Ir. Nahardi, MM.
Kepala Dinas Kehutanan Sulteng
Setiap orang, punya cerita dalam hidupnya.
Mereka memilih di antara banyak pilihan untuk menentukan menjadi apa mereka.
Profesi, bakti dan pengabdian menjadi penanda yang membuat mereka dikenal
sebagi sebuah sosok. Banyak cerita yang bisa menjadi bahan pelajaran. Manusia
begitu istimewa. Karena itu, para ahli psikologi menyatakan manusia adalah
mahluk yang unik. Ketika orang-orang di waktu menjelang hari raya Idul Fitri
mudik bertemu keluarga di kampung, Nahardi justeru mencoba terus mendekatkan
diri dengan memilih berumroh. Ini sisi lain yang terbangun dalam diri seorang birikrat daerah
seperti Nahardi. Di usianya yang tak lagi muda, ia sudah meluangkan bayak waktu
untuk Sulteng. Sejak 1984, ia sudah bekerja layaknya abdi negara lainnya.
Hiangga hari ini, ia tetap konsisten dimasa kerjanya selama 30 tahun. Menjadi
rimbawan yang mengabdi untuk kelestarian hutan dan kemaslahatan ummat.
Rabu (3/12) kemarin, ia menyempatkan waktu
berbincang bersama Palu Ekspres di ruang kerjanya. Ia berbagi cerita tentang profesinya. Ia
memberi pandangan-pandang tentang bagaimana posisi sektor kehutanan dalam
bingkai pembangunan daerah. Untuk mengetahui lebih jauh, berikut petikan
wawancaranya bersama Reporter Mohammad Sahril.
Apa potensi sektor kehutanan kita yang bisa menjadi
andalan untuk meningkatkan PAD?
Kalau bicara potensi kehutanan, bicara soal
kayu misalnya, kontribusinya tidak terlalu besar. Potensi terbesar hasil hutan
kita, yakni hasil hutan non kayu. Kita memiliki potensi rotan yang cukup
banyak. Wilayah di kawasan Indonesia Timur yang mempunyai potensi rotan
terbesar adalah Sulteng. Bahkan kita menjadi penyuplai kebutuhan rotan nasional
nomor satu. Di samping itu, jenisnya juga cukup banyak. Tapi yang termanfaatkan
itu jumlahnya sangat sedikit. Karena itu, dibutuhkan kerjasama dengan
lembaga-lembaga penelitian, untuk melakukan riset sehingga potensi yang besar ini bisa
termanfaatkan. Kita punya lebih dari 20 jenis, tapi yang dimanfaatkan tak lebih
dari lima jenis. Kalau ini bisa dikelola dengan baik, tentu akan berdampak
terhadap nilai tambah bagi masyarakat sekitar hutan. Kita juga punya potensi damar,
tanaman obat dan lain sebagainya. Tapi belum sepenuhnya bisa dikelola. Kalau
soal pemanfaatan kayu, ini juga ada kaitannya dengan iskusi-diskusi beberapa
tahun belakangan, tentang emisi karbon. Jadi hutan menjadi sangat penting untuk
dijaga. Pemanfaatannya pun harus dibatasi, terutama penggunaan kayu.
Bagaimana dengan usaha-usaha lain seperti hutan tanaman?
Di Sulteng, alhamdulillah cukup berpotensi
untuk hutan tanaman. Terutama untuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kita memiliki
kawasan yang sudah dicadangkan oleh kementerian kurang lebih 23 ribu hektar.
Yang sudah diusahakan oleh masyarakat sekarang ini mencapai 8 ribu hektar.
Cuman ini memang ada kendala-kendala sedikit untuk perizinan. Saya pikir ini
perlu dilakukan semacam deregulasi ke daerah. Supaya proses perizinannya tidak
terlalau panjang dan lama. Sehingga masyarakat cepat mendapatkan izin dan bisa
segera mengelolanya. Sampai hari ini, peraturan yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat, masih sepenuhnya perizinannya di pusat. Kita berharap,
dengan pemerintahan yang baru ini, ada penyederhanaan perizinan. Karena ini
juga salah satu titik penghambat pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi. Padahal kita
paham bahwa perekonomian rakyat itu yang paling tahan terhadap goncangan. Kalau
ini baik, bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dan
tentu mengurangi kemiskinan.
