Ini adalah buku non fiksi dengan
berbagai sudut pandang penulisnya, tentang sosok pemuda idealis yang
hidup pada akhir rezim orde lama. Dengan kegigihan dan keteguhan
jiwanya, idealisme yang ia miliki mengantarkan dirinya terjun bersama
para mahasiswa lain menjadi demonstran pada tahun-tahun 1960an.
Ia adalah Soe Hok Gie, pemuda keturunan Tionghoa yang oleh
kawan-kawannya ketika itu sering disebut ‘China kecil’. Kumpulan cerita
ini diawali dengan detik-detik terakhir kehidupan Soe Hok-Gie. Ia
menemukan akhir hidupnya di dataran tertinggi pulau Jawa, yakni di
Puncak Mahameru gunung Semeru Jawa Timur pada 16 Desember 1969. Dimana
ketika itu ia akan memasuki usianya yang ke 27, ia bertemu maut pada
saat-saat sehari menjelang hari jadinya. Kesetiaan dalam pertemanan
sebagai sesama pendaki, juga akan diulas tuntas oleh Rudy Badil, kawan
Gie yang menjadi saksi dalam tragedi Semeru itu.
Buku berukuran 17,5 X 22 sentimeter ini dikemas elegan dengan bahasa
populer dalam tutur-tutur kawan-kawan seangkatan Gie ini, mengulas
kisah-kisah penting sang pejuang, waratwan lepas, kolumnis yang juga
seorang dosen di Universitas Indonesia.
Sungguh sebuah pengabdian tulus terhadap bangsa, yang luput dari
rekaman rentetan catatan-catatan sejarah. Orang bijak pernah berkata
bahwa “Sejarah hanyalah milik orang-orang yang menang”. Dan saat itu
sebenarnya, kehidupan Gie bukan diperhadapkan pada posisi menang atau
kalah. Tapi pada posisi perjuangan membangkitkan semangat pemuda
(mahasiswa) menyikapi berbagai fenomena sosial politik, budaya dan
ekonomi sebelum dan sesudah bubarnya PKI, dan berakhirnya kekuasaan
Soekarno.
Dalam ketebalan 512 halaman, buku ini akan menghantarkan pembacanya
pada situasi pertarungan rasa, melalui penggambaran situasi yang terjadi
saat Gie aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Semua disajikan
langsung dari kedalaman rasa para pelaku sejarah pergerakan mahasiswa
Universitas Indonesia, yang tak lain adalah kawan-kawan dekat Gie.
Di halaman-halaman hampir separuh buku ini, anda akan menemukan
catatan seorang sahabat yang juga wanita pengagum Gie. Ia adalah Kartini
Sjahrir (Ker) yang mengulas kekaguman dan rasa cintanya terhadap Gie
dalam sepuluh surat yang ditulis sejak 1968. Bagaimana Gie di mata
perempuan (mahasiswa) kala itu, catatan Ker bisa menjadi
representasinya.
Ada sedikitnya 25 orang yang juga berkontribusi memberikan
catatan-catatan mereka tentang Gie, termasuk Rudy Badil, Luki Sutrisno
Bekti dan Nessi Luntungan R, yang menjadi penulis inti dalam buku ini.
Dengan gaya deskriptif seperti dalam penulisan feature catatan
perjalanan dan catatan dalam buku diary, buku ini akan menghantarkan
kita pada sebuah perenungan, bagaimana seseorang bisa menjadi sebegitu
idealisnya dengan kesederhanaan yang dimiliki keluarganya, dan itulah
yang menghantarkannya pada ketenaran sebagai seorang penulis lepas di
koran-koran nasional. Hobinya dalam berdiskusi, membaca, menonton film
dan mendengarkan lagu-lagu kerakyatan, membuat Gie semakin kaya dengan
pengetahuan tentang dunia luar.
Sesungguhnya, buku ini dibuat sebagai bentuk penghargaan kepada Gie
dan kepada kita semua yang masih teguh pada perjuangan melawan tirani
yang saat ini samar namun ada. Bergentayangan di balik tirai-tirai rumah
para penguasa dalam gaya yang berbeda dengan orde baru maupun orde
lama. Bagi Rudy Badil dan kawan-kawan, buku ini sebagai persembahan
untuk merayakan 40 tahun tragedi Semeru (1969-2009), dimana Gie dan
Idhan Dhanvantari Lubis menutup lembaran-lembaran perjalanan
keduniawiannya.
Buku ini penting untuk dibaca sebab banyak hal yang belum sempat
diulas pada film Gie yang diagrap oleh Riri Riza. Riri, Nicholas
Saputra, dan Mira Lesmana juga turut ambil bagian dalam buku ini.
Menyumbangkan catatan mereka untuk memperkaya buku ini dengan prespektif
orang yang hidup di masa 1990-2000an.
Bagi saya, ini adalah buku wajib bagi para mahasiswa semester satu
yang mau belajar menjadi seorang mahasiswa (aktivis). Bukan untuk
diikuti sepenuhnya, tapi hanya sebagai bahan untuk membaca situasi di
masing-masing kampusnya. Gie hidup di masa 1960an, anda hidup di masa
2000an, maka berlakulah selayaknya anda sekarang sebagai mahasiswa.
Minggu, 02 Oktober 2011
SOE HOK-GIE.......Sekali Lagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar