Kamis, 25 Desember 2014

Mengelola Hutan, Seperti Seni Berbagi Peran



Ir. Nahardi, MM.
Kepala Dinas Kehutanan Sulteng

Setiap orang, punya cerita dalam hidupnya. Mereka memilih di antara banyak pilihan untuk menentukan menjadi apa mereka. Profesi, bakti dan pengabdian menjadi penanda yang membuat mereka dikenal sebagi sebuah sosok. Banyak cerita yang bisa menjadi bahan pelajaran. Manusia begitu istimewa. Karena itu, para ahli psikologi menyatakan manusia adalah mahluk yang unik. Ketika orang-orang di waktu menjelang hari raya Idul Fitri mudik bertemu keluarga di kampung, Nahardi justeru mencoba terus mendekatkan diri dengan memilih berumroh. Ini sisi lain yang  terbangun dalam diri seorang birikrat daerah seperti Nahardi. Di usianya yang tak lagi muda, ia sudah meluangkan bayak waktu untuk Sulteng. Sejak 1984, ia sudah bekerja layaknya abdi negara lainnya. Hiangga hari ini, ia tetap konsisten dimasa kerjanya selama 30 tahun. Menjadi rimbawan yang mengabdi untuk kelestarian hutan dan kemaslahatan ummat.

Rabu (3/12) kemarin, ia menyempatkan waktu berbincang bersama Palu Ekspres di ruang kerjanya.  Ia berbagi cerita tentang profesinya. Ia memberi pandangan-pandang tentang bagaimana posisi sektor kehutanan dalam bingkai pembangunan daerah. Untuk mengetahui lebih jauh, berikut petikan wawancaranya bersama Reporter Mohammad Sahril.

Apa potensi sektor kehutanan kita yang bisa menjadi andalan untuk meningkatkan PAD?

Kalau bicara potensi kehutanan, bicara soal kayu misalnya, kontribusinya tidak terlalu besar. Potensi terbesar hasil hutan kita, yakni hasil hutan non kayu. Kita memiliki potensi rotan yang cukup banyak. Wilayah di kawasan Indonesia Timur yang mempunyai potensi rotan terbesar adalah Sulteng. Bahkan kita menjadi penyuplai kebutuhan rotan nasional nomor satu. Di samping itu, jenisnya juga cukup banyak. Tapi yang termanfaatkan itu jumlahnya sangat sedikit. Karena itu, dibutuhkan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian, untuk melakukan riset  sehingga potensi yang besar ini bisa termanfaatkan. Kita punya lebih dari 20 jenis, tapi yang dimanfaatkan tak lebih dari lima jenis. Kalau ini bisa dikelola dengan baik, tentu akan berdampak terhadap nilai tambah bagi masyarakat sekitar hutan. Kita juga punya potensi damar, tanaman obat dan lain sebagainya. Tapi belum sepenuhnya bisa dikelola. Kalau soal pemanfaatan kayu, ini juga ada kaitannya dengan iskusi-diskusi beberapa tahun belakangan, tentang emisi karbon. Jadi hutan menjadi sangat penting untuk dijaga. Pemanfaatannya pun harus dibatasi, terutama penggunaan kayu. 

Bagaimana dengan usaha-usaha lain seperti hutan tanaman?

Di Sulteng, alhamdulillah cukup berpotensi untuk hutan tanaman. Terutama untuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kita memiliki kawasan yang sudah dicadangkan oleh kementerian kurang lebih 23 ribu hektar. Yang sudah diusahakan oleh masyarakat sekarang ini mencapai 8 ribu hektar. Cuman ini memang ada kendala-kendala sedikit untuk perizinan. Saya pikir ini perlu dilakukan semacam deregulasi ke daerah. Supaya proses perizinannya tidak terlalau panjang dan lama. Sehingga masyarakat cepat mendapatkan izin dan bisa segera mengelolanya. Sampai hari ini, peraturan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, masih sepenuhnya perizinannya di pusat. Kita berharap, dengan pemerintahan yang baru ini, ada penyederhanaan perizinan. Karena ini juga salah satu titik penghambat pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi. Padahal kita paham bahwa perekonomian rakyat itu yang paling tahan terhadap goncangan. Kalau ini baik, bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dan tentu mengurangi kemiskinan.

