Kamis, 15 September 2011

TAKUT


Takut…
Hanya ketakutan…
Taku seperti dulu
Khawatir….Khawatir seperti dulu….
Takut lagi…
Dan takut…..
Takut lagi….
Takut…..
Untung belum ketakutan….!

Jumat, 02 September 2011

Sungguh Lebaran Telah Menelanjangi Kita


Peristiwa Bagi Zakat di Pasuruan 2009
Sungguh lebaran telah berkali-kali menelanjangi kita sebagi sebuah bangsa. Lebaran adalah moment yang begitu sakral bagi warga muslim di Indonesia. Jutaan orang setiap tahun berburu mudik untuk bertemu keluarga di kampungnya. Dan setiap tahun pula dalam satu dekade  terakhir, lebaran telah menelanjangi kita. 

Apa pasal?  

Puasa selama sebulan penuh telah mengantarkan umat muslim kepada titah kemanusiaan umat sebagai mahluk ciptaan tuhan. Berproses siang dan malam dan berjibaku dengan amalan-amalan, memebrsihkan diri, bersuci dari segala dosa selama sebelas bulan silam. 

Namun apa yang terjadi saat menjelang dan ketika lebaran berlangsung. Media kita begitu fulgar mengeksploitasi kemiskinan, menelanjangi, mengungkap semua fakta ironis tentang wajah kemiskinan negeri kita. 

Di setiap kota, orang-orang kaya yang mengaku dermawan membagi-bagikan duit kepada orang miskin. Di setiap kota, orang-orang miskin berbondong-bondong memenuhi halaman para dermawan musiman untuk mendapatkan bingkisan, uang dan benda berharga bagi mereka. Ini fakta berulang tanpa mendapat perhatian. Hanya untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah, korban pun berjatuhan setiap tahun. 

Ya itulah orang miskin, saudara kita. Kematian bisa saja menjemput mereka saat berebut duit dari saudaranya yang dermawan. Terlalu kecil bagi para pejabat atau kalangan menengah di negeri ini nominal sepuluh ribu. Dan jumlah itu sudah lebih cukup bagi saudara kita yang miskin itu. Mereka berpanas-panasan, berdesak-desakan, saling menginjak berebut duit-duit kecil itu. 

Sementara di lain kesempatan, pejabat-pejabat negeri ini dengan mudahnya merampok uang negara, mengorupsi dana-dana pembangunan. Dan anak-anak mereka dengan hanya memelas di hadapan ayah ibunya, sudah mendapatkan sejumlah uang atau barang mewah yang mereka inginkan. Mereka tak perlu berpanas-panasan, berhimpitan untuk memenuhi keinginannya seperti saudara kita yang miskin itu. 

Pada suatu kesempatan di salah satu media, seorang ustad pernah berkata tegas memprotes dan menyatakan bahkan kesalahan telah dilakukan oleh para dermawan yang membagikan harta mereka melalui zakat fitrah kepada warga miskin. 

Zakat fitrah itu adalah hak bagi orang miskin. Ini sebuah ajaran kemanusiaan yang dianjurkan dalam Islam. Setiap tahun setelah menjelang akhir Ramadhan, semua orang-orang yang mampu, harus mengeluarkan zakat dari harta benda mereka. Memberikannya kepada orang yang layak menerimanya, yakni orang miskin. Dan karena itulah, maka selayaknyalah mereka mendapatkan itu dengan cara yang manusiawi juga. 

Berita disebar ke seisi kota bahwa seorang dermawan akan membagi-bagikan zakat. Maka jika siapa saja yang merasa/mengaku miskin, silahkan mengunjungi rumah sang dermawan. Bukan. Bukan dengan cara dikumpulkan mereka (orang miskin)  di halaman rumah, dan para dermawan membagi-bagikan hartanya. Bukan begitu caranya. Zakat fitrah itu hak mereka. Dan yang namanya hak, wajib mereka terima. 

Jika itu dipahami oleh para dermawan, maka selayaknya sang dermawan dan orang-orangnya mendatangi orang miskin untuk memberikan hak mereka. Titik. Jangan membuat alasan lagi. Hanya Allah yang tau hati semua ummatnya. Ia yang maha tau siapa yang sungguhan dan siapa yang pura-pura. Maka janganlah kita berpura-pura dengan harta benda kita sendiri, sebab Allah juga tak berpura-pura memberikan amanah itu (harta) kepada kita.

Bukankah fakta bertahun-tahun itu tidak cukup dijadikan pelajaran. Apakah puasa harus dipanjangkan lebih dari sebulan untuk melatih kita untuk berlaku lebih arif dan bijaksana. Tapi entahlah. Apakah puasa selama sebulan penuh belum memberi pelajaran bagi kita?
Sungguh lebaran telah menelanjangi kita.

Cileunyi, 4 Syawal 1432 H.   

Kamis, 01 September 2011

Kampungku Dikenal Karena Cekcok, Sungguh Sayang.


Gelap telah menyelimuti Bandung dan sekitarya. Sunset yang mengiringi perjalananku sore tadi lenyap sudah. Berganti lampu-lampu jalan yang menyirami jalanan empat lajur itu. Kupacu sepedamotorku perlahan, setelah angka satu hilang dari traffic light dan lampu hijau menyala. Belok kanan dan mengambil lajur kiri, khusus untuk kederaan roda dua yang menelusuri jalan lurus tanpa belokan. 

Kutengok ponselku untuk memastikan kalau waktu magrib belum lewat. Sepanjang jalan, kulemparkan pandang ke sebelah kiri, memerhatikan tanda-tanda kalau di sekitar itu ada masjid. Sudah hampir satu kilo meter aku meninggalkan pusat perbelanjaan moderen itu. Angin lembah berhembus sedemikian lembutnya, perlahan menusuk tulang.

Kupastikan bahwa tanda panah ke arah kiri yang baru saja kulewatkan tadi adalah berisi keterangan yang aku cari. Masjid..! 

Kubelokkan arah untuk kembali memperjelas tanda itu. Dan memang benar bahwa dari tanda itu, sekitar 200 meter ke kiri ada sebuah masjid.
Langsung kutancap sepedamotorku mencari-cari. Perlahan dan pasti, kutemukan masjid di kompleks itu, di sebelah kiri jalan, dengan halaman sempit sekali diberi pafin blok tak berwarna. 

Mataku menjelajah mencari-cari tempat wuduh. Di sudut masjid terpaku seorang lalaki paruh baya, sedang asyik menikmati sensasi sebatang rokok. Bersandar di tiang teras.

Kusapa ia dengan senyum seadanya.

Tanpa sungkan, perlahan kulepaskan jaket dan segera memasuki tempat wuduh. Kembali kulemparkan senyum kepada lelaki itu, dan ia juga kembali tersenyum sambil melepaskan kepulan asap ke udara. Aku memasuki masjid dari pintu belakang. Kuselesaikan sholatku yang hanya tiga rakaat itu dengan zikir dan doa. Syahdu.

Setelah sholat, berlakulah aku berbasa-basi mencari perhatiannya. Dalam hati saya berharap, semoga kehadiranku tidak menggangu waktu santainya menunggu sholat Isya sambil mengisap beberapa batang rokok. 

Ia mulai buka bicara. Sorot matanya menelanjangiku dari ubun-ubun hingga ujung jari kaki. Sepertinya aku adalah mahluk asing di matanya. 

“Dari mana de’,”
“Tadi dari Carrefour,”
“Ooooooo…!” Asap-asap kembali mengepul, berhembus dari mulutnya dengan bibir atas dihiasi kumis tipis keabuan.
“Oh ya, kalau Buah Batu itu dimana ya pak?”
“Buah Batu itu luas, mau ke daerah mananya?” katanya seketika dengan penuh keramahan.
Aku terdiam sejenak sambil memikirkan apalagi yang harus kujawab. Sebenarnya aku hanya berbasa-basi, menghabiskan waktu menunggu sholat Isya.
“Kalau dari sini Buah Batu di sebelah mana?”
“Kamu putar lagi ke arah Carrefour, itu perempatan pertama, dan setelah itu ada perempatan lagi. nah itu perempatan Buah Batu,” jelasnya.
“Ooooooo”
“Memangnya kamu tinggal dimana?”
“Aku di Cileunyi,”
“Sudah lama di asana?”
“Baru dua minggu. Cuman maen aja sih”

Rasanya seperti saat sesi interview saja. Ia melepaskan kacamatanya dan melatakkan di atas tikar anyaman dari daun nipa berwarna putih gading. Perlahan aku merokok saku jaketku, mencabut sebatang rokok dari dalam kotaknya dan berusaha lebih santai sambil membakarnya. Dalam hisapan pertama, pertanyaan kembali meluncur. 

“Memangnya kamu dari mana?”
“Aku dari Sulawesi,”
“Oooooo…, Makassar?
“Bukan, Makassar itu Sulawesi Selatan,”
“Kalau Sanger?,”
“Itu Sulawesi Utara,”
“Gorontalo?”
“Dulunya Gorontalo masuk wilayah Sulawesi Utara. Tapi sekarang sudah jadi provinsi sendiri,”
“Lantas kamu dimana?”
“Di Palu,”
“Sulawesi Tenggara?”
“Bukan, Palu itu ibukota Sulawesi Tengah,”

Bentrok Tiaka Agustus 2011/ Foto Antara
Aku mulai khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba aku minder, tak ada penjelasan lanjutan dari mulutku untuk menggambarkan kota ku. Keraguan menyelimutiku.
“Oooooo, yang rusuh-rusuh itu ya?”  

Aku tersentak. Sedari tadi aku membayangkan pernyataan itu akan meluncur, tinggal menunggu waktu. Tak ada kesempatan untuk mengelak, aku harus menghadapi pertanyaan berikutnya dengan bijak dan menjelaskannya secara rinci walau dadaku terasa sesak.

“Iya, itu dulu pak, sekarang tidak lagi,”
Tiba-tiba ia berlaku serius, mencondongkan badannya sedikit kedepan seperti ingin mendengarkan penjelasan dari seorang guru.

“Ribut-ribut itu karena apa ya,”
“Akhir-akhir ini disebabkan perkelahian pemuda antar kampung sih. Cuman terus berulang, tak ada yang diselesaikan secara hukum. Entahlah, kenapa aparat keamanan dan pemerintah daerah tak berlaku tegas,”
“Bukan karena masalah SARA?”
“Bukan..! Itu dulu, waktu kerusuhan Poso,”
“Sebenarnya kerusuhan Poso itu bukan dilatarbelakangi SARA. Isu agama hanya dijadikan pemicu untuk memperbesar konflik”
“Ya, memang kalau rebut-ribut yang dipicu oleh masalah SARA, pasti cepat merembetnya,” 

Kami terdiam, sunyi. Seseorang datang dan menyapa. Ternyata waktu Isya telah tiba. Bapak yang tak ku kenal namanya ini langsung menuju tempat wudhu meninggalkanku dalam ketermenungan.
Dua hari sebelum lebaran kemarin, aku menonton sebuah berita perkelahian lagi dari daerahku. Pertikaian pemuda antar kampung. Entahlah, apa konflik-konflik itu memang ditakdirkan untuk akrab dengan warga di daerahku. Atau karena televisi yang terlalu membesar-besarkannya?

Cileunyi, 2 September 2011.