Waktu itu sudah tengah malam, ketika Alwi Hamu tiba di Hotel
Palu Golden. Setelah landing di Palu pukul 20.00 Wita, ia langsung dijemput
oleh beberapa kawan lamanya menuju kompleks Patra di Pasar Impres Manonda,
milik ketua Lembang 9 Instutute Wilayah Sulteng, Amin Badawi. Ini adalah
kesekian kalinya Alwi datang ke Palu.
Kedatanganya kali ini adalah untuk sebuah agenda yang tak kala penting dari
urusan-urusan bisnis. Sebagai ketua umum Lembang 9 Institute, ia menjadi
pembicara utama dalam acara Rembuk Nasional ke VII di Palu, pada Rabu 15
Oktober 2014 lalu. Acara yang digagas bebarapa lembaga non pemerintah tersebut
membahas sejumlah agenda pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla seperti Tol Laut.
Alwi yang meski dalam keadaan cukup lelah setelah menempuh perjalanan hampir
tiga jam dari Jakarta ke Palu, malam itu masih menyempatkan diri untuk berbincang
bersama wartawan Palu Ekspres. Ia menerima kedua awak media ini di kamar 120
lantai 2 PGH, setelah beberapa rekannya meninggalkan ruangan. Dalam suasana
tenang dan santai, Alwi bercerita tentang sejumlah gagasan lembaganya dan
kondisi negara Indonesia dalam pendekatan pembangunan yang merata. Sudah barang
tentu pembicaraan akan menyinggung pembangunan di kawasan timur Indonesia, yang
selama ini masih banyak teringgal. Dalam pembicaraan, ia juga mencoba
menggambarkan perbandingan-perbandingan antara Indonesia dan Cina dalam
prospektif pembangunan. Untuk lebih jauh mengetahui apa yang mereka bincangkan,
berikut petikan wawancaranya bersama wartawan PE, Mohammad Sahril dan
Fotografer Ananda Rioeh.
Saya dengar gagasan tentang program Tol laut ini adalah buah pikiran
dari lembaga yang anda pimpin. Bagaimana ceritanya?
Tol laut itu adalah Traffic Operational Logistic, jadi
jangan salah paham. Bukan seperti jalan
Tol yang ada di darat, berbayar. Bisa dikatakan ini kebijakan untuk mengatur
lalulintas di laut. Jadi, nanti kapal-kapal akan berlayar pulang pergi dari
Sabang samapi Merauke. Melewati sejumlah pulau-pulau yang ada di nusantara ini.
Misalnya ambil barang dari Jakarta, singgah di Surabaya, Makassar, Palu, sampai
ke Ambon dan Papua. Sampai di sana akan balik lagi ke ujung barat, di Sabang.
Begitu terus. Sehingga ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Selama ini, ongkoslogistik kita dibayar dua kali lipat. Orang mengangkut
barangnya dari Makassar misalnya, ke pelabuhan
mana saja menuju Papua, dari poin to point, menuju pelabuahan Sorong, pulangnya
kosong. Karena tidak ada barang yang diangkut. Kalau lalulintas di laut ini
lancar, orang mau muat Semen dari Makssar ke Sorong, tidak bayar dua kali lagi.
Karena ada barang yang akan dibawa kembali dari sana. Tidak pulang kosong. Kalau
Tol laut berjalan baik, biaya logistik kita akan lebih murah. Coba bayangkan,
kita kirim barang dari Jakarta ke Cina, lebih murah dibanding dari Jakarta ke
NTT. Makanya kita lebih memilih impor.
Dengan kebijakan yang mempermudah akses dan menekan biaya logistik ini,
apakah dengan begitu kita akan mengurangi import?
Apa yang mau diimpor? Kalau bahan pangan, kemungkinan tidak
lagi. Tapi perlu diketahui bahwa kenapa kita terus mengimpor beras, gula dan
bahan-bahan pokok lainnya, itu karena di sana harganya lebih murah.