Selain itu, usaha-usaha yang juga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, apa lagi?

Kemarin kita bersama-sama dengan unit pengelola DAS Palu-Poso, mencoba mendorong bagaimana pengembangan Hutan Desa (HD) di Kabupaten Sigi, di Desa Namo Kecamatan Kulawi. Hutan ini dimanfaatkan oleh masyarakat, kemudian dibangun kemitraan dengan usaha-usaha yang bisa menampung hasil hutan mereka. Alhamdulillan, sudah ada MoU antara masyarakat dengan pengusaha-pengusaha yang bisa membantu mereka. Tentu bukan hanya di sana. Kita berharap ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan di daerah-daerah lain di Sulteng. Tapi, usaha-usaha seperti ini tidak sesederhana apa yang kita bayangkan. Diperlukan alur birokrasi yang memang  berpihak terhadap kepentingan rakyat. Tidak sekedar statement-statement saja, tapi harus diwujudkan kewenangan-kewenangan itu kepada daerah. Selama ini kan semua perizinan selalau ke pusat. Kita paham, memang ini adalah upaya hati-hati. Tapi janagn sampai karena terlalu hati-hati, jadi tidak jalan program-program pemberdayaan ini. Yang terpenting sebenarnya bagaimana pusat memberikan aturan main dan standar operasional prosedur. Saya pikir kalau itu sudah diatur, kita juga takut untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran. Justeru karena kehat-hatian kita selama ini, membuat masyarakat menjadi melawan. Dia menjadi berani karena tak ada pilihan. Mereka ingin melanjutkan hidup hari ini, mencari nafkah untuk hari ini. Tanpa harus menunggu proses yang panjang. 

Kalau usaha-usaha kehutanan yang berbasis industri, di Sulteng memang masih ada?

Tampaknya usaha-usaha berskala besar memang  mengalami berbagai hambatan-hambatan. Kita di sini mempunyai 14 perusahaan yang memiliki izin untuk pengelolaan kayu. Tapi hampir semuanya tidak beroperasi. Seperti mati suri. Karena itu, kita juga mendorong pemerintah pusat untuk berkomitmen melakukan penertiban secara baik terhadap mereka-mereka (perusahaan) yang ‘memasung’ sumber daya alam kita. Tidak bisa memberi kontribusi apa-apa kepada kita dalam hal pertumbuhan ekonomi, karena tidak ada aktifitas yang mereka lakukan. Ya, diberi sangsilah. Kalau perlu dicabut izinnya. Sehingga mitra-mitra usaha yang lain memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan investasi. Beberapa perusahaan yang memiliki izin penguasaan lahan begitu besar, tapi tidak melakukan apa-apa, bagi saya ini merugikan daerah. Tidak ikut berakselerasi dengan pertumbuhan ekonomi daerah, untuk apa kita pertahankan. Mereka ini sama dengan penghambat pertumbuhan ekonomi daerah. 

Terkait dengan izin pertambangan di wilayah hutan, yang di sisi lain juga bertentangan dengan konsep kelestarian. Apalagi kan kita kahu, bahwa industri tambang cukup ekstraktif dan jarang melakukan kegiatan reklamasi di bekas areal tambang mereka. Bagaimana pandangan anda?

Memang ini cukup dilematis. Di satu sisi kita terus mengampanyekan pelestarian hutan, tapi di sisi lain kita juga harus menghormati regulasi-regulasi yang berlaku, misalnya tentang UU sumber daya mineral. Dalam aturannya cukup jelas dan baik. Setiap kegiatan harus diikuti dengan kegiatan reklamasi. Tapi kenyataannya di lapangan tidak seperti itu. Tidak seindah apa yang kita bayangkan. Tapi ada hal yang saya pikir baik dan menguntungkan dengan peraturan yang baru di tahun 2014, yang mengharuskan perusahaan tambang membangun smelter di wilayah penghasil mineral. Ini akan menguntukan daerah dan terutama bisa menyerap tenaga kerja lokal. Di satu sisi kita bisa melakukan penghematan dan bisa memberi nilai tambah pada daerah. Memang kebijakan ini, hanya bisa diterima oleh industri-industri yang benar-benar mempunyai komitmen besar, sehingga bisa bertahan. 

