Kamis, 01 September 2011

Kampungku Dikenal Karena Cekcok, Sungguh Sayang.


Gelap telah menyelimuti Bandung dan sekitarya. Sunset yang mengiringi perjalananku sore tadi lenyap sudah. Berganti lampu-lampu jalan yang menyirami jalanan empat lajur itu. Kupacu sepedamotorku perlahan, setelah angka satu hilang dari traffic light dan lampu hijau menyala. Belok kanan dan mengambil lajur kiri, khusus untuk kederaan roda dua yang menelusuri jalan lurus tanpa belokan. 

Kutengok ponselku untuk memastikan kalau waktu magrib belum lewat. Sepanjang jalan, kulemparkan pandang ke sebelah kiri, memerhatikan tanda-tanda kalau di sekitar itu ada masjid. Sudah hampir satu kilo meter aku meninggalkan pusat perbelanjaan moderen itu. Angin lembah berhembus sedemikian lembutnya, perlahan menusuk tulang.

Kupastikan bahwa tanda panah ke arah kiri yang baru saja kulewatkan tadi adalah berisi keterangan yang aku cari. Masjid..! 

Kubelokkan arah untuk kembali memperjelas tanda itu. Dan memang benar bahwa dari tanda itu, sekitar 200 meter ke kiri ada sebuah masjid.
Langsung kutancap sepedamotorku mencari-cari. Perlahan dan pasti, kutemukan masjid di kompleks itu, di sebelah kiri jalan, dengan halaman sempit sekali diberi pafin blok tak berwarna. 

Mataku menjelajah mencari-cari tempat wuduh. Di sudut masjid terpaku seorang lalaki paruh baya, sedang asyik menikmati sensasi sebatang rokok. Bersandar di tiang teras.

Kusapa ia dengan senyum seadanya.

Tanpa sungkan, perlahan kulepaskan jaket dan segera memasuki tempat wuduh. Kembali kulemparkan senyum kepada lelaki itu, dan ia juga kembali tersenyum sambil melepaskan kepulan asap ke udara. Aku memasuki masjid dari pintu belakang. Kuselesaikan sholatku yang hanya tiga rakaat itu dengan zikir dan doa. Syahdu.

Setelah sholat, berlakulah aku berbasa-basi mencari perhatiannya. Dalam hati saya berharap, semoga kehadiranku tidak menggangu waktu santainya menunggu sholat Isya sambil mengisap beberapa batang rokok. 

Ia mulai buka bicara. Sorot matanya menelanjangiku dari ubun-ubun hingga ujung jari kaki. Sepertinya aku adalah mahluk asing di matanya. 

“Dari mana de’,”
“Tadi dari Carrefour,”
“Ooooooo…!” Asap-asap kembali mengepul, berhembus dari mulutnya dengan bibir atas dihiasi kumis tipis keabuan.
“Oh ya, kalau Buah Batu itu dimana ya pak?”
“Buah Batu itu luas, mau ke daerah mananya?” katanya seketika dengan penuh keramahan.
Aku terdiam sejenak sambil memikirkan apalagi yang harus kujawab. Sebenarnya aku hanya berbasa-basi, menghabiskan waktu menunggu sholat Isya.
“Kalau dari sini Buah Batu di sebelah mana?”
“Kamu putar lagi ke arah Carrefour, itu perempatan pertama, dan setelah itu ada perempatan lagi. nah itu perempatan Buah Batu,” jelasnya.
“Ooooooo”
“Memangnya kamu tinggal dimana?”
“Aku di Cileunyi,”
“Sudah lama di asana?”
“Baru dua minggu. Cuman maen aja sih”

Rasanya seperti saat sesi interview saja. Ia melepaskan kacamatanya dan melatakkan di atas tikar anyaman dari daun nipa berwarna putih gading. Perlahan aku merokok saku jaketku, mencabut sebatang rokok dari dalam kotaknya dan berusaha lebih santai sambil membakarnya. Dalam hisapan pertama, pertanyaan kembali meluncur. 

“Memangnya kamu dari mana?”
“Aku dari Sulawesi,”
“Oooooo…, Makassar?
“Bukan, Makassar itu Sulawesi Selatan,”
“Kalau Sanger?,”
“Itu Sulawesi Utara,”
“Gorontalo?”
“Dulunya Gorontalo masuk wilayah Sulawesi Utara. Tapi sekarang sudah jadi provinsi sendiri,”
“Lantas kamu dimana?”
“Di Palu,”
“Sulawesi Tenggara?”
“Bukan, Palu itu ibukota Sulawesi Tengah,”

Bentrok Tiaka Agustus 2011/ Foto Antara
Aku mulai khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba aku minder, tak ada penjelasan lanjutan dari mulutku untuk menggambarkan kota ku. Keraguan menyelimutiku.
“Oooooo, yang rusuh-rusuh itu ya?”  

Aku tersentak. Sedari tadi aku membayangkan pernyataan itu akan meluncur, tinggal menunggu waktu. Tak ada kesempatan untuk mengelak, aku harus menghadapi pertanyaan berikutnya dengan bijak dan menjelaskannya secara rinci walau dadaku terasa sesak.

“Iya, itu dulu pak, sekarang tidak lagi,”
Tiba-tiba ia berlaku serius, mencondongkan badannya sedikit kedepan seperti ingin mendengarkan penjelasan dari seorang guru.

“Ribut-ribut itu karena apa ya,”
“Akhir-akhir ini disebabkan perkelahian pemuda antar kampung sih. Cuman terus berulang, tak ada yang diselesaikan secara hukum. Entahlah, kenapa aparat keamanan dan pemerintah daerah tak berlaku tegas,”
“Bukan karena masalah SARA?”
“Bukan..! Itu dulu, waktu kerusuhan Poso,”
“Sebenarnya kerusuhan Poso itu bukan dilatarbelakangi SARA. Isu agama hanya dijadikan pemicu untuk memperbesar konflik”
“Ya, memang kalau rebut-ribut yang dipicu oleh masalah SARA, pasti cepat merembetnya,” 

Kami terdiam, sunyi. Seseorang datang dan menyapa. Ternyata waktu Isya telah tiba. Bapak yang tak ku kenal namanya ini langsung menuju tempat wudhu meninggalkanku dalam ketermenungan.
Dua hari sebelum lebaran kemarin, aku menonton sebuah berita perkelahian lagi dari daerahku. Pertikaian pemuda antar kampung. Entahlah, apa konflik-konflik itu memang ditakdirkan untuk akrab dengan warga di daerahku. Atau karena televisi yang terlalu membesar-besarkannya?

Cileunyi, 2 September 2011.


0 komentar:

Posting Komentar