Sabtu, 11 Oktober 2014

Sampaikan Ide Lewat Film Pendek: Lumayan Bisa Jalan-jalan Gratis ke Luar Negeri



Yusuf Raja Muda

PALU memang tidak semaju kota-kota di Jawa dan Sumatera. Di wilayah Sulawesi, juga keberadaannya masih banyak ketinggalan. Namun tak ada batasan antara perkembangan dinamika kota dengan kreatifitas orang-orangnya. Buktinya, meski Palu belum banyak dikenal, namun orang-orangnya bisa tampil dengan kreatifitasnya di kanca nasional maupun internasional. Sudah banyak seniman Palu yang dikenal di tanah air. Kebanyakan adalah musisi, juga pemain film. Namun untuk suteradara dan produser, masih beberap saja. Di era informasi dan teknilogi yang semakin pesat ini, siapa saja bisa memugkinkan untuk menjalankan hobinya, menjadi apa dan mau bengukir prestasi di bidang apa.
Setelah bioskop di Palu tutup di awal penghujung tahun 1990an, praktis dunia film beralih dari layar lebar bioskop berpindah ke media audio visual yang lebih kecil. Televisi dan komputer menjadi sarana yang memungkinkan orang untuk menikmati film kesukaan mereka.
Adalah Yusuf Raja Muda, sosok yang mencoba mengambil peluang itu untuk mengembangkan kreatifitasnya di dunia film. Sejatinya, ia berprofesi sebagai PNS di lingkup pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Namun namanya lebih dikenal secara nasional, bahkan internasional di dunia film pendek. Ia menekuni hobinya dengan kesenangan dan kepekaan rasa, untuk mentransfer alam bawa sadarnya ke media audio visual. Setelah kembali dari kunjungannya ke Kota Vladivostok di Rusia Timur akhir pekan kemarin, Ucup, panggilan akrabnya, berbagi cerita dengan wartawan media ini di salah satu cafe di Palu Selasa malam lalu (23/9). Untuk mengetahui bagaimana Ucup menjalani hobinya, mengisi waktu-waktu senggang di luar aktifitas kantornya, berikut petikan wawancaranya bersama Mohammad Sahril, dengan gaya khas bicara anak muda Kota Palu.

Kabarnya komiu baru pulang dari Rusia ya, acara apa?
Biasalah festival. Alhamdulillah “Halaman Belakang” masuk nominasi lagi di Pacific Meridian Festival di Vladivostok, Rusia Timur. Satu minggu di sana, sudah termasuk perjalanan. Itu kota kecil, jauh dari Rusia, sudah mo dekat Korea malah. Tapi asik.

Bagaimana respon-nya dorang di sana dengan Halaman Belakang?
Responnya sangat luar biasa. Banyak kritik, banyak masukkan. Banyak juga yang mengaku bingung. Seperti yang biasa saya bilang, bahwa semakin banyak orang mengomentari filmnya kita, akan semakin banyak hal-hal yang tidak sempat kita pikirkan muncul. Maksudnya, apa yang kita tampilkan melalui film itu, ketika diinterpretasi sama penonton, jadi lebih kaya. Saya tidak sempat pikirkan, tapi penonton pikirkan. Saya merasa terharu sekali, waktu acara diskusi setelah film-ku diputar. Ada ibu-ibu so tua. Bisa dibilang nenek-nenek juga. Dia batanya pake bahasa Rusia, saya tidak mengerti, tapi waktu selesai diskusi dia peluk saya, dia terharu sampe menangis.

Wah sebegitunya kah? Luar biasa komiu le. Apa sebenarnya yang komiu mo sampaikan melalui Halaman Belakang ini? Sampe nenek-nenek juga menangis-menangis.
Sebenarnya halnya sederhana. Saya hanya mau menyampaikan kegelisahan yang selama ini saya pikirkan kepada semua orang. Kalau di antara penonton itu ada yang sama pikirannya dengan kegelisahanku, ya syukur alhamdulillah. Kalu tidak ada, tidak masalah. Yang penting kegelisahanku tersalurkan. Tapi yang penting ada yang nonton. Kritik keras atau bapatende sekalipun, dibutuhkan untuk saya secara pribadi, biar film-film-ku bisa dinonton orang banyak nantinya.

Bagimana ceritanya kah?
Saya hanya mau ceritakan tentang kondisi kemenakanku, Jay, yang ditinggal papanya selama empat tahun. Dia menjalani hari-harinya kurang bahagia. Tapi dia mencoba melarikan kekesalan dan protesnya dengan bermain. Namanya juga anak-anak. Tapi saya tau, bahwa Jay itu sakit hatinya. Makanya kalau saya belikan anakku permainan, Jey juga dibelikan. Saya berusaha menggantikan sosok papanya. Walaupun dia panggil saya Papa Al. Biar Jay tetap merasa ada orang yang selalu memperhatikan, saya selalu berusaha untuk tidak melupakan Jay. Kalau saya pulang kantor, selain dua anakku, Jay juga saya tanya kondisinya bagimana. 