Pemerintahnya memsubsidi biaya produksi dari komoditasnya. Sehingga nilai
jualnya lebih murah. Tapi menguntungkan bagi pemerintah, karena rakyat itu
tidak cengang. Selama ini yang pemerintah kita lakukan hanyalah BLT, bantuan
langsung tunai. Tidak ada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini kan
akan menciptakan budaya masyarakat yang malas. Hanya menunggu BLT dari
pemerintah. Kalau di luar itu, kerja dulu baru dibayar. Walaupun untuk membayar
itu negara rugi. Tapi lebih baik begitu, daripada subsidi BBM. Yang disubsidi
itu kan bukan masyarakat kecil. Orang pemilik mobil-mobil besar. Merekalah yang
punya kenderaan dan banyak menggunakan minyak. Orang miskin ini apa, mereka
hanya jalan kaki. Kalau pun ada orang kecil yang sudah mampu membeli motor,
ongkos BBM-nya juga tidak seberapa. Paling 1 liter bisa makan 50 km. Tapi coba
bandingkan dengan Mercy misalnya, 1 liter bisa hanya empat sampai 5 km. itu
artinya, tetap hanya orang kaya yang menikmati subsidi BBM ini. Mereka di sana
berfikir tangan di atas, bukan tangan di bawah.
Mestinya menurut anda, subsidi itu diarahkan pada sektor apa?
Karena untuk BBM sangat tidak berpihak pada rakyat kecil,
maka yang mesti disubsidi itu adalah sektor produksinya. Masyarakat petani
harus disubsidi pupuknya, ada jaminan pemerinta terhadap nilai jual hasil
pertaniannya. Ini yang mesti diulakukan, sehingga kalau harga tidak stabil,
mereka tidak merugi. Sebab ongkos produksinya sebagian sudah ditanggung oleh pemerintah.
Kalau kita lihat kontribusi wilayah terhadap perekonomian nasional,
wilayah Indonesia timur itu sangat rendah sekali. Sulawesi sendiri hanya 4,6
persen. Sementara Jawa 57,5 persen. Bagaimana ini bisa perlahan-lahan
disejajarkan?
Tol laut ini kan bisa menghubungkan titik-titk ekonomi
sehingga perputaran barang menjadi lancar. Harga-harga bisa ditekan. Dulu ada
namanya PPSS, Perusahaan Pelayaran Sulawesi Selatan. Sekitar awal-awal
kemerdekaan sistem pelayaran ini dibangun. Ini dikelola bersama oleh pemerintah
dan swasta. PPSS ini secara teratur melayani pelayaran untuk wilayah Sulawesi
dan sebagian indoneseia timur. Ada beberapa vider-vider, yang singgah di pelabuhan
kecil yang menjadi tempat persinggahannya. Jadi dia berlayar dari Manado,
singgah di Toli-toli, singgah lagi di Palu, di Mamuju atau Polmas, lalu ke
Makassar. Itu barang-barang yang diangkur rata-rata hasil bumi. Semua
barang-barang itu terkumpul di Makassar. Nah untuk diangkut ke Surabaya,
terntunya menggunakan kapal besar. Waktu itu umumnya barang-barang untuk bahan
baku masih diolah di Surabaya, bukan di Jakarta. Jadi nanti kapal yang datang
ke Makassar itu, membawa barang-barang produksi. Sampe di Makassar, baru
kapal-kapal PPSS ini yang sebarkan ke daerah-daerah tadi.
Begitu juga dengan idenya sekarang. Jadi akan ada
pelabuhan-pelabuhan untuk vider-vider, yang nantinya mengangkut barang-barang
dari pelabuhan kecil, dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan besar. Misalnya di
Papuan itu ada pelabuhan besar di Sorong. Itu yang akan menampung barang-barang
dari daerah-daerah sekitar situ. Kan tidak mungkin kapal-kapal kecil ini yang
akan membawa barang-barang menuju Makassar atau Surabaya. Sudah tidak zamannya.
