Kamis, 27 November 2014

Demi Pengabdian untuk Ilmu Pengetahuan, Keluar Masuk Hutan Sudah Menjadi Hobi



Prof. Ramadhanil Pitopang
Salah satu Penggagas Herbadrium Celebense


SUDAH tak terhitung jumlahnya, malam-malam dingin yang ia lalui selama bertahun-tahun berburu spesimen di hutan-hutan Sulawesi.  Berteman nyamuk, meringkuk dibalik kantong tidur untuk bertahan dari udara dingin pegunungan. Kalau komitmen diukur dari upaya seperti itu, maka kecintaan Prof. Ramadhanil terhadap dunia biologi tumbuhan tak perlu diragukan. Pria kelahiran Payakumbuh tahun 1964 ini mulai jatuh cinta dan serius untuk mengoleksi spesimen-spesimen di Sulawesi, setelah mendapat kesempatan dalam sebuah program pelatihan Manajemen Herbarium oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun1998. Selama 6 bulan, ia dan 6 orang rekan seprofesinya menekuni  sistem manajemen Herbarium di Kebun Raya Bogor. Dari Sulawesi Tengah, hanya dia yang ikut pada kesempatan sangat berharga tersebut. Berbekal pengalaman singkat itulah, setelah pulang ke Palu, ayah tiga anak ini mulai melakukan pengoleksian setahun kemudian. Dengan ruangan dan peralatan apa adanya, ia dan beberapa rekannya mulai melakukan upaya pengabdian terhadap ilmu pengetahuan itu. Mengumpulkan sejumlah spesimen Sulawesi. Baru-baru ini, ia bersama dua rekannya meluncurkan sebuah buku berjudul ‘Flora Fauna Endemik Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah’. 

Akhir pekan lalu, dosen Fakultas Mipa Untad ini meluangkan waktu berbincang-bindang dengan awak media ini, berkisah tentang bagaimana ia dan rekan-rekannya membangun Herbarium Celemebense di Universitas Tadulako, sebuah pusat studi biodiversity Sulawesi. Untuk lebih lengkapnya, berikut kutipan wawancaranya bersama reporter Mohammad Sahril dan Fotografer Ananda Rioeh.

Saya dengar anda baru megeluarkan buku, tentang apa itu?

Ya, ini buku kami yang terbaru. Kami mencoba mendokumentasikan flora dan fauna endemik di Kabupaten Sigi, khususnya di wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Dunia mengakui, bahwa kita punya berbagai macam spesies endemik, yang sangat unik. Karena itu, kami sebagai orang-orang yang memang punya hobi dan belajar tentang tumbu-tumbuhan ini, merasa terpanggil untuk melakukan upaya-upaya ini. Hitung-hitung bisa bermanfaat bagi orang lain. Terutama bagi dunia pendidikan kita. Kami senang, pemerintah Kabupaten Sigi mendukung dan sangat peduli tentang keanekaragaman hayati yang mereka miliki. Upaya ini, memang tidak bisa kami lakukan sendiri, tanpa dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah.

Kapan anda benar-benar serius untuk memulai upaya pengoleksian spesimen-spesimen ini?

Sekitar tahun 1999. Waktu itu, saya masih di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Ini sebagai rangkaian yang tak terpisahkan dari kegiatan yang saya ikuti di Bogor tahun sebelumnya. Waktu itu, LIPI bekerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi, melakukan Pelatihan Manajemen Herbarium. Kami, saya dari Palu, bersama teman-teman dari seluruh Indonesia, kumpul di Kebun Raya Bogor, di rumah Belanda yang tua itu. Kami mengikuti pelatihan itu selama enam bulan. Tidak boleh pulang selama itu. Saya, pas dengar kegiatan ini langsung tertarik. Karena memang ini hobi saya sejak sekolah dulu. Nah, setelah mengikuti pelatihan itu, harapannya, kami para alumni ini bisa menjadi penginisiasi untuk membangun Herbarium di masing-masing daerah, atau di universitas yang mereka wakili. Inilah cikal-bakal berdirinya Herbarium-Herbarium yang ada sekarang di seluruh Indonesia.

Oh ya, sebenarnya apa Herbarium ini, apa fungsinya?

