sedkit meragukan langkahku belakangan ini.

Jari-jariku tak selancar dulu saat menyentuh toots. Aku harus berusaha memperhatikan abjad-abjad di keybord leptopku seteliti mungkin. Ah, ada yang janggal dari hari-hariku. Ada yang hilang. Ada yang terlupakan. Atau aku sudah terlalu jauh melangkah, hingga aku sudah meninggalkan semuanya.

Aku memang sudah berniat akan berubah. Tapi perubahan yang bagaiman? Aku ingin menggapai asa, cita dan angan. Tapi apakah aku harus meninggalkan semua masa lalu? Ah.., tidak. Aku tak bisa meninggalkan begitu saja. Sulit rasanya walau sekedar membayangkan.

Daun-daun kering akan jatuh ke tanah ketika musim semi. Menyentuh tanah dan berangsur-angsur menjadi kompos dan menyuburkan tanah. Dan tunas-tunas muda akan bermunculan di ranting-ranting kecil di pohon jati belakang rumah.

Aku berusaha menemukan diriku di malam ini. Cahaya bulan di luar memaksa aku keluar dari bilik kecil yang mamasungku. Angin sepoi membelai asa. Menusuk perlahan-lahan ke tulang rusuk. Aku ingat Jakarta, Bali, Yogyakarta, Banjarmasin, Makassar, Serang, Bandung dan Surabaya yang telah ku tinggalkan.

Aku ingin Aceh, Medan hingga Jayapura. Beberapa waktu lalu, aku ingin Holand, Paris atau Oslo. Tapi apa yang saat ini sudah kupunya. Latihanku belum membuahkan hasil. Tiba-tiba aku ingin Tentena, Ampana atau Wakai. Aku ingin menikmati damainya desa. Aku ingin merekam kejadian-kejadian penting di sana. Aku ingin menemukan orang-orang lama yang pernah ku kenal. Atau orang-orang baru yang bisa menjadi teman.

Tapi sedikit sulit, aku masih diselimuti gelisah yang tak tau akan berujung dimana. Aku ingin melempar petugas-petugas itu, yang selalu mengontrol. Mereka mencoba membuyarkan kosentrasiku dalam kegelisahan.

Harus ku akui, aku masih di sini. Masih seperti dulu meski berupaya untuk terus berubah. Kuperhatikan dua lembar kertas berisi nilai-nilai dan tanda tangan. Hampir saja aku menyesal. Tapi aku tak mau. Aku tak mau larut dan menyesali masa lalu. Aku yakin matahari kan kembali bersinar. Burung-burung kan bernyanyi dan hariku akan kembali terang. Aku akan meraih semuanya, setelah menyingkirkan serangga-serangga kecil yang tersesat di antara rambut-rambutku. Aku akan terus berupaya semampuku.  Aku akan membuktikan kepada semua orang, kalau aku mampu menggapai semua yang ku inginkan.

Palu, 24 Oktober 2010.