Sabtu, 18 Oktober 2014

Alwi Hamu: Pembangunan Infrastruktur Wilayah Timur tak bisa Ditawar lagi # Pengembangan komoditas harus dengan pendekatan kawasan



Waktu itu sudah tengah malam, ketika Alwi Hamu tiba di Hotel Palu Golden. Setelah landing di Palu pukul 20.00 Wita, ia langsung dijemput oleh beberapa kawan lamanya menuju kompleks Patra di Pasar Impres Manonda, milik ketua Lembang 9 Instutute Wilayah Sulteng, Amin Badawi. Ini adalah kesekian kalinya Alwi  datang ke Palu. Kedatanganya kali ini adalah untuk sebuah agenda yang tak kala penting dari urusan-urusan bisnis. Sebagai ketua umum Lembang 9 Institute, ia menjadi pembicara utama dalam acara Rembuk Nasional ke VII di Palu, pada Rabu 15 Oktober 2014 lalu. Acara yang digagas bebarapa lembaga non pemerintah tersebut membahas sejumlah agenda pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla seperti Tol Laut. Alwi yang meski dalam keadaan cukup lelah setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam dari Jakarta ke Palu, malam itu masih menyempatkan diri untuk berbincang bersama wartawan Palu Ekspres. Ia menerima kedua awak media ini di kamar 120 lantai 2 PGH, setelah beberapa rekannya meninggalkan ruangan. Dalam suasana tenang dan santai, Alwi bercerita tentang sejumlah gagasan lembaganya dan kondisi negara Indonesia dalam pendekatan pembangunan yang merata. Sudah barang tentu pembicaraan akan menyinggung pembangunan di kawasan timur Indonesia, yang selama ini masih banyak teringgal. Dalam pembicaraan, ia juga mencoba menggambarkan perbandingan-perbandingan antara Indonesia dan Cina dalam prospektif pembangunan. Untuk lebih jauh mengetahui apa yang mereka bincangkan, berikut petikan wawancaranya bersama wartawan PE, Mohammad Sahril dan Fotografer Ananda Rioeh.

Saya dengar gagasan tentang program Tol laut ini adalah buah pikiran dari lembaga yang anda pimpin. Bagaimana ceritanya?  
Tol laut itu adalah Traffic Operational Logistic, jadi jangan salah paham. Bukan seperti  jalan Tol yang ada di darat, berbayar. Bisa dikatakan ini kebijakan untuk mengatur lalulintas di laut. Jadi, nanti kapal-kapal akan berlayar pulang pergi dari Sabang samapi Merauke. Melewati sejumlah pulau-pulau yang ada di nusantara ini. Misalnya ambil barang dari Jakarta, singgah di Surabaya, Makassar, Palu, sampai ke Ambon dan Papua. Sampai di sana akan balik lagi ke ujung barat, di Sabang. Begitu terus. Sehingga ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah. Selama ini, ongkoslogistik kita dibayar dua kali lipat. Orang mengangkut barangnya dari Makassar misalnya,  ke pelabuhan mana saja menuju Papua, dari poin to point, menuju pelabuahan Sorong, pulangnya kosong. Karena tidak ada barang yang diangkut. Kalau lalulintas di laut ini lancar, orang mau muat Semen dari Makssar ke Sorong, tidak bayar dua kali lagi. Karena ada barang yang akan dibawa kembali dari sana. Tidak pulang kosong. Kalau Tol laut berjalan baik, biaya logistik kita akan lebih murah. Coba bayangkan, kita kirim barang dari Jakarta ke Cina, lebih murah dibanding dari Jakarta ke NTT. Makanya kita lebih memilih impor. 

Dengan kebijakan yang mempermudah akses dan menekan biaya logistik ini, apakah dengan begitu kita akan mengurangi import?
Apa yang mau diimpor? Kalau bahan pangan, kemungkinan tidak lagi. Tapi perlu diketahui bahwa kenapa kita terus mengimpor beras, gula dan bahan-bahan pokok lainnya, itu karena di sana harganya lebih murah. Pemerintahnya memsubsidi biaya produksi dari komoditasnya. Sehingga nilai jualnya lebih murah. Tapi menguntungkan bagi pemerintah, karena rakyat itu tidak cengang. Selama ini yang pemerintah kita lakukan hanyalah BLT, bantuan langsung tunai. Tidak ada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini kan akan menciptakan budaya masyarakat yang malas. Hanya menunggu BLT dari pemerintah. Kalau di luar itu, kerja dulu baru dibayar. Walaupun untuk membayar itu negara rugi. Tapi lebih baik begitu, daripada subsidi BBM. Yang disubsidi itu kan bukan masyarakat kecil. Orang pemilik mobil-mobil besar. Merekalah yang punya kenderaan dan banyak menggunakan minyak. Orang miskin ini apa, mereka hanya jalan kaki. Kalau pun ada orang kecil yang sudah mampu membeli motor, ongkos BBM-nya juga tidak seberapa. Paling 1 liter bisa makan 50 km. Tapi coba bandingkan dengan Mercy misalnya, 1 liter bisa hanya empat sampai 5 km. itu artinya, tetap hanya orang kaya yang menikmati subsidi BBM ini. Mereka di sana berfikir tangan di atas, bukan tangan di bawah.

Mestinya menurut anda, subsidi itu diarahkan pada sektor apa?
Karena untuk BBM sangat tidak berpihak pada rakyat kecil, maka yang mesti disubsidi itu adalah sektor produksinya. Masyarakat petani harus disubsidi pupuknya, ada jaminan pemerinta terhadap nilai jual hasil pertaniannya. Ini yang mesti diulakukan, sehingga kalau harga tidak stabil, mereka tidak merugi. Sebab ongkos produksinya sebagian sudah ditanggung oleh pemerintah. 

Kalau kita lihat kontribusi wilayah terhadap perekonomian nasional, wilayah Indonesia timur itu sangat rendah sekali. Sulawesi sendiri hanya 4,6 persen. Sementara Jawa 57,5 persen. Bagaimana ini bisa perlahan-lahan disejajarkan?
Tol laut ini kan bisa menghubungkan titik-titk ekonomi sehingga perputaran barang menjadi lancar. Harga-harga bisa ditekan. Dulu ada namanya PPSS, Perusahaan Pelayaran Sulawesi Selatan. Sekitar awal-awal kemerdekaan sistem pelayaran ini dibangun. Ini dikelola bersama oleh pemerintah dan swasta. PPSS ini secara teratur melayani pelayaran untuk wilayah Sulawesi dan sebagian indoneseia timur. Ada beberapa vider-vider, yang singgah di pelabuhan kecil yang menjadi tempat persinggahannya. Jadi dia berlayar dari Manado, singgah di Toli-toli, singgah lagi di Palu, di Mamuju atau Polmas, lalu ke Makassar. Itu barang-barang yang diangkur rata-rata hasil bumi. Semua barang-barang itu terkumpul di Makassar. Nah untuk diangkut ke Surabaya, terntunya menggunakan kapal besar. Waktu itu umumnya barang-barang untuk bahan baku masih diolah di Surabaya, bukan di Jakarta. Jadi nanti kapal yang datang ke Makassar itu, membawa barang-barang produksi. Sampe di Makassar, baru kapal-kapal PPSS ini yang sebarkan ke daerah-daerah tadi. 

Begitu juga dengan idenya sekarang. Jadi akan ada pelabuhan-pelabuhan untuk vider-vider, yang nantinya mengangkut barang-barang dari pelabuhan kecil, dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan besar. Misalnya di Papuan itu ada pelabuhan besar di Sorong. Itu yang akan menampung barang-barang dari daerah-daerah sekitar situ. Kan tidak mungkin kapal-kapal kecil ini yang akan membawa barang-barang menuju Makassar atau Surabaya. Sudah tidak zamannya. Masa kapal kecil dipaksa mengarungi samudera yang luas ini? Apa keuntungannya, yang pertama biaya logistik bisa lebih murah, perekonomian lokal bisa tumbuh, dan tentu industri bisa masuk.

Kebijakan ekonomi pemerintah sejauh ini masih bertumpuh pada sektor-sektor yang ada di darat, seperti tambang dan perkebunan skala besar. Bagaimana menurut anda, apakah ada alternatif lain?
Ada, agribisnis, kelautan, pariwisata. Sektor-sektor itu sangat potensial untuk dikembangkan. 

Selama ini, apakah sektor-sektor itu belum disentuh?
Sudah, tapi belum digarap secara baik. Ini harus diserahka pada swasta. Pemerintah tidak mungkin menangani  secara keseluruhan. Pemerintah cuman membimbing saja. Swastalah yang mengembangkan itu. Misalnya di Palu ini sudah banyak mal, itu kan swasta. Cuman ada satu hal yang perlu dikembangkan lagi oleh pihak swasta, yakni daerah tujuan wisata. Ini yang diperbaiki. Di sini cukup banyak. Misalnya Taman Nasional Lore Lindu, kepulauan Togean. Daerah-daerah itu sangat potensial dengan panorama alamnya. Saya pernah buat buku tentang Lindu itu. Teman saya dari Cheko datang melihat kawasan itu setelah membaca buku saya. Begitu dia datang ke Togean, dia buat foto seperti perahu terbang. Itu saking jernihnya air laut di sana. Perahu tenang berlayar di atas karang-karang, dengan ikan-ikan hias yang indah dan banyak ragamnya. Nah ini yang mesti diperhatikan dan dijaga oleh pemerintah.

Tapi belakangn sektor ini juga bisa terancam dengan kebijakan pertambangan dan perkebunan skala besar. Menutrut anda bagaimana?
Sektor tambang tidak bisa menjadi primadona. Kebijakan untuk mengolah lebih dulu bahan tambang di daerah penghasil, kebijakan membangun smelter ini, sangat baik. Kenapa, karena selama ini kita menjual tanah air. Tanah kita dikeruk sepenuhnya lalu diekspor ke luar negeri. Kalau kita olah di dalam negeri, harganya bisa meningkat dua kali lipat. Yang kedua, dia menciptakan lapangan kerja baru di daerah-daerah pertambangan. Itu yang perlu dipikirkan oleh pemerintah, memberikan lapangan kerja , bukan subsidi-sunsidi semacam tadi, BBM dan BLT itu. Di Cina seperti itu. Untuk mengurangi rakyat disubsidi, disumbang-sumbang, dibukakan lapangan kerja. Ini perlu perubahan mindset. Pemerintah Cina untuk mempekerjakan masyarakatnya, memberlakukan kebijakan begini; semua barang-barang yang diproduksi di utara, harus diekspor dari selatan. Untuk mengangkut barang-barang itu harus melalui kereta api. Otomatis ini membutuhkan tenaga kerja.  Dari segi bisnis, ini merugikan. Tapi pemerintah secara tidak langsung untung. Karena ini adalah upaya untuk membina masyarakat untuk bekerja, mendorong agar dia punya daya saing. 

Bagaimana dengan kita di sini?
Kita di sini, lebih memilih impor, karena biaya produksi kita mahal. Di tataran petani misalnya, untuk menghasilkan beras saja, itu lebih besar biayanya daripada harga jualnya. Makanya kita lebih cenderung impor. Petani kita tidak akan berkembang dengan pola seperti ini. Mestinya pemerintah mensubsidi ongkos produksi. Seperti di Thailand, pemerintah mensubsidi para petani, sehingga harga berasnya bisa bersaing di pasar Asia. Berasnya bisa masuk sampai di Indonesia dengan harga relatif lebih murah dibanding harga beras dalam negeri kita. Kita di sini potensinya besar. Untuk menciptakan garam sangat mudah. Musim panas, kita tamping saja air laut, dikeringkan adalam waktu tertentu, jadilah Kristal-kristal garam. Tapi apa kenyataannya sekarang, garam pun kita impor. Import itu memang menguntungkan, tapi hanya sesaat. Dalam jangka panjang tidak bisa diharapkan. Kita rugi, kita akan kehabisan. Sama dengan tambang itu. Selama ini, tambang itu hanya bikin kaya investor. Sebab bahan-bahan tambang kita diekspor keluar. Masyarakat kita yang di sekitar tambang itu tetap miskin. Tapi kalau dibangun pabriknya di daerah tambang, ini bisa meningkatkan ekonomi masyarakat.

Dengan dibukanya industry, saya khawatir masyarakat kita susah untuk terserap, sebab pendidikannya masih rendah sekali. Menurut anda?
Sebenarnya tidak juga. Industri itu kan membutuhkan banyak tenaga kerja. Dan levelnya juga beda-beda. Ada yang ahli, setengah ahli hingga pekerja. Kalau pendidikannya rendah, hanya tamat SMA, otomatis akan menjadi pekerja. Kan diserap juga dia dalam industri. Dan perlu diingat, 80 persen tenaga di industry itu dipenuhi oleh level pekerja tadi. Coba kita lihat bagaimana dengan TKI kita, kan banyak kerjanya menjadi buruh di luar negeri. Buruh tani, buruh kebun di Malaysia. Hanya di sini mereka gaga-gagahan pas pulang kampung. Kembali ke negara tempat dia bekerja, dia juga akan kembali sebagai buruh. 

Apakah nanti akan ada relasi positif antara kebijakan kita menumbuhkan industri dalam negeri, dengan pengurangan pengiriman TKI ke luar negeri?
Sementara ini memang mindset kita lebih cenderung bekerja di luar. Dulu orang Bugis bilang, lebih baik miskin di kampung orang, daripada setengah kaya di kampung sendiri. Kalau kita dianggap setengah kaya di kampung sendiri, dibilang “Eiii, siddi mi doinna”. Dia bekerja di luar negeri, pulang, kemudian belanja baju yang bagus-bagus, arloji yang mahal-mahal. Tapi pas pulang ke tempat negara dia bekerja, kembali pake baju ‘kutang’, pake celana kolor. Kembali menjadi pekerja. Inilah yang perlu dirubah. Inilah yang menurut Jokowi-JK revolusi mental itu. Tidak bisa tidak, ini harus dirubah. Coba lihat orang Cina, biar dia sudah punya uang banyak, masih tetap juga pake celana pendek. Kalau kita mana mau. 

Bagimana menurut anda dengan pembangunan di kawasan timur?
Sebenarnya tidak jauh berbeda antara kondisi masyarakat di Jawa sana dengan Sulawesi. Di sana juga masih banyak orang miskin. Di Banten, tadi pagi saya baca di korang, guru mengajar di sekolah yang dibangun seperti gubuk. Mengajar dengan papan tulis yang sudah robek-robek.  Tapi begini, di Indonesia timur ini, saya juga pernah mengusulkan dulu bahwa ia dikelompokkan dalam daerah tertingal. Sehingga perhatian pembangunan juga ada. Di timur ini banyak sekali mineral, bahan tambang. Tapi karena infrastrukturnya kurang, maka tidak ada industri yang mau masuk. Yang ada sekarang hanya perusahaan-perusahaan skala kecil. Kenapa, karena infrastruktur kita kurang mendukung. Listrik kita masih kurang, jalan-jalan kita masih sedikit. Pelabuhan, bandara yang masih tertinggal.

Oh ya, soal infrastruktur ini juga menurut banyak kalangan ada hubungannya dengan jumlah penduduk, sehingga dikhawatirkan akan mubazir jika dibangun dan tidak digunakan. Misalnya kalau dibangun kereta api, dengan jumlah penduduk yang kurang, apa bisa dimanfaatkan? Menurut anda bagaimana?
Ketika Ambon tidak ada jalan dari lapangan terbang ke kotanya sekitar 30 km lebih, waktu itu gubernur Maluku, yang saya kenal dekat karena teman saya, mengajukan permohonan ke pusat untuk membangun jalan menghubungkan bandara ke kota. Waktu itu, dari kota ke bandara dibutuhkan waktu hamper 2 jam. Waktu itu jawaban Bappenas, belum cukup kenderaan di Ambon untuk dibuatkan jalan seperti usulan tadi. Itu adalah cara berfikit terbalik. Sekarang begini, pilih saja, yang mana sebenarnya duluan, telur atau ayam? Kalau orang optimis, ya dia akan memilih membangun jalan. Kenderaan itu akan ada, kalau ada jalan yang tersedia. Bagaimana mungkin orang beli mobil, kalau tidak ada jalan yang ia akan lalui. 

Anda selalu mengambil contoh di Cina, dan anda beberap kali ke sana. Bagaimana kebijakan pembangunan mereka di sana?
Saya tahun 1970 ke sana. Saya temukan kondisi yang sangat pemprihatinkan. Jalanan masih jelak, tidak ada fasilitas yang memadai. Saya dalam perjalanan dari Gwangco mau ke Sincen, di tengah jalan saya mau buang air kecil. Kami berhenti di sebuah distrik, yang saya lupa namnya. Ada 5 tower di situ untuk pekerja. Toiletnya kotor sekali. Saya tidak jadi buang air, yang mau dikeluarkan malah masuk lagi. Tapi hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, tahun 2007 saya kesana lagi, pembangunannya luar bisaa. Di tempat itu sudah ada lima hotel berbintang yang dibangun. 

Ceritanya pada masa reformai tahun 1989 di sana, pemerintah memfokuskan pembangunan pada infrastruktur. Semua gubernur diperintahkan untuk membangun jalan antar provinsi. Mereka mebangun jembatan, membangun listrik. Kalau tidak ada uang, minta kredit di bank. Tapi ingat, tidak boleh bangun kantor yang mewah-mewah. Semua pelayanan dsilakukan dengan fasilitas sederhana saja. Tapi ketika saya kesana tahun 1994, apa yang terjadi? Ada 8 gubernur yang dipenjara. 

Kenapa, karena korupsi?
Bukan karena korupsi. Apa juga yang mau dikorupsi, sebab tidak ada uang yang bisa dikurupsi. Mereka mebangun rumah jabatan, membangun kantor mewah-mewah, ber-AC dan lain sebaginya. Di sana yang menyalahi aturan, tidak tanggung-tanggung, dipenjara. Bahkan ditembak mati. Kantor pemerintahannya di sana sangat sempit mungkin di dunia. Modelnya sama semua. Nah, untuk membangun negeri ini dengan baik, rubah mindset. Lagi-lagi adalah revolusi mental. Tidak bisa berfikir meminta, menunggu pemerintah memberikan bantuan. Itu tidak menciptakan tantangan. Kita harus berani mengambil resiko. Seperti di Palu ini, komoditas apa yang bisa dikembangkan di sini. Ini harus digali.

Menurut anda?
Di sini setau saya tanahnya subur. Artinya, pertaniannya bias berkembang baik. Tapi  tidak bisa disamakan antar wilayah satu dengan lainnya. Harus ada pembeda, sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Tidak semua harus kakao. Sebab tidak semua tanah bisa ditanam kakao. Ada beberapa daerah bisa ditanam mente.

Bagaimana dengan pola pikir masyarakat kita yang cenderung ikut-ikutan ‘lata’. Kalau ada yang berhasil tanam cengkeh, semua tanam cengkeh. Begitu juga dengan komoditas lain. Menurut anda bagaimana?
Nah itulah yang saya bilang revolusi mental. Saya mau kasih contoh begini:  dalam sederet rumah, salah satunya membeli angkot, pete-pete. Kemudian di sebelahnya juga ikut. Dan begitu juga dengan tetangga lainnya. Jadilah kelompok itu masyarakat yang berprofesi sebagai sopir pete-pete. Lantas terjadi persaingan, akhirnya bating harga. Yang rugi kan juga mereka sendiri. Nah untuk menghindari itu, harus ada komoditas per wilayah. Tidak bisa seluruhnya sama. Dan kalau saya, jangan sampai pemerintah member izin membuka lahan perkebunan Sawit. Bagi saya, ‘No’ Sawit.  Kenapa?  Sawit itu punya pabrik yang mahal. Sawit itu tidak dimakan, harus dipabrik.  Kalau kau petik sekarang, 24 jam kemudian sudah busuk. Karena sawit itu perkebunan yang dibangun untuk menguntungkan satu orang saja.  Bukan untuk rakyat. Harus 10 ribu hektar lahannya. Saya selalu mengkritisi perkebunan sawit. Karena ini hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha besar. Misalnya di Kalimantan Timur, di Bengkulu Selatan, masyarakat menanam sawit 1 hingga 5 hektar. Mereka kan tidak punya kemampuan untuk mengelola sendiri. Harus pabrik. Akibatnya, mereka diperas, disuru antre, karena takut tidak dibeli sama perusahaan. Kalau tidak dibeli, rugilah dia, karena akan busuk kalau lebih dari 24 jam tidak diolah. Kemudian muncul broker-broker yang menawarkan harga murah. Mereka tidak bisa berbuat banyak, karena terkendala waktu. Broker, yang juga banyak dari orang perusahaan itu bilang, kalau kau tidak mau jual dengan harga yang mnereka tawarkan, tidak apa-apa. Tidak dipaksa. Tapi resikonya berat untuk petani. Apa itu bakan pemerasan? Sawit ini memang bukan tanaman untuk mensejehterakan rakyat.

Bagaimana dengan kakao?
Kalau kakao tanaman rakyat. Petani bisa memilih mau jual kapan saja kakao-nya, tidak tergantung pada perusahaan. Bisa disimpan pada waktu lama. Begitu juga dengan karet. Petani tidak ketergantungan dengan pabrik. 

Ini sedikit politis, apa anda yakin kebijakan Jokowi-JK nantinya bisa jalan baik. Tidak dihambat oleh KMP?
Saya yakin tidak. Undang-undang kita berpihak pada pemerintahan. Kan presidensial. 

Yang terakhir, apa kesan anda ketika datang lagi ke Palu?
Saya tidak tahu pasti, apa yang membuat kota ini menjadi tumbuh ramai begini. Saya sering datang ke Palu kalau ada urusan. Saya dengar industri bawang gorengnya tumbuh, tapi perlu disentuh oleh pemerintah lagi biar bisa meningkatkan daya saingnya. Saya pertama kali ke Palu sudah sejak umul 5 tahun, sekitar tahun 1949. Keluarga saya, kakek nenek saya di Wani. Saya tingal di sana. Jadi kalau kami dulu mau ke Donggala naik kereta yang ditarik sapi. Asik sekali, seru.



Sabtu, 11 Oktober 2014

Pengusaha Tapi Tak Punya Uang Banyak # Terjun ke Bisnis Mal Karena ‘Celaka’



Karman Karim

Tidak sulit untuk bertemu Karman Karim. Ia selalu merespon siapa saja jika ingin bertemu dengannya. Sms maupun telepon, segera dibalas, seketika. Sederhana, supel dan cukup rendah hati sebagai sosok yang kebanyakan orang menganggap ‘bahwa ia kaya’. Walaupun, pria kelahiran Pinrang 19 Oktober 1958 ini menganggap ia hanya orang bisaa saja. Karman mengaku tak punya uang banyak untuk mewujudkan mimpinya, seperti membangun beberapa mal di Kota Palu. Sulit rasanya untuk diyakini bahwa Karman tak punya uang ketika membangun mal. Tapi kenyataanya, Mal Tatura Palu (MTP) bisa bertahan sampai sekarang sejak dibangun tahun 2005. Kemudian disusul lagi dengan kehadiran Palu Grand Mall (PGM) beberapa bulan lalu. 

Mimpinya besar, tapi hidupnya sederhana. Ia selalu berfikir untuk mewujudkan mimipimya, mempunyai aset besar triliunan rupuah. Mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang dalam usaha yang ia bangun. Tapi taukah anda siapa sebenarnya Karman, sebelum ia terjun sepenuhnya di bisnis property untuk membangun pusat-pusat perbelanjaan modern. 

Rabu malam kemarin (8/10), wartawan koran ini bertemu Karman Karim di cafe Toragila milik anaknya di pelataran PGM, setelah membuat janji sehari sebelumnya. Karman bercerita panjang lebar tentang bagaimana ia berproses hingga jadi seperti sekarang ini. Untuk mengetahui lebih jauh, berikut petikan wawancaranya bersama Mohammad Sahril. 

Sebelum seperti sekarang ini, tentu anda melalui proses panjang untuk mewujudkan mimpi-mimpi besarnya?
Ia, itu pasti. Saya dulunya advokat. Jadi dari mudanya itu saya bermimpi untuk menjadi advokad, yang dikenal dan bisa membantu banyak orang. Saya menjadi advokad sekitar 25 tahun. Di tahun 1999, saya pindah ke Jakarta. Saya merasa mentok sudah berkarir di Palu. Ibarat pangkat seorang tentara, hanya jadi kolonel terus kalau kita bertahan di Palu. Di Jakarta, saya berfikir. Di Palu, saya jadi advokad, penasehat bagi orang-orang kaya. Di Jakarta, yang minta bantuan pikiran saya itu juga orang-orang kaya. Terakhir saya berfikir, saya lihat cara-caranya jadi orang kaya ini tidak sulit. Karena saya yang kasih mereka masukkan, tanggapan untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Mereka jalankan, dan berhasil. Seharusnya saya juga bisa. 

Dari urusan hukum ke ekonomi, bisnis. Apa anda merasa tidak ada kesulitan?
Sebenarnya begini, orang hukum itu kerjanya bagaimana membantu orang keluar dari persoalan. Nah ternyata seperti yang saya ketahui, bisnis itu adalah kumpulan persoalan yang bisa diselesaikan secara cepat dan tepat, maka itu akan menjadi uang.  Misalnya sekarang, kau mau bangun mal dengan biaya Rp.150 miliar. Kan persoalan, karena tidak punya uang. Bagaimana kita pikirkan agar bisa punya uang sehingga mal besar ini bisa jadi? Dengan pengalaman bergulat dengan masalah, alhasil saya bisa menyelesaikan satu per satu, hingga mal ini bisa jadi. 

Anda tidak khawatir atau was-was dengan bisnis anda?
Apa yang dikhawatirkan. Saya merasa tidak punya apa-apa, sehingga tak takut kehilangan. Makanya saya berani melakukan hal-hal yang orang anggap gila sekalipun. Orang takut hilang itu, karena dia merasa punya. Saya ngga pernah punya, apa yang akan hilang?

Berpindah dari advokat ke bisnis tentu ada konsekwensi-konsekwensi yang harus diterima, bagaimana itu?
Saya beralih bukan karena ada masalah. Dengan menjadi advokad, saya tidak kurang uang. Satu jam bincang-bincang dengan klien, saya bisa dapat uang jutaan rupiah. Menyelesaikan perkara orang-orang kaya dengan nilai 10-20 miliar, bisa saja dalam dua tiga hari kita bernegosiasi, mereka sepakat berdamai, saya bisa dapat satu miliar. Uang ngga jadi masalah.

Kenapa anda memilih menjadi bisnisman?
Sebenarnya sederhana saja. Saya sempat berfikir untuk istirahat saja, karena rasanya semua sudah cukup. Untuk apalagi bekerja. Waktu itu usia saya sekitar 46 tahun. Cuman begitu pulang ke Palu, tiba-tiba pak walikota panggil untuk jadi direktur operasional Perusahaan Daerah. Saya pikir ini kesempatan, untuk menguji kemampuan saya. Saya pikir ini juga perusahaan daerah, karena saya tidak mau lagi cari uang. Saya anggap itu semacam pengabdian. Tapi saat itu Perusda dimulai dengan tidak ada modal. Saya waktu itu dengan pak Maman, direktur utamanya, cari uang sendiri untuk memulai gerakan Perusda. 

Dalam perjalanannya, pemerintah menganggap ini bisa dibiayai. Sementara dalam perjalanan saya di Perusda, tiba-tiba mal Tatura dianggap punya problem juga. Akhirnya saya diminta jadi direktur utama di mal Tatura. Saya terima tantangan itu, karena ada persoalan. Saya hobi dengan persoalan. Dan Alhamdulillah, terbukti  mal Tatura itu keluar dari masalah. Sampai sekarang dia sudah punya asset Rp.140 miliar. 

Yang paling berat masalah di mal Tatura waktu itu apa?
Saya begitu masuk, pelajari selama dua minggu, saya anggap tidak ada masalah yang berat. Itu bukan masalah sebenarnya. Kenapa orang lain menganggap itu masalah. Saya lihat bagus semua. Sistemnya dan manajemennya sudah ada.  Hanya yang saya harus lakukan adalah bagimana menutupi kebocoran. Saya pelajari lagi, dan tidak lama dapat soluasinya. 

Kalau dengan-dengar cerita di balik Mal Tatura itu, anda juga cukup berperan di awal-awal?
Saya tidak terlibat secara langsung. Teman saya, pak Maman dan pak Hidayat yang puny ide itu. Saya hanya benar-benar membantu saja. Tidak masuk dalam manajemennya. Makanya pas selesai, pak wali dan wawali minta saya tangani penuh saja mal itu. Saya langsung setuju, karena saya merasa dalam pekerjaan itu banyak sekali hal yang bisa dipelajari yang tidak dapat dinilai dengan uang. 

Di tahun itu, sekitar tahun 2005, tak banyak orang yang bermimpi akan ada sebuah mal di Palu. Tapi anda sudah memikirkannya dengan serius, bagaimana ceritanya?
Saya terlibat dalam pembangunan itu tapi bisa dikatakan hanya sebagai voluntir saja. Memang kebanyakan orang pesimis waktu itu. Bahkan ada yang berani bertaruh mau ‘potong tangan’. Saya menjadi lebih yakin, setelah banyak berdiskusi dengan mereka berdua. Alhamdulillah, mulai dari diskusi-diskusi dengan mereka, sampai mal itu berhasil dibangun, saya masih terlibat.

Setelah mal Tatura  jadi, ada wartwan senior, Alm. Nontji Haji Ali menulis berita dengan judul 3 orang gila membangun mal. Ini tulisan terbit 30 September 2006 saat mal Tatura diresmikan. Kami ada tiga orang kumpul-kumpul, saya, pak Hidayat dan pak Maman. Kami mau buka cafe, buntu mau pake nama apa, tiba-tiba ada wartawan yang nyeletup, “tulis saja, Toragila, tiga orang gila”. Akhirnya itu saja namanya. Kami tiga itu memang dianggap oleh wartwan adalah 3 orang gila.

Terus bagaimana dengan PGM ini?
Setelah selsai masalah di mal Tatura, saya dengar banyak sekali orang-orang yang bermohon mau bangun mal di Palu. Saya beritahu pak wali, bagaimana kalau dikasih saya saja, daripada ke orang lain. Pak wali bilang ambil uang darimana? Saya jawab santai, sudalah pak, Tuhan punya banyak uang. Kalau kita minta sama Tuhan, berapa besar pun Tuhan pasti kasih. Ya sudah, pak wali kasih izin. Begitu pak wali kasih izin, saya mulai cari teman. Kebetulan ada partner saya yang sejak awal sama-sama. Saya kasih tau dia, kita bangun mal dan saya yang akan mengelola. Saya yakinkan, ini bisa jadi dan saya yang tangani. Tapi terlepas dari semua itu, saya yakin ini bukan karena kemampuan, tapi kemauan Tuhan. Ini barang memang takdir, cuman memang ada upaya. 

Tadi bapak bilang, ada rencana mau istrahat saja karena sudah merasa cukup mapan di usia 46 itu. Ini masa mau terima tantangan lagi?
Ia, tapi ada cerita yang melatarbelakangi ini. Dulu saya pernah ketemu orang tua, dia kaya tapi sakit-sakitan. Saya bincang-bincang sama dia, saya bilang mau berhenti saja bekerja. Dia bilang jangan kau bunuh diri. Saya kaget. Dia cerita, karena dia berhenti bekerja sampe dia sakit. Siatuasinya sama. Tanpa bekerkja lagi, dia sudah tidak pusing. Uang masuk terus. Otaknya tidak berfikr lagi, fisiknya sudah tidak banyak bergerak, lebih banyak istirahat. Itu yang membuat dia sakit. Tapi itu saya belum percaya. 

Waktu di mal Tatura, saya anggap saya tidak bekerja lagi. Ibarat sebuah rel kereta, semuanya sudah tersedia, tinggal jalan saja. Siapa pun yang akan jadi direktur di mal itu, tidak pusing lagi. Karena sistemnya sudah ada, asal dia tidak keluar dari rel. Saya jadi santai-santai, tidak banyak mikir lagi. Akhirnya saya jatuh sakit. Kata dokter, tidak ada obatnya di Indonesia. Karena ada teman saya yang baik-baik, mereka yang atur semua biaya berobatnya. Selama 6 bulan, saya istirahat dan minum obat. Akhirnya sembuh. Dulu saya tidak bisa lama-lama aktifitas malam hari seperti sekarang ini. Nah saya ingat apa kata orang tua itu. Karena saya sudah alami.

Ada satu hal yang saya perhatikan, ketika anda sebagai advokat, bisa jadi itu adalah kesempatan bagi anda untuk membangun relasi. Bagaimana cara anda menjaga hubungan dengan klien?
Ketika saya menjadi advokat, saya membangun relasi dengan kepercayaan. Saya berani katakan bahwa saya bekerja dengan hasil 99 persen. Tidak mungkin seratus persen, karena hanya Tuhan yang sempurnah. Saya meyakinkan mereka dengan hasil pekerjaan. Ada satu hal yang saya mau pesan untuk anak-anak muda yang mau jadi pengusaha. Jangan pernah pikirkan uang. Karena begitu kau pikirkan uang, uang itu sama dengan merpati. Jinak-jinak merpati. Kalau didekati dia lari, didekati lagi, dia lari. Tapi begitu kau tidak perhatikan, dia datang sendiri.

Pengalaman seperti itu, apa contohnya?
Saya sudah ngalamin sekarang. Yang paling susah sekarang adalah bagaimana meyakinkan orang bahwa saya tidak punya uang. Tapi bagaimana orang bisa percaya, sementara ada yang bilang saya punya mal. Dan nantinya, ini sementara proses, saya akan bangun mal lagi di Poso. Karena saya punya target, dalam 5 tahun ini Insya Allah perusahaan yang saya pimpin sudah punya asset di atas Rp 1 triliun.  Tapi jangan disalahpahami bahwa 1 triliun itu uang besar. Bagi saya itu uang kecil kalau digunakan untuk membangun beberapa mal. Saya tidak butuh uang lagi. Sebab apa yang saya makan dan minum sudah cukup. Paling minum kopi satu gelas sehari, makan. Karena takut kolesterol, makan malam saya sudah batasi. Kan kalau sudah begitu, uang itu sudah tidak terpikirkan. Yang penting sekarang, kenapa saya sudah spesifikasi di mal, dan saya sudah menemukan resepnya  membangun mal tanpa uang. Suatu waktu nanti saya akan ceritakan dalam buku, bahwa membangun mal itu tak perlu uang. 

Tanpa uang, tapi bukan berarti anda tidak punya teman-teman yang bisa membantu? Bagimana anda meyakinkan orang atau teman-teman anda jika punya keinginan untuk membangun sesuatu, seperti mal misalnya.
Ini tidak mudah memang. Tapi saya tidak meyakinkan mereka secara langusung datang ke mereka. Mereka mengamati apa yang saya kerjakan. Selama menjadi advokat 25 tahun, boleh dikata hampir tidak ada klien yang kecewa. Saya bekerja maksimal, mereka lihat hasil kerja. Kalau ada klien, sudah sepakat saya bilang mari kita jalan. Saya tidak pernah katakana ke mereka bahwa saya harus digaji sekian, tidak ada patokan harga. Dan perlu diingat, supaya kau tidak kecewa, jangan terlalu berharap. Dan kalau kau mau memluai sesuatu, jangan dimulai sebelum selesai. 

Maksudnya?
Artinya, kalau kau sudah mulai bahwa kau yakin hal itu bisa selesai. Tapi itu dibangun dengan doa. Misalnya begini, saya mau bangun mal. Saya berdoa memohon sama Tuhan. Kita coba, anggaplah kita ngobrol sama Tuhan, tengah malam. Tuhan saya mau bangun mal. Tapi tolong Tuhan, karena saya tidak punya kekuatan. Kalau ini kau tidak bantu saya menjadikan sampai selesai dengan baik, halangi memang sebelum saya mulai memasang pondasi. Jadi tak ada ruginya, Tuhan sudah halangi ko’. Karena permintaan kita sama Tuhan itu, jangan pernah Tuhan izinkan saya untuk memulai, kalau Tuhan tudak menolong saya sampai saya menyelesaikan dan mempertahankan sampai semua berjalan baik. 

Jadi ketika Tuhan sudah mengizinkan saya untuk melakukan peletakan batu pertama, saya sudah itu anggap selesai. Kalau pun di tengah jalan ada problem, ini cuman perjalanan hidup saja. Karena Tuhan sudah mengizinkan saya untuk memulai, pasti tuhan bantu saya. Kalau ada orang bilang bahwa 99 persen itu adalah usaha, dan satu persennya adalah ketentuan Tuhan, kalau itu saya balik. 99 persen itu doa, hanya satu persen usaha. 

Anda sangat yakin betul dengan kekuatan Tuhan. Tentu anda punya pengalaman khusus tentang apa yang orang katakan sebagai spiritual experience?
Saya selalu menggantungakn diri pada Tuhan. Saya sakit, saya susah, semua saya gantungkan pada Tuhan harapan-harapan itu. Saya ditipu orang, saya ketawa-ketawa saja. Karena kalau saya ditipu 100 juta, saya yakin Tuhan akan menggantikan bisa sampai 700 kali lipat, karena itu janji Tuhan. 