Iya, memang waktu awal saya memperkenalkan ini, orang-orang bertanya-tanya, hewan apa lagi ini. Tapi akhir-akhir ini mereka sudah kenal, setidaknya tempatnya di kampus Untad itu mereka sudah tahu. Nah, kalau kita bicara apa itu Herbarium, ini adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk mengoleksi, mendokumentasikan spesimen-spesimen di suatu daerah. Herbarium ini asalnya dari kata herba, tumbuhan. Awalnya memang sebagai upaya untuk melakukan pengkoleksian suatu spesies tumbuhan, dengan cara mengeringkan. Jadi tumbuhan-tumbuhan itu, entah berupa daun atau akar, dikeringkan dan dilapisi kertas secara bolak balik, untuk mempertahankan kondisi bentuknya. Nah, seiring perkembangannya, istilah ini menjadi sebuah laboratorium yang mempunyai tugas dan fungsi untuk mengoleksi, mendokumentasikan dan mendata base seluruh tumbuhan, baik yang masih hidup atau yang sudah dikeringkan, atau yang diawetkan dengan spiritus atau ethanol. Nah sekarang, kalau orang bilang Herbarium, orang-orang sudah tau, bahwa ini sebuah lembaga yang bertugas untuk mendokumentasikan koleksi-koleksi tumbuhan. Semua koleksi yang ada di dalamnya, disebut spesimen Herbarium. Kalau ada orang bertanya bagaimana bentuk daun kayu Eboni, kita bisa tunjukkan koleksi Herbariumnya dalam bentuk yang sudah dikeringkan, atau yang diawetkan dengan ethanol. Sederhanya, Herbarium bisa dikatakan sebagai laboratorium atau perpustakaan khusus tumbuh-tumbuhan.

Ada berapa model pengoleksian Herbarium?

Macam-macam, semua tergantung dari jenis tumbuhan yang akan dikoleksi. Kan setiap tumbuhan itu, punya proses yang berbeda-beda juga ketika didokumentasikan. Kalau tumbuhan-tumbukan kecil, bisa diambil mulai dari akar, batang hingga daunnya. Kalau pohon kan tidak mungkin dicabut dengan akar-karnya. Kalau anggrek, karena bunganya cepat patah, akarnya mudah rusak, makanya dibuat dalam koleksi basah, ditaruh di dalam larutan ethanol dan campuran IAA, kalau tidak salah. Ada juga yang dalam bentuk kayu-kayuan. Misalnya rotan atau kayu-kayu yang besar. Ini disebut koleksi carpology. Misalnya untuk menunjukkan contoh-contoh kayu yang diperdagangkan yang ada di Sulawesi. Kalau Herbarium yang sudah berkembang, biasanya mereka mengoleksi tumbuhan dalam bentuk hidup, sepeti yang di Bogor itu, Kebun Raya Bogor. Jadi, orang-orang bisa melihat langsung bentuk aslinya yang masih hidup di kebun.

Kalau yang disimpan di dalam gedung, cara perawatannya bagaimana?

Umumnya, yang disimpan di dalam gedung, yang dalam koleksi kering, diawetkan dengan cara dioven, dihilangkan kadar airnya supaya tidak berjamur. Terus ada pemeliharaan setiap tiga bulan. Semua spesimen itu dirawat, dimasukkan ke dalam mesin pendingin, freezer pada suhu minus 20 derajat. Ini dilaukan untuk membersihkan spesimen, membunuh kutu atau jamur-jamur yang bisa merusak koleksi-koleksi tersebut. Perawatan secara reguler ini, untuk harbarium-herbarium besar seperti di Bogir itu (Bogoriense), mereka sudah tidak lagi memasukkan boks-boks penyimpanan itu ke dalam freezer. Karena mereka punya koleksi sudah banyak, sekitar 3,5 juta spesimen. Kan repot kalau dikeluarkan satu per satu. Akan memakan waktu. Makanya mereka mengggunakan cara yang sama seperti yang sering kita lihat ketika tim kesehatan melakukan fooging untuk membasmi jentik-jentik nyamuk demam berdara. Kalau di Herbarium, gedungnya dikunci rapat-rapat, kemudian koleksi-koleksi itu dikeluarkan dan diasapi dengan bahan-bahan kimia pembasmi serangga dan jamur. Dan yang mengerjakan itu, ada konsultan khususnya. Tidak boleh kita sendiri yang melakukannya. Karena ini juga menyangkut keamanan kesehatan lingkungan. Memang perhatian mereka terhadap dokumen-dokumen ini sangat besar. Perlindungannya sama dengan dokumen-dokumen negara.

Saya kagum dengan ada koleksi milik National Herbarium of Netherlands di Laiden. Mereka punya spesimen koleksi itu dari tahun 1700. Itu masih tersimpan dan masih awet sampai sekarang. Yang menarik, waktu beberapa tahun lalu kami pernah berkunjung kesana bersama Almarhun Rektor Untad lama, pak Sahabudin Mustapa, dengan rombongan pemerintah daerah, termasuk mantan gubernur kita, pak Paliuju. Pak gubernur waktu itu tanya koleksi kayu Eboni mereka. Mereka tunjukkan. Koleksi itu diambil pada tahun 1800an. Mungkin di lokasi tempat diambil tumbuhan itu sudah tidak ada lagi kayu hitamnya. Tapi mereka masih punya koleksi Herbariumnya. 

Kalau di Indonesi, apa semua Universitas atau daerah punya Herbarium?

Tidak semua. LIPI punya data tentang herbarium-herbarium yang ada di Indonesia. Bisa dibuka melalui ‘Indeks Herbarium Indonesiano’, di situ bisa kelihatan di mana saja Herbarium di Indonesia. Baik yang ada di universitas, atau milik lembaga-lembaga riset. Kalau di Kalimantan Timur, itu ada namanya Herbarium Wanariset. Itu milik kehutanan. Kalau di Palua, ada Herbarium Manokwari. Ini termasuk yang sudah lama, dari tahun 1950an, warisan Belanda. Sudah ada pada masa penjajahan dulu, sama seperti yang di Bogor. Setahu saya, yang dibangun dari nol, Herbarium kita yang ada di Untad, Herbarium Celebense, Herbarium Wanariset dan Herbarium Berau di Kalimantan. Dan semua model pengelolaanya mengadopsi pola yang dikembangkan di National Herbarium of Nedherlands di Leiden. Kebetulan technical support-nya dari Belanda. Misalnya untuk teknik pengeringan, mulai dari bentuk boks, ukuran kertas. Ukuran kertas ini, berbeda-beda untuk setiap Herbarium di dunia. Kalau kita, sama dengan yang di Leden, karena kita mengacu ke sana. Jenis kertas ini juga khusus. Tidak seperti kertas yang umum kita gunakan. Kertasnya adalah kertas yang bebas asam. Kertas Acid Free namanya. Kenapa harus bebas asam, supaya tidak mudah rusak, atau terdegradasi oleh bakteri, atau dimakan rayap. Kalau kertas Acid Free, tahan lama. Bentuknya tebal dan licin. Nah, yang kita pakai sekarang, itu semua adalah bantuan dari Belanda. Walaupun Indonesia juga sudah mulai produksi.

Oke, bisa cerita sedikit bagaimana pengalaman pertamanya melakukan pengoleksian?

Ceritanya lumayan panjang ini. Tapi singkatnya begini. Saya menganggap ini sebagai sebuah rangkaian kejadian. Pertama-tama sekali, setelah pulang dari Bogor tahun 1998 itu, saya dan beberapa teman sudah mulai mengoleksi dengan cara seadanya. Kami memulai dari pencarian di daerah Banawa. Saya bersama dengan Alm. Pak Ramli Tantu, pak Nur Sangadji dan pak Abdu Hamid Nur. Kebetulan waktu itu tim ini punya kerjasama join research dengan pihak Canada, melalui programnya CIDA. Koleksi kami pertama itu dari kawasan pesisir Banawa itu. Terus saya minta sama pak Akbar satu ruangan. Dari satu ruangn kecil itu saya dan teman-teman mulai bekerja, mengumpulkan dan menyimpan spesimen-spesimen itu. Waktu itu memang belum terstandarisasi peraalatan yang kami gunakan. Kertas-kertas pun kami gunakan yang biasa, sama seperti kertas-kertas yang digunakan untuk foto copy itu. Dalam pikiran kami, yang penting ada dulu koleksi. Terus kebetulan setelah itu ada tim riset dari belanda, mau melakukan penelitian di hutan kita di Sulteng. Saya bersama dengan pak Sukur Umar, paka Muslimin dan pak Imam. Kami bawa waktu itu mereka ke Lalundu, tapi bukan itu yang mereka cari. Akhirnya dua hari kemudian kami bawa ke Bolapapu, daerah Kulawi. Nah mereka suka, karena hutan seperti itu yang mereka maksud. Mulai dari situ, kawasan itu mereka plot-kan menjadi satu site lokasi penelitian mereka. Nah dari situlah upaya ini mulai berkembang. Saat itu juga, kami buat semacam kontrak MoU. Walaupun itu hanya semacam ‘MoU-MoU-an’ dengan dekan Fakultas Pertanian, Muhammad Idris ketika itu. Lucu juga waktu itu, semua dilakuakn secepat mungkin. Di laptop pak Syukur Umar itu diketik MoU. Kemudian jempat pak Idis di rumahnya untuk tanda tangan. Nah, mulai saat itulah kita bekerjasama dengan pihak Jerman. Kita susun proposal bersama untuk proyek-proyek penelitian. Setelah itu, ada program Stability of Rainforest Margins in Indonesia  (STORMA). Dari sinilah Herbarium mendapat kesempatan untuk dijadikan posisi tawar dalam projek itu.  Ketika kami tawarkan, mereka langsung tertarik. Karena mereka anggap kita punya banyak kekayaan boidiversity yang unik dan belum diiventarisir secara menyeluruh. Nah, begitulah cikal bakalnya. Jadi, sebelum ada Jerman, kita sudah memulainya. Dengan mereka, semakin jelas mimpi-mimpi kita dan harapan pihak LIPI yang telah memberi pelatihan kepada saya dan teman-teman lain se-Indonesia.