Bagaimana dengan keberadaan perkebunan skala besar yang ada di Sulteng. Ini didominasi oleh sawit. Dan kita tahu bahwa sawit adalah sebuah koorporasi besar, sehingga membutuhkan laus lahan yang juga besar. Menurut anda?

Saya kira kita butuh investasi. Tapi kita juga perlu memberi keseimbangan terhadap usaha-usaha yang berbasis masyarakat. Sawit tidak dilarang. Tapi bagaimana masyarakat di wilayah sekitar bisa mendapatkan manfaat langsung, ini yang perlu diperhatikan. Dia tidak hanya menjadi pekerja. Kalau perlu dia bisa menjadi bagian dari usaha korporasi itu. Mereka juga harus diberi ruang agar bisa memikirkan usaha itu kedepannya. Tapi kalau semua kewenangan diberikan pada korporasi, ini juga akan berpeluang terhadap konflik. Kita sudah banyak mendengar kejadian-kejadin di masyarakat seperti yang terjadi di Sumatera, antara perusahaan dengan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah, dalam hal ini yang memiliki kewenangan untuk memberi izin lokasi dan sebagainya, bisa melihat lebih jauh kedepan untuk kepentingan masyarakat kita. Mungkin hari ini tidak menjadi persoalan, tapi sepuluh atau dua puluh tahun kedepan bisa menjadi persoalan. Kita bisa belajar dari Buol. Di sana itu ketika perusahaan-perusahaaan besar masuk, belum menjadi problem soal lahan. Tapi dalam kurun waktu dua puluh tahun kemudian, atau bahkan belum sampai, sudah banyak muncul konflik-konflik tenurial. Masyarakat butuh lahan, tapi wilayahnya terbatas dan lahan tidak mungkin bertambah.  Sementara sebagian besar sudah dikuasai perusahaan-perusahaan. Ini terjadi, karena memeng tidak dirancang sejak awal. Karena itu, pemerintah daerah kabupaten kota, sejak awal harus menganalisis ruang-ruang yang mana untuk investasi, yang mana untuk rakyat. Dalam membangun, kita butuh dua-duanya. Kita butuh investasi, kita butuh juga penguatan di tingkat masyarakat. 

Bagaimana mengelola lahan untuk menghindari kesalahan pemberian lahan. Misalnya di Parigi Moutong, pemerintah memberi izin lahan perkebunan sawit, arealnya sampai masuk di kawasan lindung, cagar alam Pangi Binangga.

Memang sering terjadi seperti itu. Karenanya pemerintah sekarang sudah mengeluarkan kebijakan tentang one map policy. Kebijakan satu peta ini, untuk menghindari salah tafsir dan salah ukur seperti yang dilakukan sekarang ini. Kita sudah akan menggunakan peta standar. Memeng banyak teman-teman yang masih menggunakan peta yang tidak valid. Skalanya terlalu besar, sehingga inforimasi geo spasialnya juga tidak valid. Sementara kalau kita bicara informasi geo spasial, ini sangat dinamis. Setiap waktu keadaan di lapangan mengalami perubahan. Kesalahan pengukuran satu centi saja di peta, kalau menggunakan skala yang besar, misalnya satu banding 500.000, kan  jauh penyimpangannya di lapangan. Makanya banyak yang masuk dalam kawasan seperti tadi. Atau bisa jadi tumpang tindih dengan kawasan lain. Jadi sekarang, kita terus mendorong bagi semua instansi di pemerintah provinsi maupun kabupaten, menggunakan kebijakan satu peta ini. Kita sudah memulai sebenarnya. Kemarin kan kita sudah punya peta tata ruang yang baru, setelah hasil verifikasi dari pelepasan kawasan. Jadi semua informasinya terbaru dan bisa menjadi acuan. Terkait perizinan, mereka juga harus terstandar petanya. Terutama skalanya. Kita sarankan ke teman-teman kabupaten kota, untuk menggunakan skala peta yang lebih kecil. Misalya 1 banding 50.000 atau 1 banding 25.000. Sehingga kenampakan spasialnya di peta itu sudah semakin jelas, dan potensi deviasinya juga tidak terlalu tinggi. 