Masa kapal kecil dipaksa mengarungi samudera yang luas ini? Apa keuntungannya,
yang pertama biaya logistik bisa lebih murah, perekonomian lokal bisa tumbuh,
dan tentu industri bisa masuk.
Kebijakan ekonomi pemerintah sejauh ini masih bertumpuh pada
sektor-sektor yang ada di darat, seperti tambang dan perkebunan skala besar.
Bagaimana menurut anda, apakah ada alternatif lain?
Ada, agribisnis, kelautan, pariwisata. Sektor-sektor itu
sangat potensial untuk dikembangkan.
Selama ini, apakah sektor-sektor itu belum disentuh?
Sudah, tapi belum digarap secara baik. Ini harus diserahka
pada swasta. Pemerintah tidak mungkin menangani
secara keseluruhan. Pemerintah cuman membimbing saja. Swastalah yang
mengembangkan itu. Misalnya di Palu ini sudah banyak mal, itu kan swasta. Cuman
ada satu hal yang perlu dikembangkan lagi oleh pihak swasta, yakni daerah
tujuan wisata. Ini yang diperbaiki. Di sini cukup banyak. Misalnya Taman
Nasional Lore Lindu, kepulauan Togean. Daerah-daerah itu sangat potensial
dengan panorama alamnya. Saya pernah buat buku tentang Lindu itu. Teman saya
dari Cheko datang melihat kawasan itu setelah membaca buku saya. Begitu dia datang
ke Togean, dia buat foto seperti perahu terbang. Itu saking jernihnya air laut
di sana. Perahu tenang berlayar di atas karang-karang, dengan ikan-ikan hias
yang indah dan banyak ragamnya. Nah ini yang mesti diperhatikan dan dijaga oleh
pemerintah.
Tapi belakangn sektor ini juga bisa terancam dengan kebijakan
pertambangan dan perkebunan skala besar. Menutrut anda bagaimana?
Sektor tambang tidak bisa menjadi primadona. Kebijakan untuk
mengolah lebih dulu bahan tambang di daerah penghasil, kebijakan membangun
smelter ini, sangat baik. Kenapa, karena selama ini kita menjual tanah air.
Tanah kita dikeruk sepenuhnya lalu diekspor ke luar negeri. Kalau kita olah di
dalam negeri, harganya bisa meningkat dua kali lipat. Yang kedua, dia
menciptakan lapangan kerja baru di daerah-daerah pertambangan. Itu yang perlu
dipikirkan oleh pemerintah, memberikan lapangan kerja , bukan subsidi-sunsidi
semacam tadi, BBM dan BLT itu. Di Cina seperti itu. Untuk mengurangi rakyat
disubsidi, disumbang-sumbang, dibukakan lapangan kerja. Ini perlu perubahan
mindset. Pemerintah Cina untuk mempekerjakan masyarakatnya, memberlakukan
kebijakan begini; semua barang-barang yang diproduksi di utara, harus diekspor
dari selatan. Untuk mengangkut barang-barang itu harus melalui kereta api.
Otomatis ini membutuhkan tenaga kerja.
Dari segi bisnis, ini merugikan. Tapi pemerintah secara tidak langsung
untung. Karena ini adalah upaya untuk membina masyarakat untuk bekerja,
mendorong agar dia punya daya saing.
Bagaimana dengan kita di sini?
Kita di sini, lebih memilih impor, karena biaya produksi
kita mahal. Di tataran petani misalnya, untuk menghasilkan beras saja, itu
lebih besar biayanya daripada harga jualnya. Makanya kita lebih cenderung impor.