Di Sulawesi sendiri ada berapa Herbarium?

Di Manado ada. Herbarium Walaceana namanya. Pak Harpolo yang pegang di sana. Tapi belakangan saya tanya kabarnya, katanya sudah tidak aktif. Katanya situasinya kurang mendukung. Malah sekarang, dia berpindah dari dunia tumbuhan ke serangga. Sedangkan di Unhas, ada pak Alm. I Nengah Wirawan di Fakultas Kehutanan. Dia orang LIPI juga. Waktu TNLL kita ini dipersiapkan menjadi Taman Nasional, dia dan beberapa temannya sudah memulai pengkoleksian. Itu untuk memenuhi kebutuhan pencanangan Taman Nasional itu. Dia yang melakukan penelitian di sini. Sebagian koleksi dia itu disimpan di Unhas. Setelah itu, dia keluar dari Unhas, bekerja di LSM Internasional di Hawai. Dan sekarang, saya dengar kabar, situasinya sama dengan yang di Manado. Tidak ada yang urus. Saya juga khawatir dengan kita punya di Tadulako. Situasinya bisa sama, kalau tidak ada orang yang serius mengurusnya. Saya kan sekarang sudah di jurusan. Walaupun sekali-sekali saya datang ke Herbarium melihat-lihat koleksi dan tanya-tanya perkembangan mereka di sana.

Mudah-mudahan Herbarum kita tidak seperti di Unhas dan di Manado itu. Tapi, apa bagi anda ada jaminan kalau Herbarium itu bisa terus menjalankan tugas dan fungsinya?

Ya, kita berharap bisa tetap bertahan untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Tapi bagi saya, tugas-tugas itu harus dilakukan oleh orang-orang yang memang mempunyai hobi dan berdedikasi tinggi dalam bidang itu. Saya juga kemarin kaget, tiba-tiba saya diberi tugas di jurusan, dan dibilang bahwa saya tidak lagi di Herbarium. Sudah ada orang lain di sana. Seperti yang anda bilang, kami membangun itu di awal-awal benar-benar tak punya kepentingan lain, selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dan anda pasti tahu, orang-orang yang bekerja dengan hoby, pasti akan betah dan senang bekerja. Saya, karena memang ini hobi sejak sekolah dulu, merasa senang saja berada di lab, masuk keluar hutan. Berteman dengan nyamuk, dingin. Sampe hanyut-hanyt di sungai, tapi saya nikmati. Memang pekerjaanyaa ini sedikit rumut. Mulai dari kita temukan dia (spesimen) di hutan dengan segala upaya, terus dibawa ke lab, dikeringkan dan diberi nama sehingga dia benar-benar menjadi spesimen.Kalau hanya tumbuhan yang dikeringkan, tidak punya nama dan informasi yang terkait dengan itu, sama saja seperti sampah. Butuh upaya lanjutan untuk membuatnya menjadi dokumen dengan label ilmiah. Jadi tidak mudah mengumpulkan spesimen-spesimen itu. Bagi saya, spesimen-spesimen itu seperti anak-anak saya sendiri. Dulu waktu saya masih di Fakultas Kehutanan, ada 5 orang kader mahasiswa yang saya persiapkan. Mereka selalu ikut ke lapangan. Tapi belakangan, mereka memilih berkarir di dinas lain, karena tidak ada formasi untuk bidang ini. Padahal kalau mau mau mengembangkan Herbarium ini, butuh banyak orang. Mereka akan menangani spesialisasi masing-masing. Ada di bagian roran misalnya, bagian anggrek dan lain sebagainya.

Sejauh ini yang anda lihat di Herbarium kita?