Setiap beberapa tahun, ketika diidentifikasi, kita harus melepaskan kawasan hutan. Karena sudah menjadi wilayah pemukiman. Ini kan menjadi dampak pertumbuhan baik secara demografi maupun ekonomi. Bagaimana menurut anda?

Kalau kita bicara soal demografi, saya pikir ini masih cukup tinggi. Kalau tidak salah, data statistik untuk pertumbuhan kita 1,14 persen per tahun. Ini bisa menjadi sumber ancaman juga. Karena itu memang, optimalisasi dan pengelolaan pemanfaatan ruang ini harus dilakukan dengan baik. Hutan kita sebenarnya masih cukup banyak. Tapi masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan seperti yang saya bilang tadi. Misalnya di Lore Utara, banyak lahan yang masih dalam penguasaan perusahaan dalam skala besar. Padahal itu bisa dimanfaatkan oleh rakyat untuk kepentingan ekonomi mereka. Memang kita tidak bisa menghindari laju pertumbuhan penduduk. Tapi bisa disiasati, karenaa lahan kita tidak pernah bertambah. Makanya optimalisasi tadi. Terutama terkait produktifitas lahan. Lahan yang sedikit, tapi bisa memproduksi hasil yang besar. Ini juga tentu harus disentuh dengan teknologi. Misalnya prouksi padi kita sekarang 15 ton, harus ditingkatkan sampai 12 ton, tanpa harus memperluas lahan. 

Bagaimana soal koordinasi antar penerintah sendiri. Sepertinya ini punya masalah tersendiri dalam iklim otonomi sekarang.

Bagi saya, kalau bicara koordinasi ada kesalahan mewarisi sebuah instrumen kebijakan. Ada pemahaman yang keliru, ketika era otonomi ini dimulai. Seolah-olah antara pemerintah kabupaten dan provinsi itu tidak ada kaitan. Ada yang memahami seperti itu. Padahal tidak begitu semestinya. Dalam prosesnya, sebenarnya harus saling bekerjasama. Untunglah dalam UU nomor 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah, beberapa sektor strategis sudah diatur sebagai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Tidak lagi dibagi dengan pemerintah kabupaten. Misalnya soal perizinan terkait sumberdaya mineral, kelautan, kehutanan, ini sudah diberikan ke provinsi. Ini dijelaskaan pada pasal 14 UU tersebut. Karena ini diangap sangat istrategis, sehingga selama ini banyak pihak yang menjual murah kepada investor. Padahal kita harus berfikir lebih jauh, agar ini bisa diwariskan kepada generasi kita berikutnya. Jadi kita tinggal menunggu peraturan pemerintahnya lagi. Undang-undangya sudah ada. Mudah-mudahan ini bisa menjadi peluang bagi kita untuk menata sumberdaya alam kita yang kaya ini. 

Anda yakin keberadaan UU ini bisa menjadi peluang SDA kita bisa termanfaatkan dengan baik. Kita bisa terhindar dari situasi-situasi seperti sebelumnya?

Tentu kita harus optimis. Urusan mengelola negara dan kekayaannya ini tidak bisa kerja masing-masing. Kemarin kan terjebak dalam pemahaman yang keliru tadi. Bukannya membagi peran, malah menganggap mereka paling berwenang untuk mengatur wilayahnya sendiri. Ada ungkapan; “Saya kan dipilih oleh rakyat saya. Ada hal apa anda mau mencampuri urusan dalam rumah tangga kami” begitu yang selalu kita dengar. Kan tidak boleh seperti itu. Pusat melakukan apa, provinsi melakukan apa, kabupaten melakukan apa. Mestinya kan harus membagi peran. Padahal UU tahun 2007 tentang pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan daerah sudah jelas diatur. Tapi kan ini yang sering diindahkan. Karena semangatnya sudah terlajur mengacu pada konsep otonomi yang salah tadi. Memang kalau soal presepsi bisa berbeda-beda. Tidak mungkin sama. Tapi ada hal yang sifatnya universal, yang bisa jadikan bahan berfikir untuk apa ini kita lakukan. Ini yang nantinya bisa menggiring kita berfikir untuk kepentingan bersama dan untuk masa akan datang. Kalau kita baca semua undang-undang yang ada, semua bertujuan pada kemakmuran rakyat. 

 Selama anda berkarir di instansi kehutanan, apa yang anda anggap perlu diperbaiki?

Tantangan utama bagi kita sesungguhnya adalah bagaimana melakukan pengelolaan birokrasi ini. Saya sering mengatakan ke teman-teman di pusat. Semakin baguskan kita ini melaksanakan amanah ini? Ini terkait dengan rasa kepemilikan. Seolah-olah kalau bicara tentang hutan, kita hanya menjadi ‘penjaga kebun’ saja. Selagi pusat masih mengangap kita di daerah seperti itu, semuanya akan sulit. Kedepan kita berharap, dengan pemerintahan yang baru, dengan membangun sinergitas pemerintah pusat dan daerah. Kita berharap ada kesetaraanlah antara pusat dan daerah. Bukankah sudah ada gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah? Tapi pusat tidak mendelegasi seperti itu. Kita mau bangun jalan saja, kalau wilayahnya masuk kawasan hutan, harus minta izin pusat dengan seretentetan birokrasinya yang berbelit-belit. Contohnya saja dengan Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu. Masalahnya terjadi  mulai tahun 2001, baru bisa diselesaikan tahun 2014. Ini karena semua urusannya harus ke pusat. Mereka di Dongi-dongi sudah dienclave, artinya wilayah yang mereka tempati sudah dilepaskan dari kawasan hutan, sudah menjadi area pemanfaatan lain. 

Tapi apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan memperluas wilayahnya?

Ini kan soal pendekatan yang harus dilakukan. Mereka harus menjadi bagian dari kita, untuk menjaga hutan. Kita kan tidak bisa mengontrol mereka. Keberadaan kita berbeda. Memangnya kita mampu mengawasi mereka siang dan malam? Maka ini perlu adanya upaya persuasif kepada mereka, agar mereka juga mempunyai tanggungjawab terhadap hutan. Tapi begini, kalau kita mampu menyediakan lapangan kerja kepada mereka, pasti mereka tidak masuk hutan. Memang slogan ‘hutan lestari dan masyarakat sejahtera’ ini tidak semudah apa yang kita bayangkan. Rasanya agak sulit ini akan berjalan paralel, kalau kita tidak memberi pembagian tugas seperti apa yang saya bilang tadi. Kalau urusan yang bisa dieksekusi di daerah, kenapa harus menunggu pusat. Kita tidak bisa hanya mengatakan ini tidak boleh, itu tidak boleh. Masyarakat punya kehendak yang sangat sederhana, hanya butuh makan. Kalau orang sudah lapar, memang bisa ditahan-tahan? Rasanya mustahil kalau urusan SDA ini hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tanpa melibatkan unsur masyarakat.
Kemarin, saya sempat diundang oleh pemerintah Jerman. Kami diperkenalkan dengan wilayah-wilayah mereka yang 300 tahun lalu rusak, kemudian dihutankan kembali. Kita juga mendatangi sebuah wilayah, yang lapangan kerjanya tidak seimbang banyaknya dengan penduduknya. Jadi kesimpulannya, kalau lapangan kerja cukup, pasti masyarakat tidak merambah hutan.

Ok. Ini pertanyaan lebih personal. Umunya orang senang bekerja dengan hobinya, apa juga anda demikian?

Saya sudah memulai karir di instansi kehutanan sejak tahun 1984, sampai sekarang berarti sudah 30 tahun. Persoalan hobi, itu sangat relatif. Saya awalnya memang sarjana kehutanan dan sampai sekarang bekeraja di instansi ini. Soal kenyamanan dan hobi itu, saya pikir semua pekerjaan akan dijalankan dengan baik kalau kita mencintainya. Sehingga kita bisa bekerja dengan sepenuh hati, ikhlas dan terus bersemangat. Saya senang bekerja disini. Soal dinamika kerja, saya pikir di setiap bidang pekerjaan masing-masing punya problem. Tinggal bagaimana kita menyiasatinya.

1 komentar:

  1. Emperor Casino Bonus - Shootercasino
    Play at 제왕카지노 Emperor Casino with $20 Welcome Bonus, 200 FREE Spins, Bitcoin accepted and 100% match deposit bonus. Choose from 20 free deccasino spins febcasino + 100%

    BalasHapus