Selain itu, usaha-usaha yang juga bisa meningkatkan
perekonomian masyarakat, apa lagi?
Kemarin kita bersama-sama dengan unit pengelola
DAS Palu-Poso, mencoba mendorong bagaimana pengembangan Hutan Desa (HD) di
Kabupaten Sigi, di Desa Namo Kecamatan Kulawi. Hutan ini dimanfaatkan oleh
masyarakat, kemudian dibangun kemitraan dengan usaha-usaha yang bisa menampung
hasil hutan mereka. Alhamdulillan, sudah ada MoU antara masyarakat dengan
pengusaha-pengusaha yang bisa membantu mereka. Tentu bukan hanya di sana. Kita
berharap ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan di
daerah-daerah lain di Sulteng. Tapi, usaha-usaha seperti ini tidak sesederhana
apa yang kita bayangkan. Diperlukan alur birokrasi yang memang berpihak terhadap kepentingan rakyat. Tidak
sekedar statement-statement saja, tapi harus diwujudkan kewenangan-kewenangan
itu kepada daerah. Selama ini kan semua perizinan selalau ke pusat. Kita paham,
memang ini adalah upaya hati-hati. Tapi janagn sampai karena terlalu hati-hati,
jadi tidak jalan program-program pemberdayaan ini. Yang terpenting sebenarnya
bagaimana pusat memberikan aturan main dan standar operasional prosedur. Saya
pikir kalau itu sudah diatur, kita juga takut untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Justeru karena kehat-hatian kita selama ini, membuat masyarakat menjadi
melawan. Dia menjadi berani karena tak ada pilihan. Mereka ingin melanjutkan
hidup hari ini, mencari nafkah untuk hari ini. Tanpa harus menunggu proses yang
panjang.
Kalau usaha-usaha kehutanan yang berbasis industri, di
Sulteng memang masih ada?
Tampaknya usaha-usaha berskala besar
memang mengalami berbagai
hambatan-hambatan. Kita di sini mempunyai 14 perusahaan yang memiliki izin
untuk pengelolaan kayu. Tapi hampir semuanya tidak beroperasi. Seperti mati
suri. Karena itu, kita juga mendorong pemerintah pusat untuk berkomitmen
melakukan penertiban secara baik terhadap mereka-mereka (perusahaan) yang
‘memasung’ sumber daya alam kita. Tidak bisa memberi kontribusi apa-apa kepada
kita dalam hal pertumbuhan ekonomi, karena tidak ada aktifitas yang mereka
lakukan. Ya, diberi sangsilah. Kalau perlu dicabut izinnya. Sehingga
mitra-mitra usaha yang lain memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan
investasi. Beberapa perusahaan yang memiliki izin penguasaan lahan begitu
besar, tapi tidak melakukan apa-apa, bagi saya ini merugikan daerah. Tidak ikut
berakselerasi dengan pertumbuhan ekonomi daerah, untuk apa kita pertahankan. Mereka
ini sama dengan penghambat pertumbuhan ekonomi daerah.
Terkait dengan izin pertambangan di wilayah hutan, yang
di sisi lain juga bertentangan dengan konsep kelestarian. Apalagi kan kita
kahu, bahwa industri tambang cukup ekstraktif dan jarang melakukan kegiatan
reklamasi di bekas areal tambang mereka. Bagaimana pandangan anda?
Memang ini cukup dilematis. Di satu sisi kita
terus mengampanyekan pelestarian hutan, tapi di sisi lain kita juga harus
menghormati regulasi-regulasi yang berlaku, misalnya tentang UU sumber daya
mineral. Dalam aturannya cukup jelas dan baik. Setiap kegiatan harus diikuti
dengan kegiatan reklamasi. Tapi kenyataannya di lapangan tidak seperti itu.
Tidak seindah apa yang kita bayangkan. Tapi ada hal yang saya pikir baik dan
menguntungkan dengan peraturan yang baru di tahun 2014, yang mengharuskan
perusahaan tambang membangun smelter di wilayah penghasil mineral. Ini akan
menguntukan daerah dan terutama bisa menyerap tenaga kerja lokal. Di satu sisi
kita bisa melakukan penghematan dan bisa memberi nilai tambah pada daerah.
Memang kebijakan ini, hanya bisa diterima oleh industri-industri yang
benar-benar mempunyai komitmen besar, sehingga bisa bertahan.