Saya selalu sempatkan ke sana setiap bulan. Sayangnya, tidak ada perubahan. Tidak ada koleksi bertambah, padahal  kita masih punya banyak spesies yang belum terdokumentasikan. Saya anggap  masih banyak misteri-misteri biodiversity kita yang belum terungkap. Dunia mengakui kita sebagai 1 dari 10 biodiversity yang ada di dunia. Itu karena endemisitasnya yang cukup tinggi. Saya sering beritahu mereka untuk melakukan upaya-upaya peningkatan. Kalau ditugaskan di sana lagi, saya mau sekali. Tak perlu saya jadi kepalanya. Karena bidang saya disitu. Bisa dibilang, bidang ini sudah menjadi bagian dari roh saya.

Oh ya, kita flashback sedikit ke belakang. Kenapa anda sangat mencintai dunia tumbuh-tumbuhan ini?

Waktu SMA saya memilih kelas IPA. Ada guru biologi saya namanya ibu Rukmini. Dia yang mengajarkan kami tentang bagaimana cara membuat koleksi-koleksi Herbarium. Kemudian saya masuk Jurusan Biologi di Universitas Andalas, saya bertemu dengan pak Rusdi Tamin. Beliau menjadi idola saya. Kalau turun praktek ke lapangan, dia kelihatan sangat ceria sekali. Pak Tamin hanya S1, tapi kemampuannya mengenal tumbuh-tumbuhan itu luar biasa. Beliau juga orang gila kerja. Dia yang membangun Herbarium di Universitas Andalas. Beliau kami gelar sebagai kamus biologi berjalan. Setiap kami tanya satu jenis tumbuhan, umumnya beliau tahu. Nah, itu yang mengilhami saya untuk tekun di dunia biodiversity ini. Ditambah lagi, dalam filosofi kami orang Padang, bahwa wajib hukumnya belajar dari alam dan tumbuh-tumbuhan. Banyak sekali ilmu pengetahun di alam bebas. Ini yang kami sebut dengan salah satu pepatah minang; “Alam Takambang menjadi Guru”. Maksudnya, setiap fenomena yang terjadi di alam, itu adalah pelajaran. Waktu S1, skripsi saya tentang spora. S2 di Bandung, di ITB, tesis saya tentang biologi lingkungan. Pas S3 di IPB, saya mulai fokus di ilmu Taksonomi Tumbuhan.

Oh ya, saya dengar anda pernah belajar di luar negeri, di mana itu?

Ia, di Dublin College University di Irlandia, tahun 2011. Waktu itu kebetulan saya ambil program post doktoral. Ada prorgam Erasmusmundus yang dibiayai oleh Komisi Eropa. Saya dapat kesempatan itu sebelum mendat gelar Profesor. Secara kebetulan juga, ada seminar di Aceh waktu itu, tentang land use change after tsunami. Setelah presentase, saya ketemu profesor yang menjadi tim seleksi untuk program dari Erasmusmudus ini. Saya diwawancara, akhirnya bisa diterima. Saya urus semua dokumen, akhirnya bisa berangkat. Saya di Dublin mengajar selama satu semester. Dan melakukan riset juga. Kebetulan yang urus di sini ibu Dr. Aiyen. Dia yang tawarkan saya pertama kali untuk program itu. 

Yang terakhir, apa harapan anda tentang Herbarium kita?

Seperti yang kita ketahui, Herbarium itu punya fungsi strategis untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Kami berharap dulunya, dia akan menjadi tempat berkumpulnya para peneliti-peneliti biodiversity, menjadi reserch station. Sekarang kita sudah terdaftar secara internasional. Kalau ada peneliti yang membuat laporan penelitian, kalau mereka menulis tentang spesimen yang ada di kita, mereka selalu menyebutkan kode Herbarium kita.  Mengngingat fungsinya sangat strategis dan situasinya bisa timbul tenggelam, kita berharap orang-orang yang ditempatkan menjadi pengelola, bisa memahami itu sehingga kerja-kerja ilmu pengetahuan itu tetap berlanjut. Dan semakin banyak lagi koleksi-koleksi kita. Akan lebih meningkat lagi dari sekarang yang masih 15.000 koleksi. Sekarang kita sudah dikenal, dan punya jaringan. Sebagai Herbarium yang dibangun dari nol, kita sudah punya ribuan koleksi. Dan ingat, kita masih punya banyak kekayaan biodibersity yang belum terinventarisir. Ini yang menjadi tantangan dan juga peluang bagi para ilmuan kita. Saya berharap, ini bisa menjadi perhatian kita bersama, sampai pada mewujudkan mimpi-mimpi kita untuk melahirkan sebuah kebun raya, yang didalamnya tersimpan koleksi tumbuh-tumbuhan endemik Sulawesi.








0 komentar:

Posting Komentar