Saya dengar film itu berbeda dengan film-filmnya komiu  sebelumnya, gendrenya  apa?
Film itu banyak orang bilang gayanya sangat eksperimental, tapi saya tidak mau bilang begitu. Film itu jadi, mengikuti bentuknya secara alamiah sampe tahap akhir. Saya melakukan beberapa kali penulisan secara berulang-ulang, sampai pada saat saya merasa sudah memenuhi unsur ‘rasa’ yang saya mau sampaikan itu. Saya pake gambar hitam putih, karena waktu take awal, rasanya pas dengan gambar begitu. Orang bilang bahwa film ini karena gayanya eksperimental, jadi banyak makna terselip di dalamnya. Filosofislah, semiotiklah, dan macam-macam. Itu hak penonton untuk menginterpretasi. Di Rusia kemarin, orang-orang bertanya, dan saya menjawab apa adanya. Dorang tidak percaya. Mungkin dorang bilang saya bohong. Terpaksa saya harus jelaskan lagi dengan apa adanya. Saya juga kaget, ada penontonku yang mencoba menafsirkan adegan menyiram bunga dalam film itu kepada kondisi keluarganya Jay dan harapannya. Ceritanya begini: kan ada tiga pot bunga, satu pot itu layu bungannya. Mamanya Jay tidak menyiram bunga yang layu itu. Tapi Jay, dengan gerakan yang agak segan, menyiram bunga yang layu tadi. Penontonku itu bilang, ketika Jay menyiram bunga, artinya dia punya harapan bahwa ia ingin papanya kembali. Bunga yang layu itulah sebagai bapaknya. Adegan itu, secara tidak sadar saya konstruksi. Tapi itu benar adalah bentuk perwakilan pikirinku yang mau disampaikan pada penonton. Temanku yang sutradara juga, orang Jogja, sampe berfikir begini: bagaimana kondisi masa depan generasi kita sekarang, kalau kebanyakan mereka mengalami masalah broken home? Tanggapan-tanggapan itu saya tidak pernah pikirkan. Penonton itu memang luar biasa. Mereka mampu melampaui gagasan-gagasan suteradara. 

Tantu itu film so di putar dimana-mana?
Tidak juga, cuman untuk beberapa festival di Indonesia sudah diputar. Awalnya dapat penghargaan di Ladrang Award di Festival Film Solo tahun 2013 lalu. Di luar negeri, sudah beberapa kali juga. Di Dubai, di Rusia, dan di Iran nanti. Dan karena film itu, saya sudah beberap kali dapat kesempatan ke festival internasional. 

Saya dengar film itu orang bilang film keluarga?
Betul skali. Tema yang saya angkat itu tentang dinamika keluarga. Keluarga dekatku malah. Pemainnya juga keluargaku. Kan hanya dua pemain dengan adegan tiga babak itu. Jay itu memang Jay yang asli, kemenakanku. Ibunya Jay diperankan maituaku. Saya yang suteradara, dan teman-temanku anak SMA yang jadi kameramen. Lokasinya juga di rumahnya maceku di Maesa. Irit kan?

Oh iyo, hampir lupa. So berapa lama komiu bergelut di film?
Pertama tidak langsung terjun. Liat-liat saja. Saya memang suka nonton film. Dulu tahun 2003, orang Palu sudah buat film panjang. Judulnya “Telunjuk tak Kerarah” karyanya Eman Sirajudin. Kebetulan maitua juga yang main di film itu. Jadi saya ikut bagabung-gabung. Pertama saya buat film pendek yang judulnya “Sahabat dan Harapan” tahun 2006. Ini cerita tentang dua anak putus sekolah, yang sangat akrab berteman. Akhirnya mereka berpisah karena yang satunya ada orang yang mau sekolahkan, tapi harus pindah ke Parigi. Itu film pertamaku. Saya belajar pegang kamera pertama waktu Mace naik haji, saya soting-soting sembarang, trus saya edit. Walaupun masih banyak kekurangannya, tapi saya pus. Trus sampe sekarang saya Alhamdulillah masih tetap eksis di film pendek.

