Dongeng ini sangat
khas dengan cara bertutur Pram dalam tulisan-tulisannya. Simpel dan
enteng untuk dibaca. Dari beberapa buku-buku Pram, mungkin Cerita Calon
Arang adalah satu di antara yang paling tipis dengan jumlah bahasan 92
halaman dan terdiri dari dua belas bagian. Atau mungkin inilah buku yang
paling simpel yang ditulis Pram?
Dongeng yang diangkat dari cerita rakyat Jawa Timur ini berkisah
tentang seorang janda kampung. Janda yang gemar melakukan praktek ilmu
teluh. Ia senang menganiaya, merampas dan menyakiti. Seperti dalam
tulisan-tulisannya yang lain, Pram menuliskan Cerita Calon Arang dengan
runut dalam alur maju.
Dalam cerita itu, konon pada jaman dahulu kala,
ada sebuah negeri termashur di Jawa timur yang dulunya bernama Daha, dan
sekarang menjadi Kediri. Kemashuran negeri itu telah tersebar
kemana-mana.
Dalam cerita ini, melalui tangan Pram digambarkan negeri yang damai,
rakyatnya sejahtera, tak ada kasus busung lapar, tak ada rusuh pembagian
zakat.
Semua warga hidup dalam ketentraman. Namun di sebuah desa di
luar kota yang diperintah oleh Raja Erlangga itu, terdapat seorang
perempuan tukang sihir. Calon Arang namanya. Hidup bersama seorang
putrinya yang cantik namun tak bersahabat.
Tak satu pun warga yang
berani menegur sang gadis jika berpapasan. Sebab jika tersinggung, maka
sang gadis akan melaporkan itu kepada ibunya yang tukang sihir itu. Maka
dalam waktu yang tak terlalu lama, orang itu akan mati akibat mendapat
teluhan dari Calon Arang.
Dalam cerita ini, Pram menggambarkan praktek ilmu teluh secara
fulgar. “Kalau mereka sedang berpesta tak ubahnya dengan sekawanan
binatang buas, takut orang melihatnya, yang jika ketahuan mengintip
orang itu akan diseret ke tengah pesta dan dibunuh, dan darahnya akan
digunakan untuk berkeramas oleh para pengikut Calon Arang”.
Nyaris seisi negeri dikuasai Calon Arang ketika ia melakukan praktek
peneluhan secara besar-besaran. Wabah penyakit menyerang seisi negeri,
dan membunuh warga secara masal. Raja pun kewalahan menanganinya, mantra
harus dilawan dengan mantra. Maka diutuslah orang dalam istana untuk
menemui Empu Baradah di subuah dusun di kaki gunung. Hanya sang empuhlah
yang bisa mengalahkan kesaktian Calon Arang. Raja memercayai itu.
Dalam operasi yang sangat cerdik, akhirnya Empu Baradah berhasil
menumpas Calon Arang, dengan mempelajari kitab bertuah milik Calon
Arang. Dan seisi negeri pun bisa kembali seperti sedia kala. Sang Raja
pun berkeinginan untuk menjadi pendeta dan melakukan pertapaan mengikuti
jejak Empuh Baradah. Tak ada kejahatan, kepongahan, yang abadi.
Melainkan kebaikan (ilmu) yang terus bertahan hingga akhir zaman.
Inilah gaya dongeng. Layak dibaca atau diceritakan kepada anak-anak
kita saat mereka tidur di malam hari. Dongeng ini pertama kali naik
cetak pada 1954 oleh NV Nusantara. Cetakan keduanya adalah edisi
Bulgaria. Kemudian pada tahun 1999 dicetak kembali dalam edisi
Indonesia, dan pada 2002 dicetak dalam edisi Singapore oleh Equinox.
Setahun setelah cetakan edisi Singapore, edisi Spanyol kemudian
menyusul dicetak oleh Editorial Cruilla. Sementara buku yang saya baca
ini adalah cetakan tahun 2006 oleh Lentera Dipantara, dengan ukuran
13×20 cm dan ketebalan 94 halaman ditambah kata pengantar, termasuk
cetakan kedua, setelah cetak pertama dengan hak cipta Pram pada tahun
2003.
Berbeda dengan buku-buku yang lain yang ditulis Pram, buku ini simple
dan seakan-akan Pram menulisnya hanya menambahkan bumbuh-bumbuh sastra
seadanya, tanpa melibatkan unsur subjektifitas. Hampir tak ada yang
dilebih-lebihkan kecuali khayal kita yang akan terbang ke suasana desa
yang dulu, jauh ke belakang di zaman kerajaan. Jika anda mempunyai waktu
luang barang sedikit, tak sampai pada menit ke 120 anda akan hatam
dengan dngeng ini.
Menurut Pram dalam pengantarnya, cerita tersebut dikarang pada tahun
Caka 1462. Tulisan lamanya ada dua macam, yaitu berasal dari Jawa dan
diterjamahkan ke Bahasa Belanda oleh R.Ng.Prbatjaraka dalam Bijdr.
Kemudian dimacapatkan (dilagukan) oleh Raden Wiradat dan diterbitkan
oleh Balai Pustaka pada 1931. Sesungguhnya, crita ini ada dua versi,
yakni versi Jawa dan Bali. Memang kedua nama ini: Erlangga dan Bharada
adalah dua nama yang paling berpengaruh dalam sejarah Hindu Jawa.
Penasaran? Bacalah kan..!
Minggu, 02 Oktober 2011
19.48
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar