Sabtu, 18 Oktober 2014

Alwi Hamu: Pembangunan Infrastruktur Wilayah Timur tak bisa Ditawar lagi # Pengembangan komoditas harus dengan pendekatan kawasan



Waktu itu sudah tengah malam, ketika Alwi Hamu tiba di Hotel Palu Golden. Setelah landing di Palu pukul 20.00 Wita, ia langsung dijemput oleh beberapa kawan lamanya menuju kompleks Patra di Pasar Impres Manonda, milik ketua Lembang 9 Instutute Wilayah Sulteng, Amin Badawi. Ini adalah kesekian kalinya Alwi  datang ke Palu. Kedatanganya kali ini adalah untuk sebuah agenda yang tak kala penting dari urusan-urusan bisnis. Sebagai ketua umum Lembang 9 Institute, ia menjadi pembicara utama dalam acara Rembuk Nasional ke VII di Palu, pada Rabu 15 Oktober 2014 lalu. Acara yang digagas bebarapa lembaga non pemerintah tersebut membahas sejumlah agenda pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla seperti Tol Laut. Alwi yang meski dalam keadaan cukup lelah setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam dari Jakarta ke Palu, malam itu masih menyempatkan diri untuk berbincang bersama wartawan Palu Ekspres. Ia menerima kedua awak media ini di kamar 120 lantai 2 PGH, setelah beberapa rekannya meninggalkan ruangan. Dalam suasana tenang dan santai, Alwi bercerita tentang sejumlah gagasan lembaganya dan kondisi negara Indonesia dalam pendekatan pembangunan yang merata. Sudah barang tentu pembicaraan akan menyinggung pembangunan di kawasan timur Indonesia, yang selama ini masih banyak teringgal. Dalam pembicaraan, ia juga mencoba menggambarkan perbandingan-perbandingan antara Indonesia dan Cina dalam prospektif pembangunan. Untuk lebih jauh mengetahui apa yang mereka bincangkan, berikut petikan wawancaranya bersama wartawan PE, Mohammad Sahril dan Fotografer Ananda Rioeh.

Saya dengar gagasan tentang program Tol laut ini adalah buah pikiran dari lembaga yang anda pimpin. Bagaimana ceritanya?  
Tol laut itu adalah Traffic Operational Logistic, jadi jangan salah paham. Bukan seperti  jalan Tol yang ada di darat, berbayar. Bisa dikatakan ini kebijakan untuk mengatur lalulintas di laut. Jadi, nanti kapal-kapal akan berlayar pulang pergi dari Sabang samapi Merauke. Melewati sejumlah pulau-pulau yang ada di nusantara ini. Misalnya ambil barang dari Jakarta, singgah di Surabaya, Makassar, Palu, sampai ke Ambon dan Papua. Sampai di sana akan balik lagi ke ujung barat, di Sabang. Begitu terus. Sehingga ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah. Selama ini, ongkoslogistik kita dibayar dua kali lipat. Orang mengangkut barangnya dari Makassar misalnya,  ke pelabuhan mana saja menuju Papua, dari poin to point, menuju pelabuahan Sorong, pulangnya kosong. Karena tidak ada barang yang diangkut. Kalau lalulintas di laut ini lancar, orang mau muat Semen dari Makssar ke Sorong, tidak bayar dua kali lagi. Karena ada barang yang akan dibawa kembali dari sana. Tidak pulang kosong. Kalau Tol laut berjalan baik, biaya logistik kita akan lebih murah. Coba bayangkan, kita kirim barang dari Jakarta ke Cina, lebih murah dibanding dari Jakarta ke NTT. Makanya kita lebih memilih impor. 

Dengan kebijakan yang mempermudah akses dan menekan biaya logistik ini, apakah dengan begitu kita akan mengurangi import?
Apa yang mau diimpor? Kalau bahan pangan, kemungkinan tidak lagi. Tapi perlu diketahui bahwa kenapa kita terus mengimpor beras, gula dan bahan-bahan pokok lainnya, itu karena di sana harganya lebih murah. Pemerintahnya memsubsidi biaya produksi dari komoditasnya. Sehingga nilai jualnya lebih murah. Tapi menguntungkan bagi pemerintah, karena rakyat itu tidak cengang. Selama ini yang pemerintah kita lakukan hanyalah BLT, bantuan langsung tunai. Tidak ada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini kan akan menciptakan budaya masyarakat yang malas. Hanya menunggu BLT dari pemerintah. Kalau di luar itu, kerja dulu baru dibayar. Walaupun untuk membayar itu negara rugi. Tapi lebih baik begitu, daripada subsidi BBM. Yang disubsidi itu kan bukan masyarakat kecil. Orang pemilik mobil-mobil besar. Merekalah yang punya kenderaan dan banyak menggunakan minyak. Orang miskin ini apa, mereka hanya jalan kaki. Kalau pun ada orang kecil yang sudah mampu membeli motor, ongkos BBM-nya juga tidak seberapa. Paling 1 liter bisa makan 50 km. Tapi coba bandingkan dengan Mercy misalnya, 1 liter bisa hanya empat sampai 5 km. itu artinya, tetap hanya orang kaya yang menikmati subsidi BBM ini. Mereka di sana berfikir tangan di atas, bukan tangan di bawah.

Mestinya menurut anda, subsidi itu diarahkan pada sektor apa?
Karena untuk BBM sangat tidak berpihak pada rakyat kecil, maka yang mesti disubsidi itu adalah sektor produksinya. Masyarakat petani harus disubsidi pupuknya, ada jaminan pemerinta terhadap nilai jual hasil pertaniannya. Ini yang mesti diulakukan, sehingga kalau harga tidak stabil, mereka tidak merugi. Sebab ongkos produksinya sebagian sudah ditanggung oleh pemerintah. 

Kalau kita lihat kontribusi wilayah terhadap perekonomian nasional, wilayah Indonesia timur itu sangat rendah sekali. Sulawesi sendiri hanya 4,6 persen. Sementara Jawa 57,5 persen. Bagaimana ini bisa perlahan-lahan disejajarkan?
Tol laut ini kan bisa menghubungkan titik-titk ekonomi sehingga perputaran barang menjadi lancar. Harga-harga bisa ditekan. Dulu ada namanya PPSS, Perusahaan Pelayaran Sulawesi Selatan. Sekitar awal-awal kemerdekaan sistem pelayaran ini dibangun. Ini dikelola bersama oleh pemerintah dan swasta. PPSS ini secara teratur melayani pelayaran untuk wilayah Sulawesi dan sebagian indoneseia timur. Ada beberapa vider-vider, yang singgah di pelabuhan kecil yang menjadi tempat persinggahannya. Jadi dia berlayar dari Manado, singgah di Toli-toli, singgah lagi di Palu, di Mamuju atau Polmas, lalu ke Makassar. Itu barang-barang yang diangkur rata-rata hasil bumi. Semua barang-barang itu terkumpul di Makassar. Nah untuk diangkut ke Surabaya, terntunya menggunakan kapal besar. Waktu itu umumnya barang-barang untuk bahan baku masih diolah di Surabaya, bukan di Jakarta. Jadi nanti kapal yang datang ke Makassar itu, membawa barang-barang produksi. Sampe di Makassar, baru kapal-kapal PPSS ini yang sebarkan ke daerah-daerah tadi. 

Begitu juga dengan idenya sekarang. Jadi akan ada pelabuhan-pelabuhan untuk vider-vider, yang nantinya mengangkut barang-barang dari pelabuhan kecil, dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan besar. Misalnya di Papuan itu ada pelabuhan besar di Sorong. Itu yang akan menampung barang-barang dari daerah-daerah sekitar situ. Kan tidak mungkin kapal-kapal kecil ini yang akan membawa barang-barang menuju Makassar atau Surabaya. Sudah tidak zamannya. Masa kapal kecil dipaksa mengarungi samudera yang luas ini? Apa keuntungannya, yang pertama biaya logistik bisa lebih murah, perekonomian lokal bisa tumbuh, dan tentu industri bisa masuk.

Kebijakan ekonomi pemerintah sejauh ini masih bertumpuh pada sektor-sektor yang ada di darat, seperti tambang dan perkebunan skala besar. Bagaimana menurut anda, apakah ada alternatif lain?
Ada, agribisnis, kelautan, pariwisata. Sektor-sektor itu sangat potensial untuk dikembangkan. 

Selama ini, apakah sektor-sektor itu belum disentuh?
Sudah, tapi belum digarap secara baik. Ini harus diserahka pada swasta. Pemerintah tidak mungkin menangani  secara keseluruhan. Pemerintah cuman membimbing saja. Swastalah yang mengembangkan itu. Misalnya di Palu ini sudah banyak mal, itu kan swasta. Cuman ada satu hal yang perlu dikembangkan lagi oleh pihak swasta, yakni daerah tujuan wisata. Ini yang diperbaiki. Di sini cukup banyak. Misalnya Taman Nasional Lore Lindu, kepulauan Togean. Daerah-daerah itu sangat potensial dengan panorama alamnya. Saya pernah buat buku tentang Lindu itu. Teman saya dari Cheko datang melihat kawasan itu setelah membaca buku saya. Begitu dia datang ke Togean, dia buat foto seperti perahu terbang. Itu saking jernihnya air laut di sana. Perahu tenang berlayar di atas karang-karang, dengan ikan-ikan hias yang indah dan banyak ragamnya. Nah ini yang mesti diperhatikan dan dijaga oleh pemerintah.

Tapi belakangn sektor ini juga bisa terancam dengan kebijakan pertambangan dan perkebunan skala besar. Menutrut anda bagaimana?
Sektor tambang tidak bisa menjadi primadona. Kebijakan untuk mengolah lebih dulu bahan tambang di daerah penghasil, kebijakan membangun smelter ini, sangat baik. Kenapa, karena selama ini kita menjual tanah air. Tanah kita dikeruk sepenuhnya lalu diekspor ke luar negeri. Kalau kita olah di dalam negeri, harganya bisa meningkat dua kali lipat. Yang kedua, dia menciptakan lapangan kerja baru di daerah-daerah pertambangan. Itu yang perlu dipikirkan oleh pemerintah, memberikan lapangan kerja , bukan subsidi-sunsidi semacam tadi, BBM dan BLT itu. Di Cina seperti itu. Untuk mengurangi rakyat disubsidi, disumbang-sumbang, dibukakan lapangan kerja. Ini perlu perubahan mindset. Pemerintah Cina untuk mempekerjakan masyarakatnya, memberlakukan kebijakan begini; semua barang-barang yang diproduksi di utara, harus diekspor dari selatan. Untuk mengangkut barang-barang itu harus melalui kereta api. Otomatis ini membutuhkan tenaga kerja.  Dari segi bisnis, ini merugikan. Tapi pemerintah secara tidak langsung untung. Karena ini adalah upaya untuk membina masyarakat untuk bekerja, mendorong agar dia punya daya saing. 

Bagaimana dengan kita di sini?
Kita di sini, lebih memilih impor, karena biaya produksi kita mahal. Di tataran petani misalnya, untuk menghasilkan beras saja, itu lebih besar biayanya daripada harga jualnya. Makanya kita lebih cenderung impor. Petani kita tidak akan berkembang dengan pola seperti ini. Mestinya pemerintah mensubsidi ongkos produksi. Seperti di Thailand, pemerintah mensubsidi para petani, sehingga harga berasnya bisa bersaing di pasar Asia. Berasnya bisa masuk sampai di Indonesia dengan harga relatif lebih murah dibanding harga beras dalam negeri kita. Kita di sini potensinya besar. Untuk menciptakan garam sangat mudah. Musim panas, kita tamping saja air laut, dikeringkan adalam waktu tertentu, jadilah Kristal-kristal garam. Tapi apa kenyataannya sekarang, garam pun kita impor. Import itu memang menguntungkan, tapi hanya sesaat. Dalam jangka panjang tidak bisa diharapkan. Kita rugi, kita akan kehabisan. Sama dengan tambang itu. Selama ini, tambang itu hanya bikin kaya investor. Sebab bahan-bahan tambang kita diekspor keluar. Masyarakat kita yang di sekitar tambang itu tetap miskin. Tapi kalau dibangun pabriknya di daerah tambang, ini bisa meningkatkan ekonomi masyarakat.

Dengan dibukanya industry, saya khawatir masyarakat kita susah untuk terserap, sebab pendidikannya masih rendah sekali. Menurut anda?
Sebenarnya tidak juga. Industri itu kan membutuhkan banyak tenaga kerja. Dan levelnya juga beda-beda. Ada yang ahli, setengah ahli hingga pekerja. Kalau pendidikannya rendah, hanya tamat SMA, otomatis akan menjadi pekerja. Kan diserap juga dia dalam industri. Dan perlu diingat, 80 persen tenaga di industry itu dipenuhi oleh level pekerja tadi. Coba kita lihat bagaimana dengan TKI kita, kan banyak kerjanya menjadi buruh di luar negeri. Buruh tani, buruh kebun di Malaysia. Hanya di sini mereka gaga-gagahan pas pulang kampung. Kembali ke negara tempat dia bekerja, dia juga akan kembali sebagai buruh. 

Apakah nanti akan ada relasi positif antara kebijakan kita menumbuhkan industri dalam negeri, dengan pengurangan pengiriman TKI ke luar negeri?
Sementara ini memang mindset kita lebih cenderung bekerja di luar. Dulu orang Bugis bilang, lebih baik miskin di kampung orang, daripada setengah kaya di kampung sendiri. Kalau kita dianggap setengah kaya di kampung sendiri, dibilang “Eiii, siddi mi doinna”. Dia bekerja di luar negeri, pulang, kemudian belanja baju yang bagus-bagus, arloji yang mahal-mahal. Tapi pas pulang ke tempat negara dia bekerja, kembali pake baju ‘kutang’, pake celana kolor. Kembali menjadi pekerja. Inilah yang perlu dirubah. Inilah yang menurut Jokowi-JK revolusi mental itu. Tidak bisa tidak, ini harus dirubah. Coba lihat orang Cina, biar dia sudah punya uang banyak, masih tetap juga pake celana pendek. Kalau kita mana mau. 

Bagimana menurut anda dengan pembangunan di kawasan timur?
Sebenarnya tidak jauh berbeda antara kondisi masyarakat di Jawa sana dengan Sulawesi. Di sana juga masih banyak orang miskin. Di Banten, tadi pagi saya baca di korang, guru mengajar di sekolah yang dibangun seperti gubuk. Mengajar dengan papan tulis yang sudah robek-robek.  Tapi begini, di Indonesia timur ini, saya juga pernah mengusulkan dulu bahwa ia dikelompokkan dalam daerah tertingal. Sehingga perhatian pembangunan juga ada. Di timur ini banyak sekali mineral, bahan tambang. Tapi karena infrastrukturnya kurang, maka tidak ada industri yang mau masuk. Yang ada sekarang hanya perusahaan-perusahaan skala kecil. Kenapa, karena infrastruktur kita kurang mendukung. Listrik kita masih kurang, jalan-jalan kita masih sedikit. Pelabuhan, bandara yang masih tertinggal.

Oh ya, soal infrastruktur ini juga menurut banyak kalangan ada hubungannya dengan jumlah penduduk, sehingga dikhawatirkan akan mubazir jika dibangun dan tidak digunakan. Misalnya kalau dibangun kereta api, dengan jumlah penduduk yang kurang, apa bisa dimanfaatkan? Menurut anda bagaimana?
Ketika Ambon tidak ada jalan dari lapangan terbang ke kotanya sekitar 30 km lebih, waktu itu gubernur Maluku, yang saya kenal dekat karena teman saya, mengajukan permohonan ke pusat untuk membangun jalan menghubungkan bandara ke kota. Waktu itu, dari kota ke bandara dibutuhkan waktu hamper 2 jam. Waktu itu jawaban Bappenas, belum cukup kenderaan di Ambon untuk dibuatkan jalan seperti usulan tadi. Itu adalah cara berfikit terbalik. Sekarang begini, pilih saja, yang mana sebenarnya duluan, telur atau ayam? Kalau orang optimis, ya dia akan memilih membangun jalan. Kenderaan itu akan ada, kalau ada jalan yang tersedia. Bagaimana mungkin orang beli mobil, kalau tidak ada jalan yang ia akan lalui. 