Komiu banyak diajak ke luar negeri karena kedekatan relasi dengan sutradara dengan nama besar, bagimana itu?
Ia. Sebenarnya bukan hanya suteradara. Tapi dengan kurator film, mereka yang sering jadi penggagas film, kritikus dan siapa saja yang terkait dengan film. Pertama kali saya ke Jerman, itu karena disarankan oleh Lulu Ratna. Dia suteradara, sekaligus kurator film. Waktu itu kebetulan ada acara festival di Berlin. Berlinale nama festivalnya. Ini termasuk festival film tua juga. Goethe institute Jakarta, ada program yang akan memberangkatkan orang ke acara itu. Nah melalui Lulu, saya dikontak dan saya nyatakan siap berangkat. Untung ada sedikit modal waktu kuliah dulu di Bahasa Inggris. Jadi tidak terlalu khawatir. Untuk beberapa kali keluar juga begitu, selain memang filmku masuk nominasi atau dapat penghargaan. Seperti waktu festival Cinema Prancis kemarin, saya kan dapat sutradara terbaik, hadiahnya mengunjungngi festival di Clermont Ferrand.

Tentang bioskop di Palu, apa komiu pe komentar?
Iya, saya dengar akan ada bioskop nanti. Paling di mall tempatnya. Bagi saya, keberadaan bioskop itu mestinya bisa satu sama lain mendukung dengan geliat kreatifitas perfilman di Palu. Saya pikir bukan hanya bioskop, tapi kalau ada fasilitas lain yang layak untuk menunjang kreatifitas kita, akan lebih baik. Untuk apa hadir fasilitas-fasilitas itu kalau tidak saling mendukung. Kalau kami, tidak butuh banyak. Kami hanya butuh ruang ekspresi yang kalau pemerintah mau mensupport, kita bisa bergandengan tangan. 

Gairah remaja Palu membuat film bagimana?
Ya pada umumnya responnya cukup positif. Beberapa sekolah sudah memberi ruang untuk kami berbagi dengan siswanya dorang. Saya beberapa kali diminta buat klinik film di SMA 1, di SMP Al Azhar. Minat mereka tinggi. Anggotaku di film Halaman Belakang, semuanya anak SMA. Cuman mereka butuh ruang ekspresi yang lebih luas lagi, terutama di Palu. Soal mereka mau serius di dunia film, ini belum bisa diukur. Yang pasti mereka mau belajar. 

Komiu serius ini di film?
Uh, berat sekali komiu pe pertanyaan le. Tapi bagaimana pun saya tetap memelihara semangat untuk tetap babuat film. Semangat ini mungkin sampe mati saya jaga. Sebab begini, saya melakukan ini semua untuk memenuhi kebutuhan hobi. Saya senang dengan film karena ini menjadi media saya untuk berbagi dengan orang lain. Kalau komui kan menulis berita, banyak yang baca. Dan setahu saya, jadi wartawan itu juga bukan hanya sekedar pekerjaan. Tapi dikombinasikan dengan hobi menulis dengan idealisme. Berimba? Saya juga kurang lebih begitu, cuman medianya saja yang beda. Dan untungnya, saya tidak dikejar deadline. Kapan saja kalu ada waktu, saya kerjakan satu-satu tahapan membuat film itu. Dalai Lama pernah ditanya, apa yang paling membingungkan di dunia ini? Dia bilang manusia. Manusia itu mahluk paling unik. Dia mengorbankan kesehatannya untuk mendapatkan uang. Dan ia akan menghabiskan uang untuk kesehatannya. Manusia itu selalu menyesali masa lalunya. Dan meresahkan masa depannya. Sampe-sampai dia tidak bisa menikmati hari-harinya, dia lupa waktu bahwa dia hidup. Kalau begitu, apa yang dia dapatkan di dunia ini? Masa depan itu direncanakan saja, jangan dipermasalahkan. 

Yang terakhir, apa komui merasa sudah menemukan kesenangan dalam film?
Susah juga ini pertanyaan. Sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar susah dalah menjalani hidup ini. Dan tidak ada orang yang benar-benar senang. Yang ada hanyalah bahwa dia harus menjalani hidupnya. Kalau dia tidak senang menjalani hidupnya, berarti dia mau mati. Tapi yang ada, bagaimana pun susah atau senang dalam hidupnya, tetap dia akan menjalaninya. Biasanya kita membicarakan zona nyaman dalam menjalani hidup. Ini naluri manusia, selalu mencari kenyamanan dalam hidupnya. Tapi bagi saya, kelau orang selalu mencari zona nyaman itu, ia tidak dapat banyak hal. Di zona tidak nyaman, dia akan mendapat hal yang lebih untuk dia berproses.   

Berpose bersama di Pacific Meridian Festival di Vladivostok-Rusia.  RĂ©mi St-Michel (Canada)-Naama Piritz (Israel)-Yusuf Radjamuda (Indonesia).





0 komentar:

Posting Komentar