Rabu, 31 Agustus 2011

Palu dan Gayus


Dalam bahasa inggris, kata ini disebut Hammer. Secara sintaksis, kumpulan abjad ini digolongkan dalam kelompok nomina, atau kata benda. Secara funsional, palu adalah alat yang digunakan untuk memukul sesuatu. Sedangkan Gayus, adalah sosok mafia pajak yang populer di negeri ini dan mampu penyedot perhatian media massa dan situs jejaring sosial.
Bagi para tukang, palu digunakan untuk memukul paku menembus papan atau balok, bagi kebutuhan konstruksi. Di tangan para montir, palu digunakan untuk memukul obeng atau benda lain demi keperluan perbaikan. Di tangan para perampok, palu juga berfungsi untuk membongkar sesuatu yang akan dijarah. Namun di tangan para hakim, palu menjadi penentu sebuah keputusan untuk suatu kebenaran dan keadilan. Di tangan pimpinan sidang, baik di forum kongres atau di parlemen, palu digunakan untuk menentukan sebuah kebijakan.
Dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang akrab dengan benda itu, palu digunakan untuk sebuah perbaikan. Tapi, bagaimana jika untuk kepentingan yang berhubungan dengan kebijakan dan keadilan, palu mungkin palu bisa digunakan sebagai pertanda keputusan yang tak sewajarnya.
Dengan kasus Gayus umpamanya. Palu yang diayunkan hakim menghasilkan keputusan penjara selama 7 tahun. Sama dengan palu yang dijatuhakn pimpinan DPRD dalam sidang paripurna tentang besaran APBD, atau untuk sebuah Perda. Keberadaan palu dalam situasi itu tentu akan mendapat respon yang beragam.
Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara Gayus menuai reaksi dari banyak kalangan.

Meski Gayus sendiri terlihat biasa-biasa saja saat mendengar ketukan palu, sesaat setelah putusan dibacakan.
Reaksi itu beragam. Ada yang menilai putusan Gayus terlalu rendah, ada yang mengaggap sudah wajar, dan ada pula menganggap kalau itu baru satu ketukan palu putusan. Dan masih ada ketukan palu lainnya yang akan diterima Gayus pada sederetan kasus yang melilitnya.
Tentu, atas nama kebenaran dan keadilan kita berharap kasus Gayus menjadi penentu bagaimana palu bisa digunakan bukan hanya sebagai simbol biasa, tapi juga sebagai kepastian bagaiman keadilan benar-benar ditegakkan seperti kokohnya Monas di jantung Jakarta. Sebagai bangsa, kita patut berharap ketukan palu Gayus pertama itu bisa menjadi awal untuk memancing palu berikutnya terhadap sederet nama pemilik perusahaan dan oknum penegak hukum, yang sempat disebutkan Gayus.
Palu, akan tetap berfungsi selayaknya palu. Ia tak akan membuahkan hasil apa-apa ketika diketuk oleh orang-orang yang belum sepenuhnya mengetahui fungsi mendasar dari palu itu sendiri.

Palu, ( Maaf lupa waktunya)

0 komentar:

Posting Komentar