Anda selalu mengambil contoh di Cina, dan anda beberap kali ke sana. Bagaimana kebijakan pembangunan mereka di sana?
Saya tahun 1970 ke sana. Saya temukan kondisi yang sangat pemprihatinkan. Jalanan masih jelak, tidak ada fasilitas yang memadai. Saya dalam perjalanan dari Gwangco mau ke Sincen, di tengah jalan saya mau buang air kecil. Kami berhenti di sebuah distrik, yang saya lupa namnya. Ada 5 tower di situ untuk pekerja. Toiletnya kotor sekali. Saya tidak jadi buang air, yang mau dikeluarkan malah masuk lagi. Tapi hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, tahun 2007 saya kesana lagi, pembangunannya luar bisaa. Di tempat itu sudah ada lima hotel berbintang yang dibangun. 

Ceritanya pada masa reformai tahun 1989 di sana, pemerintah memfokuskan pembangunan pada infrastruktur. Semua gubernur diperintahkan untuk membangun jalan antar provinsi. Mereka mebangun jembatan, membangun listrik. Kalau tidak ada uang, minta kredit di bank. Tapi ingat, tidak boleh bangun kantor yang mewah-mewah. Semua pelayanan dsilakukan dengan fasilitas sederhana saja. Tapi ketika saya kesana tahun 1994, apa yang terjadi? Ada 8 gubernur yang dipenjara. 

Kenapa, karena korupsi?
Bukan karena korupsi. Apa juga yang mau dikorupsi, sebab tidak ada uang yang bisa dikurupsi. Mereka mebangun rumah jabatan, membangun kantor mewah-mewah, ber-AC dan lain sebaginya. Di sana yang menyalahi aturan, tidak tanggung-tanggung, dipenjara. Bahkan ditembak mati. Kantor pemerintahannya di sana sangat sempit mungkin di dunia. Modelnya sama semua. Nah, untuk membangun negeri ini dengan baik, rubah mindset. Lagi-lagi adalah revolusi mental. Tidak bisa berfikir meminta, menunggu pemerintah memberikan bantuan. Itu tidak menciptakan tantangan. Kita harus berani mengambil resiko. Seperti di Palu ini, komoditas apa yang bisa dikembangkan di sini. Ini harus digali.

Menurut anda?
Di sini setau saya tanahnya subur. Artinya, pertaniannya bias berkembang baik. Tapi  tidak bisa disamakan antar wilayah satu dengan lainnya. Harus ada pembeda, sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Tidak semua harus kakao. Sebab tidak semua tanah bisa ditanam kakao. Ada beberapa daerah bisa ditanam mente.