Bagaimana dengan keberadaan perkebunan skala besar yang
ada di Sulteng. Ini didominasi oleh sawit. Dan kita tahu bahwa sawit adalah
sebuah koorporasi besar, sehingga membutuhkan laus lahan yang juga besar.
Menurut anda?
Saya kira kita butuh investasi. Tapi kita juga
perlu memberi keseimbangan terhadap usaha-usaha yang berbasis masyarakat. Sawit
tidak dilarang. Tapi bagaimana masyarakat di wilayah sekitar bisa mendapatkan
manfaat langsung, ini yang perlu diperhatikan. Dia tidak hanya menjadi pekerja.
Kalau perlu dia bisa menjadi bagian dari usaha korporasi itu. Mereka juga harus
diberi ruang agar bisa memikirkan usaha itu kedepannya. Tapi kalau semua
kewenangan diberikan pada korporasi, ini juga akan berpeluang terhadap konflik.
Kita sudah banyak mendengar kejadian-kejadin di masyarakat seperti yang terjadi
di Sumatera, antara perusahaan dengan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah,
dalam hal ini yang memiliki kewenangan untuk memberi izin lokasi dan sebagainya,
bisa melihat lebih jauh kedepan untuk kepentingan masyarakat kita. Mungkin hari
ini tidak menjadi persoalan, tapi sepuluh atau dua puluh tahun kedepan bisa
menjadi persoalan. Kita bisa belajar dari Buol. Di sana itu ketika
perusahaan-perusahaaan besar masuk, belum menjadi problem soal lahan. Tapi
dalam kurun waktu dua puluh tahun kemudian, atau bahkan belum sampai, sudah
banyak muncul konflik-konflik tenurial. Masyarakat butuh lahan, tapi wilayahnya
terbatas dan lahan tidak mungkin bertambah. Sementara sebagian besar sudah dikuasai
perusahaan-perusahaan. Ini terjadi, karena memeng tidak dirancang sejak awal.
Karena itu, pemerintah daerah kabupaten kota, sejak awal harus menganalisis ruang-ruang
yang mana untuk investasi, yang mana untuk rakyat. Dalam membangun, kita butuh
dua-duanya. Kita butuh investasi, kita butuh juga penguatan di tingkat
masyarakat.
Bagaimana mengelola lahan untuk menghindari kesalahan
pemberian lahan. Misalnya di Parigi Moutong, pemerintah memberi izin lahan
perkebunan sawit, arealnya sampai masuk di kawasan lindung, cagar alam Pangi
Binangga.
Memang sering terjadi seperti itu. Karenanya
pemerintah sekarang sudah mengeluarkan kebijakan tentang one map policy. Kebijakan satu peta ini, untuk menghindari salah
tafsir dan salah ukur seperti yang dilakukan sekarang ini. Kita sudah akan
menggunakan peta standar. Memeng banyak teman-teman yang masih menggunakan peta
yang tidak valid. Skalanya terlalu besar, sehingga inforimasi geo spasialnya
juga tidak valid. Sementara kalau kita bicara informasi geo spasial, ini sangat
dinamis. Setiap waktu keadaan di lapangan mengalami perubahan. Kesalahan
pengukuran satu centi saja di peta, kalau menggunakan skala yang besar,
misalnya satu banding 500.000, kan jauh
penyimpangannya di lapangan. Makanya banyak yang masuk dalam kawasan seperti
tadi. Atau bisa jadi tumpang tindih dengan kawasan lain. Jadi sekarang, kita
terus mendorong bagi semua instansi di pemerintah provinsi maupun kabupaten,
menggunakan kebijakan satu peta ini. Kita sudah memulai sebenarnya. Kemarin kan
kita sudah punya peta tata ruang yang baru, setelah hasil verifikasi dari
pelepasan kawasan. Jadi semua informasinya terbaru dan bisa menjadi acuan.
Terkait perizinan, mereka juga harus terstandar petanya. Terutama skalanya.
Kita sarankan ke teman-teman kabupaten kota, untuk menggunakan skala peta yang
lebih kecil. Misalya 1 banding 50.000 atau 1 banding 25.000. Sehingga
kenampakan spasialnya di peta itu sudah semakin jelas, dan potensi deviasinya
juga tidak terlalu tinggi.
