Jumat, 24 Februari 2012

Oud Batavia

Foto Ojan (20/22012)
Mungkin anda pernah mendengar dari berita-berita di media massa atau melalui pelajaran sejarah di sekolah, tentang sebuah Kota Tua di Jakarta, yang dulunya dikenal dengan sebutan Oud Batavia (Batavia Lama). Kota ini dibangun sejak pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1916. 

Awalnya, kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah. (Wikipedia bebas bahasa Indonesia). Itu dulu. Ratusan tahun yang lalu.

Sesungguhnya bukan hanya di Jakarta, di kota-kota lain di Indonesia, pun kita akan menemukan berbagai gedung perkantoran, benteng, rumah dan bangunan-bangunan lainnya yang menjadi peninggalan jaman kolonial, bahkan zaman sebelum itu. Misalkan jika anda ke Provinsi Banten, anda akan ditawari para pemandu wisata disana untuk mengunjungi Banten Lama, yakni sebuah kawasan yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Banten, yang telah dibangun sejak tahun 1552 pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552–1570). (R. Cecep Eka Permana, jurnal.ui.ac.id).

Atau jika anda ke Kota Makassar, anda akan ditawari mengunjungi benteng Rotterdam yang dibangun pada 1545 oleh Raja Goa ke 9, yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Dan masih banyak lagi tempat-tempat penting lain di setiap kota di Indonesia. Namun kali ini, saya hanya akan mengajak anda menjelajahi Kota Tua di Jakarta. 

Sebagai mula, saya akan memulai cerita ini melalui pengalaman pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Begini ceritanya; 

Waktu itu matahari beranjak senja dan malam turun sesaat kemudian menggelapi seisi kota. Bus kami tiba di selter terakhir, yakni selter Kota. Hanya cahaya lampu-lampu jalan dan kenderaan yang mengimbangi pekatnya malam. Ditambah neon-neor para penjual pernak-pernik dan jajanan di lapangan depan gedung museum Fatahillah.

Meskipun beberapa tahun sebelumnya saya pernah berkunjung ke Jakarta, namun baru kali ini hasrat saya terlampiaskan untuk mengunjungi lokasi yang eksotik itu. Bersama seorang sahabat, saya menapakkan kaki, langkah-demi langkah sambil menghirup harumnya masakan siap saji dari para penjual di pinggir lapangan. 

Karena teman saya ini akan kembali ke Palu keesokan harinya, maka sudah barang tentu ia harus membeli ole-ole untuk sanak famili. Ia memilih berbagai kerajinan, sementara saya asyik memerhatikan gedung-gedung yang menjulang tinggi di sisi kiri-kanan lapangan. Sungguh menakjubkan. Betapa gedung-gedung itu telah menjadi saksi sejarah dan masih kokoh untuk berbagi cerita dengan para pengunjung di area itu. Sudah ratusan tahun umurnya, masih tetap  berdiri kokoh. Berbeda dengan hasil karya manusia abad ini, yang baru beberapa tahun dibangun sudah roboh. 

Singkat kata, setelah membeli beberapa hasil kerajinan, kami pun berlalu meninggalkan Oud Batavia dengan Busway menuju Rawamangun, setelah melahap beberapa tusuk sate padang.

Sepeda-sepeda di Oud Batavia

Itu yang pertama saya menginjakkan kaki di lokasi tersebut. Dan untuk kesekian kalinya, saya berkunjung di Oud Batavia menggunakan sepeda. Dari sinilah rasa ingi tau saya muncul untuk  mengethui tentang apa gerangan dengan sepeda-sepeda yang ada di Oud Batavia. 

Seperti layaknya, tempat-tempat wisata harus menyediakan sarana pendukung untuk mengkonstruksi tempat itu agar membuat pengunjung nyaman, betah dan menemukan kesan atas pengalam wisatanya. Selain sajian aneka jajanan dan penjual pernak-pernik, sepeda adalah salah satu fasilitas pendukung yang menjadi sarana transportasi bebas polusi di Oud Batavia.

Sepeda-sepeda di Kota, Foto by Ojan (20/2/2012)
Bukan sembarang dan tanpa pertimbangan sepeda-sepeda itu hadir. Kesan eksotis tempo doe-loe dan pengalaman berwisata akan anda temukan dengan mengderai sepeda-sepeda itu, berkeliling mengitari Oud Batavia. Ia akan membawa pengalaman anda jauh ke belakang, menggambarkan bagaimana orang-orang dulu di lokasi itu dalam beraktivitas. Tentunya dengan menggunakan sepeda. 

Ada beberapa titik konsentrasi sepeda-sepeda ini dikumpulkan oleh pemiliknya. Di dalam (area depan museum Fatahillah), sepeda-sepeda dicat dengan warna terang dan mencolok, dilengkapi topi lebar khas perempuan eropa zaman dulu dan Pith helmet, atau orang Belanda mengenalnya sebagai Tropenhelm, terparkir rapi berjajar di pinggir lapangan.

Adalah Rubai (36), salah seorang pemilik dari sepeda-sepeda itu. Ia bercerita dengan mimik ramah ketika saya bertanya. Sebagai anggota dari paguyuban Sepedan Ontel Kota, ia setiap hari nongkrong menunggu para pengunjung yang akan menyewa sepedanya. Meskipun menurutnya, hanya setiap Sabtu dan Minggu pengunjung ramai berdatangan. 

Biasanya kata Rubai, ia mendapatkan keuntungan bersih hingga Rp100.000, jika rejeki lagi baik. Namun di hari-hari biasa, seharian pun ia tak mendapat apa-apa. Di samping dari upah sewa sepedanya, keuntungan sebanyak itu ia dapatkan juga dari upah sebagai guide. “Jasa guide itu dihitung per sepeda yang dipakai. Biasanya tiga sampai empat sepeda. Satu sepeda, dikenakan tarif Rp30.000 per satu setengah jam. Sedangkan untuk sewa sepeda sendiri, dihargai Rp20.000 per jam,” jelasnya pria asal Semarang ini. 

Meski dengan penghasilan pas-pasan seperti itu, ia mengaku bisa bertahan hidup menafkahi isteri dan 2 orang anaknya di kampung. Untuk melepas rasa kangen dengan keluarganya, Rubai yang sejak 2007 mangkal di Oud Batavia ini pulang sebulan sekali ke kampung. 

Lain lagi dengan Damir (40). Ia juga pemilik sepeda ontel yang mangkal di luar. Ia mangkal di jembatan yang menghubungkan antara lokasi Oud Batavia (lapangan depan gedung museum Fatahillah dan sekitarnya) dengan wilayah arah Pasar Pagi. Jika sepeda di area dalam disewakan, maka sepeda miliknya digunakan sebagai ojek. Tak dihias (tetap polos sesuai warna asli) dan boncengannya diberi busa tebal untuk kenyamanan penumpang. 

Setiap hari ia beroperasi mulai jam 3 sore hingga jam 4 dini hari. Tarifnya bervariasi, tergantung jauh dekat tujuan penumpang. Paling dekat kata dia, penumpang membayarnya sebesar Rp3.500. Sementara paling jauh, misalnya keluar dari wilayah Oud Batavia, bisa mencapai Rp15.000. Dengan pendapatan Rp 30.000 sehari, ia bangga dan bersyukur dengan profesinya, sebagai tukang ojek sepeda di Oud Batavia. 

Tak jarang kata dia, jika permintaan pengunjung atas sepeda di dalam lagi banyak, maka sepeda miliknya pun disewakan. Tarifnya sedikit lebih mahal dengan sepeda yang ada di dalam, yakni sebesar Rp25.000 per jam.
Baginya, dengan pendapatan pas-pasan itu, ia masih menyimpan harapan besar atas ketiga anaknya yang ada di kampung, agar mereka melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Tidak seperti dia yang hanya tamat SD.

“Biar sedikit yang penting halal Mas. Allah maha tahu atas rejeki setiap orang. Dan saya yakin ia akan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang berusaha di jalan yang benar. Harapan saya tak muluk-muluk, asal bisa makan dan bisa membiayai sekolah anak-anak,” harapnya.

Damir dan Rubai telah menjadi bagian dari ratusan orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada Oud Batavia. Gedung-gedung tua peninggalan penjajah itu telah memberi inspirasi bagi mereka untuk menentukan jalan hidup. Bertahan dari segala tantangan yang kian menjepit. Menyimpan harapan dan senyum bahagia atas kesuksesan anak-anak mereka di suatu hari nanti.

Rawamangun 20 Febriari 2012. 





0 komentar:

Posting Komentar