Ada tidak pengalaman khusus, yang diluar campur tangan manusia?
Ada, banyak sekali. Misalnya begini; adakah yang mampu diyakinkan dengan logika jika kita mau membangun mal dengan biaya ratusan miliar, tanpa uang? Itu karena pertolongan Tuhan saja sehingga mal ini jadi. Kadang-kadang orang bilang; susah kita ini, situasinya sudah seperti telur di ujung tanduk. Saya bilang, kalau ada telur bisa diujung tanduk, itu telur sakti, tak usah takut. Kalau dia jatuh, saya tak takut. Karena sudah ada dua alternatif yang saya lakukan. Telurnya saya sudah masak, jadi sudah matang. Kemudian di bawah tanduk itu saya kasih kasur. Sehingga kalau dia jatuh, tidak terlalu parah. Masih bisa dimakan, kan sudah matang. Kenapa kita harus ragu dan takut? 

Jadi bisnis ini, harus banyak alternatifnya. Kalau sudah dimulai, harus sudah dipikirkan juga jalan keluarnya kalau ada masalah. Tapi kembali lagi pada soal spiritual tadi. Saya sangat yakin, dalam Islam ada namanya surat Ash-Sharh. Di situ dikatakan; Fa innama al usri yusran, Inna ma al usri yusran. Itu artinya, di balik satu masalah, ada dua jalan keluar. Itu janji Tuhan. Jadi kenapa kita mesti takut? Contoh nyata yang saya alami begini: banngunan PGM ini, dulu pas sudah mau selesai, sertifikatnya tiba-tiba hilang pas mau dibawa ke bank. Sudah setengah bulan dicari, tidak ketemu-ketemu. Sekretarisku pusing. Akhirnya saya berdoa kepada Tuhan. Kan memang ada doa untuk barang hilang. Di google ada itu. Saya coba lakukan waktu malam selama berturut-turut dua kali, dan Alhamdulillah berhasil. Besoknya, sekretarisku tiba-tiba senyum-senyum dengan senang hati mengatakan bahwa dia sudah temukan sertifikat itu. Saya juga hanya ketawa-ketawa. Dia bilang dia temukan hanya di atas dokumen-dokumen yang selama ini dia bongkar-bongkar. Saya bilang tidak perlu dipikirkan, itu sudah kuasa Tuhan.

Wah luar bisaa. Bagaimana caranya anda bisa yakin sekali?
Saya yakin karena memang terjadi. Tapi kan ini harus dilakukan dengan serius. Caranya, kurangi perbuatan dosa. Dan perbanyak memberi untuk orang yang membutuhkan. Tak usah ragu bahwa uangmu hanya sedikit, kalau perlu habiskan saja untuk bantu orang. Analoginya begini, kalau kau mau gelas kopimu selalu terisi, minum dan habiskan. Kalau kau tidak minum, sementara akan terus disisi, maka akan tumpah. Kan rugi, tak ada gunanya. 

Makanya tadi saya bilang, saya susah untuk meyakinkan orang bahwa saya tidak punya uang. Padahal memang saya tidak punya uang, karena kalau punya uang saya habiskan untuk bantu orang yang butuh. Saya tidak lagi ragu, kalau natinya saya sakit dan tak punya uang. Kan sudah terbukti, saya bisa berobat ke Singapura dan saya bisa sembuh kembali. Padahal saya tidak punya uang.

Sewaku anda bekerja sebagai advokat, ada tidak persoalan yang paling sulit? 
Hampir tidak ada yang sulit-sulit sekali. Saya beralih profesi, karena saya berfikir. Kalau saya hanya menjadi advokat, saya hanya membantu orang sedikit. Tapi kalau saya menjadi pengusaha, banyak orang yang saya bisa bantu. Memang saya tidak menggaji mereka secara langsung, tapi karena saya bangun mall, mereka mendapatkan lapangan pekerjaan. Kalau jadi advokat, semakin kita punya nama besar, klien-klien kita juga orang-orang besar. Kalau mereka diperiksa di kepolisian, pengadilan, otomatois kita juga ikut. Masa untuk orang besar yang kita minta mendampingi hanya bawahan. Kalau begini, saya tidak perlu masuk kantor selama satu bulan juga ngga apa-apa. Semua bisa dipantau lewat teknologi. Uang masuk bisa dikontrol lewat E-Banking. Kan enak..!

Oh ya, kenapa anda tertarik mau serius di mal?
Sebenarnya ini kecelakaan. Kan tiba-tiba saya di suruh ngurusin mal. Saya kan tidak mengerti bagaimana mengurus mal, awalnya. Karena saya sudah alami, ternyata mal ini dari uang sedikit bisa dapat uang besar. Dari tidak punya karyawan, bisa dapat seribu karyawan. Saya dibentuk dengan permasalahn di mal Tatura, saya pelajari, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa mengurus mal itu mudah. Mudahnya apa, kita bikin mal, gunakan orang pintar. Saya bangun mal ini, saya ke Jakarta, cari konsultan yang ahli bikin mal. Saya bayar. Begitu jadi, saya cari orang yang pintar mengelola mal, saya bayar. Jadi saya hanya memikirkan, duduk-dukuk saja. 

Jadi saya tidak punya keahlian. Ini semua karena mal Tatura. Karena Tuhan mentakdirkan saya menyelesaikan maslah mal itu, saya anggap itu ‘sekolahnya’. Ya tentu harus dicoba yang lebih besar dari itu kan? Saya bikin yang tiga kali lipat, ternyata bisa. Nah, dengan adanya ini, Alhamdulillah saya sudah punya trust. Saya bilang mau bangun mal mereka respon. Orang-orang besar dan kaya itu banyak yang menghubungi saya. Jadi lagi-lagi ngga perlu uang. 

Apa anda benar-benar tidak lagi mau terlibat dalam dunia advokat?
Saya punya impian untuk membuat sebuah lembaga bantuan hukum. Advokat-advokat yang direkrut memang yang tidak terlalu mementingkan uang. Kita bayar mereka untuk membantu banyak orang yang tidak punya kemampuan untuk berurusan dengan hukum. 

Sebentar, anda ini memang dari keluarga orang kaya?
Bapak dan ibu saya dua-duanya guru di Pinrang. Tapi waktu saya sekolah SMP di Makassar, teman–teman bilang saya banyak uang.  Karena kalau ibu saya kasih uang jajan seribu rupian, untuk biaya satu bulan. Seribu rupian ini, saya beli kelapa dari Pinrang karena kelapa mahal di Makassar. Kebetulan ada keluarga yang punya truk-trum muat beras, saya titip kelapa itu sama mereka. Besoknya pas sampe di Makssar, saya jaul kelapa itu. Untungnya bisa dua kali lipat. Karena itu saya bisa traktir teman-teman di kantin. Mereka senang. Jadi memang dari dulu saya suka traktir orang-orang. Kalau lagi musim durian, mangga, rambutan, saya jual juga. Jadi kalau bisaanya saya mampir dengan penjual rambutan, saya bisa ngobrol-ngobrol dengan mereka. Karena memang dulunya saya juga menjalani pekerjaan itu. 

Berarti memang dari kecil sudah ada talenta untuk bisnis?
Iya sepertinya begitu. Ibu saya, sekolahkan saya di Palu waktu kuliah, yakin kalau saya bisa bertahan dengan talenta yang ada itu. Di masa saya jadi ketua Senat di fakultas hukum Untad, saya juga menerapkan hobi bisnis itu. Misalnya begini; waktu itu ada film yang bagus. Kami borong karcisnya dan kami jual ulang dengan sedikit selisih harga. Kami dapat untung lagi untuk menambah uang kas organisasi. Jadi waktu itu, saya bisa menutupi utang pengurus periode sebelumnya, dan menyisakan uang kas untuk periode berikutnya. Waktu kuliah di Jakarta juga, begitu. Saya punya teman orang-orang kaya banyak. Tapi mereka malas-malas. Kalau ada buku wajib untuk dibeli, saya mengambil kesempatan. Kumpulkan semua duit mereka dan saya yang belikan buku. Di pasar Senen kan banyak buku, kesana saya beli bukunya. Dengan selisih harga, saya tidak lagi beli buku, dan sudah dapat keuntungan juga. 

Apa tidak mengganggu hobi dagang anda dengan urusan kuliah saat itu?
Terganggu tapi bukan urusan dagang. Saya masih kuliah dulu sudah bisa jadi pengacara, bisa mendampingi kasus. Inilah yang membuat saya jadi harus pindah ke Jakarta karena tidak selesai di Untad. Saya pertama kali mendampingi kasus orang yang mau dikenakan hukuman mati. Saya dampingi dia, turun lapangan dan akhirnya berhasil lolos dia dari jeratan hukum, karena memang terbukti tidak melakukan pembunuhan berencana. Waktu pindah ke Jakarta, karena hobi dagang dan ngurus perkara masih jalan. Ibu saya bisaa saya kasih uang, dia marah. Katanya dia tidak mau uang, dia mau saya selesaikan kuliah. Karena saya akan jadi contoh bagi 7 orang adik-adik saya. Katanya; bagaimana adik-adikmu bisa selesai kuliah kalau kau belum selesai. Akhirnya saya juga bisa selesaikan kuliah.

Oke, yang terakhir, apa anda masih punya rencana mau bangun mal lagi?
Ia, masih ada beberapa lagi. Tapi baru Poso yang fiks. Karena kita sudah selesaikan urusan tanahnya. Satunya ada di Baturaja, daerah Sumatera. Di sana ada mal yang macet di tawarkan ke saya. Saya bilang, itu makanan saya. Untuk beberapa mal di Sulawesi lagi, saya belum berani umumkan, karena masih belum selesai urusan tanahnya.






Bersepeda Bukan Sekedar Olah Raga, Tapi Bertualang # Manfaatkan Hutan Kota Palu jadi lintasan Cross Country




Andi Mohammad Tavip

Om Andi. Begitu ia akrab dipanggil. Di kalangan para pecinta olah raga sepeda di Palu, namanya tak asing lagi. Bukan hanya di Palu, dengan hobinya, ia banyak kenalan dengan para pecinta sepeda gunung di Indonesia. Ia hampir tak pernah luput  dari sejumlah kejuaraan sepeda cross country, jika ada kesempatan. Ia memag tak dilahirkan di atas sepeda, tapi setelah jatuh cinta secara total dengan dunia sepeda, kemana-mana jika ada pekerjaan keluar kota, ia selalu membawa sepeda kesayangannya. Di waktu luang, alumni Unismuh Palu ini mencoba menjejali rute-rute sepeda yang andalan bagi para pesepeda di daerah yang ia kunjungi. Di Palu, Ia bergaul lintas usia, tak memilih-milih di komunitas mana dia berada. Mulai dari komunitas Mountaian Bike (MTB), Raad Bike, Fixi hingga BMX. Rabu malam lalu, wartawan koran ini menyambanginya di markas yang menjadi tempat berkumpulnya Palu MTB. Dalam suasana santai, sambil ngopi-ngopi, ia berbagi cerita tentang pengalaman, impian dan upaya membangun komunitas pesepeda di lingkungannya.  Pria bernama lengkap Andi Muhammad Tavip ini tak lagi muda, tapi ia masih mempunyai sejumlah impian yang belum ia capai. Untuk mengetahui lebih jauh, berikut petikan wawancaranya berama Mohammad Sahril. 

Sejak kapan anda senang bersepeda?
Kalau ditanya sejak kapan, ya sejak SMP hingga SMA saya sudah bersepeda. Ke sekolah dan ke tempat-tempat bermain. Tapi kalau ditanya kapan mulai serius dengan hobi ini, kurang lebih tahun 2000 saya sudah mulai aktif bersepeda.

Maksudnya serius?
Begini. Sebelum total di sepeda, saya sudah menyelami beberaapa aktifitas olah raga yang semuanya cukup menantang. Karena saya memang suka tantangan. Dulu waktu sekolah, saya aktif ikut kegiatan pramuka. Saya senang bertualang. Dengan begitu, saya bisa menikmati apa yang saya inginkan. Waktu kuliah, saya senang olah raga panjat tebing. Setelah menikah, bekerja, saya main offroad, saya main motor trail. Nah, tahun 1999, saya jatuh sakit. Kelebihan cairan di paru-paru. Sempat diopname dan dirujuk hingga ke Bali. Kurang lebih sebulan saya harus mengalami perawatan. Setelah sembuh, ada tiga olah raga yang disarankan dokter. Pertama joging, renang, dan sepeda. Saya coba semuanya. Saya joging, saya renang, sorkling, diving. Tapi saya belum temukan kenyamanan dan terutama tantangan. Pas saya coba sepeda, saya merasa menemukan dunia saya yang sebenarnya. Saya merasa ada perubahan signifikan. Ya tadi, bertualang itu. Kenapa saya bilang serius, saya memenuhi segala peralatan sepeda dengan spisifikasi sesuai medannya. Saya menggunakan barang sesuai dengan peruntukannya. Saya berani habis-habisan di hobi ini.

Karena itu anda berani ‘berinvestasi’ di sepeda?
Gimana ya, anda bilang ini berinvestasi. Saya tidak mendapatkan keuntungan materil di dunia ini, kalau dalam konteks itu yang anda maksud investasi. Tapi kalau investasi kesehatan ia. Saya dapatkan itu. Lebih dari itu, saya mendapatkan dunia saya sendiri, dunia petualangan. Soal saya membeli sepeda-sepeda ini, memang karena saya mau nyaman menggunakannya. Saya mau bersepeda dengan tidak repot karena peralatan saya tidak memadai. Saya membeli sepeda road bike, kapan-kapan saya mau main ada. Saya beli seped MTB dengan berbagai jenis, kapan-kapan saya mau cross country, ada. Saya mau down hill, sepeda ada. Saya mau touring, sepeda untuk itu ada. Jadi saya tidak perlu repot.

Apa yang beda dari bersepeda di masa lalu, dengan sekarang?
Jelas beda. Dulu itu kebutuhannya paling hanya untuk ke sekolah atau main-main saja. Sekarang, dengan sepede-sepeda yang saya punya, lebih banyak waktu saya untuk menikmati asiknya bersepeda. Sepeda-sepeda kita jarang kelihatan di jalan. Karena memang kami memilih medan jalan tanah, main ke hutan-hutan, menyusuri jalan setapak. Itu asyik. Lagi-lagi saya mau bilang, sisi adventure-nya ini yang membuat saya betah dan nyaman. Umumnya sepeda kita yang kaya gitu.  Sekarang ini kan, tinggal uang yang ditanya. Setiap bulan ada jenis sepeda baru dengan seri-seri tertentu, yang bisa digunakan pada medan-medan khusus. Produsen sepeda tidak berhenti untuk malakukan inovasi. Sama dengan gadget, sepeda juga selalu mengupdate hasil inovasinya.

Bagimana anda bisa memiliki puluhan sepeda itu?
Ya, saya nabung. Setiap kali ada pemasukan, saya selalu menyisipkan sekian persen kalau saya ingin beli sepeda lagi. Saya kan petani, punya kebun dan tambak. Uang dari penghasilan itulah yang sedikit-sedikit saya sisipkan untuk memenuhi kebutuhan hobi ini. Alhamdulillah, beberapa sudah tercapai.

Di Palu ini, umumnya orang bersepeda selain berolah raga, banyak juga karena ikut tren. Yang benar-benar serius ke adventure tak banyak. Bagaimana anda memenuhi kebutuhan itu?
Ia, yang adventure memang tak banyak. Makanya kami, meski terbilang minoritas, tapi tetap eksis. Karena masih kurang inilah, kami terus berupaya untuk mendapatkan ruang kami dan membaginya ke masyarakat. Kita punya Hutan Kota. Dari beberapa track cross country yang kita punya di Palu, ini track yang bagi saya andalan. Kami buka sekitar tahun 2004. 