Setiap beberapa tahun, ketika diidentifikasi, kita harus
melepaskan kawasan hutan. Karena sudah menjadi wilayah pemukiman. Ini kan
menjadi dampak pertumbuhan baik secara demografi maupun ekonomi. Bagaimana
menurut anda?
Kalau kita bicara soal demografi, saya pikir
ini masih cukup tinggi. Kalau tidak salah, data statistik untuk pertumbuhan
kita 1,14 persen per tahun. Ini bisa menjadi sumber ancaman juga. Karena itu
memang, optimalisasi dan pengelolaan pemanfaatan ruang ini harus dilakukan
dengan baik. Hutan kita sebenarnya masih cukup banyak. Tapi masih dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan seperti yang saya bilang tadi. Misalnya di Lore Utara,
banyak lahan yang masih dalam penguasaan perusahaan dalam skala besar. Padahal
itu bisa dimanfaatkan oleh rakyat untuk kepentingan ekonomi mereka. Memang kita
tidak bisa menghindari laju pertumbuhan penduduk. Tapi bisa disiasati, karenaa
lahan kita tidak pernah bertambah. Makanya optimalisasi tadi. Terutama terkait
produktifitas lahan. Lahan yang sedikit, tapi bisa memproduksi hasil yang
besar. Ini juga tentu harus disentuh dengan teknologi. Misalnya prouksi padi
kita sekarang 15 ton, harus ditingkatkan sampai 12 ton, tanpa harus memperluas
lahan.
Bagaimana soal koordinasi antar penerintah sendiri.
Sepertinya ini punya masalah tersendiri dalam iklim otonomi sekarang.
Bagi saya, kalau bicara koordinasi ada
kesalahan mewarisi sebuah instrumen kebijakan. Ada pemahaman yang keliru,
ketika era otonomi ini dimulai. Seolah-olah antara pemerintah kabupaten dan
provinsi itu tidak ada kaitan. Ada yang memahami seperti itu. Padahal tidak
begitu semestinya. Dalam prosesnya, sebenarnya harus saling bekerjasama.
Untunglah dalam UU nomor 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah, beberapa
sektor strategis sudah diatur sebagai kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi. Tidak lagi dibagi dengan pemerintah kabupaten. Misalnya
soal perizinan terkait sumberdaya mineral, kelautan, kehutanan, ini sudah
diberikan ke provinsi. Ini dijelaskaan pada pasal 14 UU tersebut. Karena ini
diangap sangat istrategis, sehingga selama ini banyak pihak yang menjual murah
kepada investor. Padahal kita harus berfikir lebih jauh, agar ini bisa
diwariskan kepada generasi kita berikutnya. Jadi kita tinggal menunggu
peraturan pemerintahnya lagi. Undang-undangya sudah ada. Mudah-mudahan ini bisa
menjadi peluang bagi kita untuk menata sumberdaya alam kita yang kaya ini.
Anda yakin keberadaan UU ini bisa menjadi peluang SDA
kita bisa termanfaatkan dengan baik. Kita bisa terhindar dari situasi-situasi
seperti sebelumnya?
Tentu kita harus optimis. Urusan mengelola
negara dan kekayaannya ini tidak bisa kerja masing-masing. Kemarin kan terjebak
dalam pemahaman yang keliru tadi. Bukannya membagi peran, malah menganggap
mereka paling berwenang untuk mengatur wilayahnya sendiri. Ada ungkapan; “Saya
kan dipilih oleh rakyat saya. Ada hal apa anda mau mencampuri urusan dalam
rumah tangga kami” begitu yang selalu kita dengar. Kan tidak boleh seperti itu.
Pusat melakukan apa, provinsi melakukan apa, kabupaten melakukan apa. Mestinya
kan harus membagi peran. Padahal UU tahun 2007 tentang pembagian kewenangan
pemerintahan pusat dan daerah sudah jelas diatur. Tapi kan ini yang sering
diindahkan. Karena semangatnya sudah terlajur mengacu pada konsep otonomi yang
salah tadi. Memang kalau soal presepsi bisa berbeda-beda. Tidak mungkin sama.
Tapi ada hal yang sifatnya universal, yang bisa jadikan bahan berfikir untuk
apa ini kita lakukan. Ini yang nantinya bisa menggiring kita berfikir untuk
kepentingan bersama dan untuk masa akan datang. Kalau kita baca semua
undang-undang yang ada, semua bertujuan pada kemakmuran rakyat.
Selama
anda berkarir di instansi kehutanan, apa yang anda anggap perlu diperbaiki?
Tantangan utama bagi kita sesungguhnya adalah
bagaimana melakukan pengelolaan birokrasi ini. Saya sering mengatakan ke
teman-teman di pusat. Semakin baguskan kita ini melaksanakan amanah ini? Ini
terkait dengan rasa kepemilikan. Seolah-olah kalau bicara tentang hutan, kita
hanya menjadi ‘penjaga kebun’ saja. Selagi pusat masih mengangap kita di daerah
seperti itu, semuanya akan sulit. Kedepan kita berharap, dengan pemerintahan
yang baru, dengan membangun sinergitas pemerintah pusat dan daerah. Kita
berharap ada kesetaraanlah antara pusat dan daerah. Bukankah sudah ada gubernur
sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah? Tapi pusat tidak mendelegasi
seperti itu. Kita mau bangun jalan saja, kalau wilayahnya masuk kawasan hutan,
harus minta izin pusat dengan seretentetan birokrasinya yang berbelit-belit.
Contohnya saja dengan Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu. Masalahnya
terjadi mulai tahun 2001, baru bisa
diselesaikan tahun 2014. Ini karena semua urusannya harus ke pusat. Mereka di
Dongi-dongi sudah dienclave, artinya wilayah yang mereka tempati sudah
dilepaskan dari kawasan hutan, sudah menjadi area pemanfaatan lain.
Tapi apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan
memperluas wilayahnya?
Ini kan soal pendekatan yang harus dilakukan.
Mereka harus menjadi bagian dari kita, untuk menjaga hutan. Kita kan tidak bisa
mengontrol mereka. Keberadaan kita berbeda. Memangnya kita mampu mengawasi
mereka siang dan malam? Maka ini perlu adanya upaya persuasif kepada mereka, agar
mereka juga mempunyai tanggungjawab terhadap hutan. Tapi begini, kalau kita
mampu menyediakan lapangan kerja kepada mereka, pasti mereka tidak masuk hutan.
Memang slogan ‘hutan lestari dan masyarakat sejahtera’ ini tidak semudah apa
yang kita bayangkan. Rasanya agak sulit ini akan berjalan paralel, kalau kita
tidak memberi pembagian tugas seperti apa yang saya bilang tadi. Kalau urusan
yang bisa dieksekusi di daerah, kenapa harus menunggu pusat. Kita tidak bisa
hanya mengatakan ini tidak boleh, itu tidak boleh. Masyarakat punya kehendak
yang sangat sederhana, hanya butuh makan. Kalau orang sudah lapar, memang bisa
ditahan-tahan? Rasanya mustahil kalau urusan SDA ini hanya menjadi
tanggungjawab pemerintah, tanpa melibatkan unsur masyarakat.
Kemarin, saya sempat diundang oleh pemerintah
Jerman. Kami diperkenalkan dengan wilayah-wilayah mereka yang 300 tahun lalu
rusak, kemudian dihutankan kembali. Kita juga mendatangi sebuah wilayah, yang
lapangan kerjanya tidak seimbang banyaknya dengan penduduknya. Jadi kesimpulannya,
kalau lapangan kerja cukup, pasti masyarakat tidak merambah hutan.
Ok. Ini pertanyaan lebih personal. Umunya orang senang
bekerja dengan hobinya, apa juga anda demikian?
Saya sudah memulai karir di instansi kehutanan
sejak tahun 1984, sampai sekarang berarti sudah 30 tahun. Persoalan hobi, itu
sangat relatif. Saya awalnya memang sarjana kehutanan dan sampai sekarang
bekeraja di instansi ini. Soal kenyamanan dan hobi itu, saya pikir semua
pekerjaan akan dijalankan dengan baik kalau kita mencintainya. Sehingga kita
bisa bekerja dengan sepenuh hati, ikhlas dan terus bersemangat. Saya senang bekerja
disini. Soal dinamika kerja, saya pikir di setiap bidang pekerjaan
masing-masing punya problem. Tinggal bagaimana kita menyiasatinya.
Emperor Casino Bonus - Shootercasino
BalasHapusPlay at 제왕카지노 Emperor Casino with $20 Welcome Bonus, 200 FREE Spins, Bitcoin accepted and 100% match deposit bonus. Choose from 20 free deccasino spins febcasino + 100%