Petani kita tidak akan berkembang dengan pola seperti ini. Mestinya pemerintah
mensubsidi ongkos produksi. Seperti di Thailand, pemerintah mensubsidi para
petani, sehingga harga berasnya bisa bersaing di pasar Asia. Berasnya bisa
masuk sampai di Indonesia dengan harga relatif lebih murah dibanding harga
beras dalam negeri kita. Kita di sini potensinya besar. Untuk menciptakan garam
sangat mudah. Musim panas, kita tamping saja air laut, dikeringkan adalam waktu
tertentu, jadilah Kristal-kristal garam. Tapi apa kenyataannya sekarang, garam
pun kita impor. Import itu memang menguntungkan, tapi hanya sesaat. Dalam
jangka panjang tidak bisa diharapkan. Kita rugi, kita akan kehabisan. Sama
dengan tambang itu. Selama ini, tambang itu hanya bikin kaya investor. Sebab
bahan-bahan tambang kita diekspor keluar. Masyarakat kita yang di sekitar
tambang itu tetap miskin. Tapi kalau dibangun pabriknya di daerah tambang, ini bisa
meningkatkan ekonomi masyarakat.
Dengan dibukanya industry, saya khawatir masyarakat kita susah untuk
terserap, sebab pendidikannya masih rendah sekali. Menurut anda?
Sebenarnya tidak juga. Industri itu kan membutuhkan banyak
tenaga kerja. Dan levelnya juga beda-beda. Ada yang ahli, setengah ahli hingga
pekerja. Kalau pendidikannya rendah, hanya tamat SMA, otomatis akan menjadi
pekerja. Kan diserap juga dia dalam industri. Dan perlu diingat, 80 persen
tenaga di industry itu dipenuhi oleh level pekerja tadi. Coba kita lihat
bagaimana dengan TKI kita, kan banyak kerjanya menjadi buruh di luar negeri.
Buruh tani, buruh kebun di Malaysia. Hanya di sini mereka gaga-gagahan pas
pulang kampung. Kembali ke negara tempat dia bekerja, dia juga akan kembali
sebagai buruh.
Apakah nanti akan ada relasi positif antara kebijakan kita menumbuhkan industri
dalam negeri, dengan pengurangan pengiriman TKI ke luar negeri?
Sementara ini memang mindset kita lebih cenderung bekerja di
luar. Dulu orang Bugis bilang, lebih baik miskin di kampung orang, daripada
setengah kaya di kampung sendiri. Kalau kita dianggap setengah kaya di kampung
sendiri, dibilang “Eiii, siddi mi doinna”. Dia bekerja di luar negeri, pulang,
kemudian belanja baju yang bagus-bagus, arloji yang mahal-mahal. Tapi pas
pulang ke tempat negara dia bekerja, kembali pake baju ‘kutang’, pake celana
kolor. Kembali menjadi pekerja. Inilah yang perlu dirubah. Inilah yang menurut
Jokowi-JK revolusi mental itu. Tidak bisa tidak, ini harus dirubah. Coba lihat
orang Cina, biar dia sudah punya uang banyak, masih tetap juga pake celana
pendek. Kalau kita mana mau.
Bagimana menurut anda dengan pembangunan di kawasan timur?
Sebenarnya tidak jauh berbeda antara kondisi masyarakat di
Jawa sana dengan Sulawesi. Di sana juga masih banyak orang miskin. Di Banten,
tadi pagi saya baca di korang, guru mengajar di sekolah yang dibangun seperti
gubuk. Mengajar dengan papan tulis yang sudah robek-robek. Tapi begini, di Indonesia timur ini, saya
juga pernah mengusulkan dulu bahwa ia dikelompokkan dalam daerah tertingal.
Sehingga perhatian pembangunan juga ada. Di timur ini banyak sekali mineral,
bahan tambang. Tapi karena infrastrukturnya kurang, maka tidak ada industri
yang mau masuk. Yang ada sekarang hanya perusahaan-perusahaan skala kecil. Kenapa,
karena infrastruktur kita kurang mendukung. Listrik kita masih kurang,
jalan-jalan kita masih sedikit. Pelabuhan, bandara yang masih tertinggal.
Oh ya, soal infrastruktur ini juga menurut banyak kalangan ada
hubungannya dengan jumlah penduduk, sehingga dikhawatirkan akan mubazir jika
dibangun dan tidak digunakan. Misalnya kalau dibangun kereta api, dengan jumlah
penduduk yang kurang, apa bisa dimanfaatkan? Menurut anda bagaimana?
Ketika Ambon tidak ada jalan dari lapangan terbang ke
kotanya sekitar 30 km lebih, waktu itu gubernur Maluku, yang saya kenal dekat
karena teman saya, mengajukan permohonan ke pusat untuk membangun jalan
menghubungkan bandara ke kota. Waktu itu, dari kota ke bandara dibutuhkan waktu
hamper 2 jam. Waktu itu jawaban Bappenas, belum cukup kenderaan di Ambon untuk
dibuatkan jalan seperti usulan tadi. Itu adalah cara berfikit terbalik.
Sekarang begini, pilih saja, yang mana sebenarnya duluan, telur atau ayam?
Kalau orang optimis, ya dia akan memilih membangun jalan. Kenderaan itu akan ada,
kalau ada jalan yang tersedia. Bagaimana mungkin orang beli mobil, kalau tidak
ada jalan yang ia akan lalui.
Anda selalu mengambil contoh di Cina, dan anda beberap kali ke sana.
Bagaimana kebijakan pembangunan mereka di sana?
Saya tahun 1970 ke sana. Saya temukan kondisi yang sangat
pemprihatinkan. Jalanan masih jelak, tidak ada fasilitas yang memadai. Saya
dalam perjalanan dari Gwangco mau ke Sincen, di tengah jalan saya mau buang air
kecil. Kami berhenti di sebuah distrik, yang saya lupa namnya. Ada 5 tower di
situ untuk pekerja. Toiletnya kotor sekali. Saya tidak jadi buang air, yang mau
dikeluarkan malah masuk lagi. Tapi hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama,
tahun 2007 saya kesana lagi, pembangunannya luar bisaa. Di tempat itu sudah ada
lima hotel berbintang yang dibangun.
Ceritanya pada masa reformai tahun 1989 di sana, pemerintah
memfokuskan pembangunan pada infrastruktur. Semua gubernur diperintahkan untuk
membangun jalan antar provinsi. Mereka mebangun jembatan, membangun listrik.
Kalau tidak ada uang, minta kredit di bank. Tapi ingat, tidak boleh bangun
kantor yang mewah-mewah. Semua pelayanan dsilakukan dengan fasilitas sederhana
saja. Tapi ketika saya kesana tahun 1994, apa yang terjadi? Ada 8 gubernur yang
dipenjara.
Kenapa, karena korupsi?
Bukan karena korupsi. Apa juga yang mau dikorupsi, sebab
tidak ada uang yang bisa dikurupsi. Mereka mebangun rumah jabatan, membangun
kantor mewah-mewah, ber-AC dan lain sebaginya. Di sana yang menyalahi aturan,
tidak tanggung-tanggung, dipenjara. Bahkan ditembak mati. Kantor
pemerintahannya di sana sangat sempit mungkin di dunia. Modelnya sama semua.
Nah, untuk membangun negeri ini dengan baik, rubah mindset. Lagi-lagi adalah
revolusi mental. Tidak bisa berfikir meminta, menunggu pemerintah memberikan
bantuan. Itu tidak menciptakan tantangan. Kita harus berani mengambil resiko.
Seperti di Palu ini, komoditas apa yang bisa dikembangkan di sini. Ini harus
digali.
Menurut anda?
Di sini setau saya tanahnya subur. Artinya, pertaniannya
bias berkembang baik. Tapi tidak bisa disamakan
antar wilayah satu dengan lainnya. Harus ada pembeda, sesuai dengan
karakteristik wilayahnya. Tidak semua harus kakao. Sebab tidak semua tanah bisa
ditanam kakao. Ada beberapa daerah bisa ditanam mente.
Bagaimana dengan pola pikir masyarakat kita yang cenderung ikut-ikutan
‘lata’. Kalau ada yang berhasil tanam cengkeh, semua tanam cengkeh. Begitu juga
dengan komoditas lain. Menurut anda bagaimana?
Nah itulah yang saya bilang revolusi mental. Saya mau kasih
contoh begini: dalam sederet rumah, salah
satunya membeli angkot, pete-pete. Kemudian di sebelahnya juga ikut. Dan begitu
juga dengan tetangga lainnya. Jadilah kelompok itu masyarakat yang berprofesi
sebagai sopir pete-pete. Lantas terjadi persaingan, akhirnya bating harga. Yang
rugi kan juga mereka sendiri. Nah untuk menghindari itu, harus ada komoditas
per wilayah. Tidak bisa seluruhnya sama. Dan kalau saya, jangan sampai
pemerintah member izin membuka lahan perkebunan Sawit. Bagi saya, ‘No’ Sawit. Kenapa?
Sawit itu punya pabrik yang mahal. Sawit itu tidak dimakan, harus
dipabrik. Kalau kau petik sekarang, 24
jam kemudian sudah busuk. Karena sawit itu perkebunan yang dibangun untuk
menguntungkan satu orang saja. Bukan
untuk rakyat. Harus 10 ribu hektar lahannya. Saya selalu mengkritisi perkebunan
sawit. Karena ini hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha besar. Misalnya di
Kalimantan Timur, di Bengkulu Selatan, masyarakat menanam sawit 1 hingga 5
hektar. Mereka kan tidak punya kemampuan untuk mengelola sendiri. Harus pabrik.
Akibatnya, mereka diperas, disuru antre, karena takut tidak dibeli sama
perusahaan. Kalau tidak dibeli, rugilah dia, karena akan busuk kalau lebih dari
24 jam tidak diolah. Kemudian muncul broker-broker yang menawarkan harga murah.
Mereka tidak bisa berbuat banyak, karena terkendala waktu. Broker, yang juga
banyak dari orang perusahaan itu bilang, kalau kau tidak mau jual dengan harga
yang mnereka tawarkan, tidak apa-apa. Tidak dipaksa. Tapi resikonya berat untuk
petani. Apa itu bakan pemerasan? Sawit ini memang bukan tanaman untuk
mensejehterakan rakyat.
Bagaimana dengan kakao?
Kalau kakao tanaman rakyat. Petani bisa memilih mau jual
kapan saja kakao-nya, tidak tergantung pada perusahaan. Bisa disimpan pada
waktu lama. Begitu juga dengan karet. Petani tidak ketergantungan dengan
pabrik.
Ini sedikit politis, apa anda yakin kebijakan Jokowi-JK nantinya bisa
jalan baik. Tidak dihambat oleh KMP?
Saya yakin tidak. Undang-undang kita berpihak pada
pemerintahan. Kan presidensial.
Yang terakhir, apa kesan anda ketika datang lagi ke Palu?
Saya tidak tahu pasti, apa yang membuat kota ini menjadi
tumbuh ramai begini. Saya sering datang ke Palu kalau ada urusan. Saya dengar
industri bawang gorengnya tumbuh, tapi perlu disentuh oleh pemerintah lagi biar
bisa meningkatkan daya saingnya. Saya pertama kali ke Palu sudah sejak umul 5
tahun, sekitar tahun 1949. Keluarga saya, kakek nenek saya di Wani. Saya tingal
di sana. Jadi kalau kami dulu mau ke Donggala naik kereta yang ditarik sapi. Asik
sekali, seru.