Bagaimana dengan pola pikir masyarakat kita yang cenderung ikut-ikutan ‘lata’. Kalau ada yang berhasil tanam cengkeh, semua tanam cengkeh. Begitu juga dengan komoditas lain. Menurut anda bagaimana?
Nah itulah yang saya bilang revolusi mental. Saya mau kasih contoh begini:  dalam sederet rumah, salah satunya membeli angkot, pete-pete. Kemudian di sebelahnya juga ikut. Dan begitu juga dengan tetangga lainnya. Jadilah kelompok itu masyarakat yang berprofesi sebagai sopir pete-pete. Lantas terjadi persaingan, akhirnya bating harga. Yang rugi kan juga mereka sendiri. Nah untuk menghindari itu, harus ada komoditas per wilayah. Tidak bisa seluruhnya sama. Dan kalau saya, jangan sampai pemerintah member izin membuka lahan perkebunan Sawit. Bagi saya, ‘No’ Sawit.  Kenapa?  Sawit itu punya pabrik yang mahal. Sawit itu tidak dimakan, harus dipabrik.  Kalau kau petik sekarang, 24 jam kemudian sudah busuk. Karena sawit itu perkebunan yang dibangun untuk menguntungkan satu orang saja.  Bukan untuk rakyat. Harus 10 ribu hektar lahannya. Saya selalu mengkritisi perkebunan sawit. Karena ini hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha besar. Misalnya di Kalimantan Timur, di Bengkulu Selatan, masyarakat menanam sawit 1 hingga 5 hektar. Mereka kan tidak punya kemampuan untuk mengelola sendiri. Harus pabrik. Akibatnya, mereka diperas, disuru antre, karena takut tidak dibeli sama perusahaan. Kalau tidak dibeli, rugilah dia, karena akan busuk kalau lebih dari 24 jam tidak diolah. Kemudian muncul broker-broker yang menawarkan harga murah. Mereka tidak bisa berbuat banyak, karena terkendala waktu. Broker, yang juga banyak dari orang perusahaan itu bilang, kalau kau tidak mau jual dengan harga yang mnereka tawarkan, tidak apa-apa. Tidak dipaksa. Tapi resikonya berat untuk petani. Apa itu bakan pemerasan? Sawit ini memang bukan tanaman untuk mensejehterakan rakyat.

Bagaimana dengan kakao?
Kalau kakao tanaman rakyat. Petani bisa memilih mau jual kapan saja kakao-nya, tidak tergantung pada perusahaan. Bisa disimpan pada waktu lama. Begitu juga dengan karet. Petani tidak ketergantungan dengan pabrik. 

Ini sedikit politis, apa anda yakin kebijakan Jokowi-JK nantinya bisa jalan baik. Tidak dihambat oleh KMP?
Saya yakin tidak. Undang-undang kita berpihak pada pemerintahan. Kan presidensial. 

Yang terakhir, apa kesan anda ketika datang lagi ke Palu?
Saya tidak tahu pasti, apa yang membuat kota ini menjadi tumbuh ramai begini. Saya sering datang ke Palu kalau ada urusan. Saya dengar industri bawang gorengnya tumbuh, tapi perlu disentuh oleh pemerintah lagi biar bisa meningkatkan daya saingnya. Saya pertama kali ke Palu sudah sejak umul 5 tahun, sekitar tahun 1949. Keluarga saya, kakek nenek saya di Wani. Saya tingal di sana. Jadi kalau kami dulu mau ke Donggala naik kereta yang ditarik sapi. Asik sekali, seru.



2 komentar:

  1. Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk investasi yang lebih besar? Pinjaman untuk ekspansi bisnis? Pinjaman untuk investasi baru? Pinjaman untuk melunasi utang jangka panjang dan tagihan. Cari tidak lebih, kita pemberi pinjaman dalam hubungannya dengan bank dan jaminan penawaran yang transparan, menawarkan pinjaman dengan bunga rendah, non agunan. Kami di sini untuk menempatkan dan mengakhiri kemiskinan dan pengangguran, karena setiap orang memiliki / potensi sendiri. Hubungi kami hari ini dan Anda akan menjadi salah satu pelanggan kami yang terhormat. mengisi formulir di bawah ini

    Informasi Peminjam:
    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Jenis kelamin: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Ibu Glory
    Email: gloryloanfirm@gmail.com Terima kasih sudah datang.

    BalasHapus
  2. Aku Mrs.Mary Willson, uang pinjaman, menawarkan berbagai macam jasa keuangan (LOAN) untuk individu dan pemilik bisnis. Kami bekerja dengan individu, kecil, menengah, dan usaha skala besar untuk membantu mereka baik memulai atau memperluas ke wilayah-wilayah baru. Kami membantu mendanai usaha kecil bila diperlukan paling untuk memperluas bisnis yang ada, membeli peralatan modal, membayar biaya dan untuk kebutuhan lainnya seperti iklan, sewa, renovasi dll Salam, (marywillsonloanfirm@gmail.com
    Pribadi
    Akun saya) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.

    BalasHapus