Bisa cerita bagaimana awalnya tentang Hutan Kota?
Jadi begini. Saya kan dulu lebih banyak main sepeda di luar. Kalau ada urusan luar kota, saya tetap ‘tenteng’ sepeda. Misalnya kalau ke Jakarta, saya mampir main ke Jalur Pipa Gas (JPG) di Tangerang. Di sana memang sudah dikenal track-nya. Begitu juga di Bogor, ada track Rindu Alam. Main sepeda naik turun bukit di perkebunan teh. Di Bali ada rute di Bedugul, Ubud. Di Makassar, ada track di Malino. Semua saya datangi. Akhirnya, suatu waktu kami main ke taman kota itu. Di belakang lapangan golf. Starnya itu dari depan lokasi STQ. Di dalam memang sudah ada jalan-jalan setapak. Biasanya ada penggembala. Untuk track, sangat variatif. Nanjak, turunan sampe reel coaster juga ada. Lokasi itu kurang lebih 50 hektar. Kami punya jalur itu sepanjang kurang lebih 9,8 kilo meter. Kalau total saya main, bisa sampe 2 jam untuk menyelesaikan semua rute secara penuh. Kami sering menjamuh teman-teman dari luar di rute tersebut. Terutama mereka yang singgah ketika touring melintasi Sulawesi. 

Terlepas anda orang Palu, apa yang anda rasakan setelah menjajal sejumlah track-track di luar Palu, dibandingkan dengan Taman Kota kita?
Terus terang, memang di luar itu lebih bagus. Karena mereka sudah lebih lama ada dan tertata. Di Balikpapan, hutan kotanya itu dirawat, ditata. Di JPG itu juga begitu, dikelola dengn baik. Di Bedugul juga. Bedanya hanyalah mereka mengelola. Kita belum. Tapi kalau bicara track, kita tidak kalah. Lintasan kita cukup panjang dengan berbagai variasi. Tikungan-tikungan kita cukup pendek dan menantang. Soal vegetasi dalam lokasi hutan kota itu, sangat khas dengan kondisi wilayah yang intensitas cahaya mataharinya lebih besar. Jujur kalau ditanya bagaimana menikmati view Kota Palu, asiknya dari atas sepeda. Saya sudah main offroad, main trail, mian paralayang. Tapi dengan sepeda lebih asyik. Karena kami tidak sebatas di dalam kota. Kami main sampe ke Matantimali. Itu dataran tinggi.

Apa anda optimis kalau hutan kota ini dikelola?
Pastilah. Itu aset kita, kalau pemerintah mau kelola dengan baik. Pasti masyarakat akan menikmatinya. Bisa jadi kawasan wisata dalam kota. Di dalamnya  bukan hanya untuk sepeda saja. Ada jalur-jalur untuk jogging dan hiking. Ini sangat menarik. Orang-orang yang datang ke sana bukan hanya olah raga, tapi juga bisa menikmati flora-flora yang khas untuk wilayah-wilayah kering seperti Palu. 

Oh ya, bagaimana dengan fenomena orang bersepeda di Palu? Walaupun belum banyak orang bersepeda ke tempat kerja atau ke sekolah. Apa anda punya harapan untuk Palu yang ramai dengan sepeda?
Terus terang  Palu ini semerawut. Sehingga orang belum merasa  nyaman untuk bersepeda ke tempat kerja atau ke sekolah. Kalau lalulintasnya ditata, angkot ditertibkan, beroperasi sesuai trayeknya. Saya yakin orang banyak yang mau bersepeda ke tempat aktifitasnya. Potensi kita besar. Kemarin waktu fun bike yang digelar pihak Korem untuk memecahkan rekor MURI, itu kurang lebih terkumpul 15.000 pesepeda. Sekitar 7000 itu dari Kota Palu. Kalau setengahnya saja mereka memilih untuk bersepeda ke tempat aktifitasnya, maka Palu ini tidak akan semerawut seperi sekarang ini. Lalulintas ditata baik, jalur sepeda dibuatkan khusus. Saya yakin ini bisa, asal pemerintah mau.

Bagaimana kalau digalakkan dalam skala kecil, seperti momen Minggu untuk car free day?
Kemarin kami sudah sempat bicarakan. Waktu acara fun bike minggu lalu, saya coba Tanya pak Danrem dan ketua ISI, kemungkinan bisa kita laksanakan car free day di Jalan Samratulagi hingga ke Taman Gor. Minggu lalu saya main sepeda dengan teman-teman fixi di anjungan pantai  Talise, lumayan banyak yang datang main. Artinnya kemungkinan itu besar. Dari hasil bicara-bicara kita kemarin, rencananya bulan depan mau diadakan. Tinggal bagaimana kita sama-sama turun tangan. 

Anda membuat komunitas, dan mencoba melahirkan atlit-atlit sepeda, bagaimana itu?
Ia, saya sebenarnya tidak mau hanya main sendiri. Orang bilang ‘beronani’ dengan hobi sendiri. Saya bangun komunitas ini agar saya bisa berbagi kesenangan bersepeda dengan teman-teman. Di komunitas ini, kami juga punya anak binaan untuk kelas  SD dan SMP. Sesuai  umur dan postur,  mereka main BMX. Kami buatkan mereka event, penuhi peralatan sepeda mereka. Mengajarkan mereka bagaimana bersepeda yang baik, terutama soal keamannya. Kami berharap, aka nada anak-anak Palu yang bisa dikenal namanya di dunia sepeda.  

Saya dengar Anda juga membuat rumah singgah bagi pesepeda touring, bagaimana ceritanya?
Oh iya. Beberapa tahun terakhir, memamng banyak yang suka jalan touring melintasi daerah kita. Makanya dengan melihat fenomena itu, saya berinisiatif untuk membuka rumah singgah ini. Mereka yang kebetulan melewatu Kota Palu, bisa mampir istirahat barang beberapa hari. Kalau mau perbaiki sepeda, kami bisa bantu peralatan. Tempat tidur kami siapkan. Hitung-hitung bisa membantulah, walaupun pelayananna alakadarrnya. Hanya memberi mereka seteguk air putih saja itu sudah lumayan bagi mereka. Biasanya, kalau mereka cukup waktu, kami ajak main ke Hutan Kota. Kami punya semacam pernyataan ke mereka, kalau main ke Palu, belum main sepeda di Hutan Kota, berarti belum main ke Palu namanya.  Saya berharap, seperti juga yang saya lakukan ke teman-teman, mereka yang mampir itu, membawa cerita bahwa di Palu juga punya arena main sepeda cross country. Walaupun rata-rata mereka mengaku bahwa jalur kita sangat ekstrim. Oh iya, ada satu orang kawan kita tahun 2012 kemarin kebetulan touring dan melintas di Palu. Namanya Devin, dia itu atlit sepeda balap. Tapi pas kita ajak main, angka tangan dia. Jalurnya gila katannya.

Apa rencana besar yang anda mau lakukan dalam bersepeda ini?
Seperti juga kebanyakan orang yang suka bersepeda, saya punya impian untuk mengelilingi Indonesia dari atas sepeda. Saya mau touring. Tapi sekarang belum, karena saya masih punya beberapa tugas-tugas rutin di pagi hari. Anak-anak saya masih ada yang SMP, SMA. Kalau mereka sudah bisa mandiri, sudah kuliah. Saya akan ambil waktu panjang untuk touring. Itu mimpi besar saya.

 
Lagi Beraksi