Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran yang Sunyi


Angkuhkah aku ketika berlaku abai dengan pintamu?

“Perjalanan kita masih panajang. Satu bulan ini hanyalah sebagai pemanasan dalam sebuah permainan. Kita punya rencana panjang bagi sebuah kehidupan. Tidak bisa, saya harus berangkat Minggu besok. Kan kita sama –sama berangkatnya,” 

Aku menjelaskan semua kepadanya. Kekasihku. Ku sayang dia dalam dekapan di sebuah malam yang kelam. Kujelaskan semuanya panjang lebar hanya untuk mengelak dari argumentasinya yang beraroma tendensi. Aku menciumnya, ini bahasa tendesius. Dan kuabaikan semua itu. Kutau perasaanya. Belum bosan ia denganku. Belum cukup dua minggu yang lalu aku bersamanya.

“Besok saya harus berangkat. Kita harus cek in bersama, biar di pesawat kita satu seat, ok!” ku tinggalkan dia dengan lamabian tangan melemah.
Suasana mulai cerah ketika rinai hujan jedah sejenak. Kami berburu menuju pesawat yang sudah  menunggu beberapa menit. Untung saja sang pilot masih berbaik hati. Tinggal pintu depan yang mengangah. 

Seat kami dua deret dari pintu belakang. Kami memang satu seat. Alhamdulillah. Walaupun ada seorang perempaun muda di samping jendela, yang sesekali mengintip dengan ekor mata ketika tanganku menjamah tangan kiri kekasihku yang halus dan sedikit pucat. Kuelus-elus gelangan tangan kecil berbulu halus itu. Kami sama-sama menutup mata.

“Apakah ini pertemuan kita yang terakhir? Tidak. Ia kekasihku, ia puteriku, ia memepelaiku. Nanti, setelah cita-citaku tercapai,” 

Penerbanagn kali ini tidak transit. Dari Palu langsung Jakarta. Cuaca di luar terang-benderang. Awan putih bergelantungan di bawah pesawat kami. Sepertinya penerbangan kali ini adalah penernagan menyenangkan bagiku. Tak ada tangisan anak kecil. Hampir tak ada guncangan saat pesawat menembus gumpalan awan. Di sampingku, kekasihku memejamkan matanya. Sepertinya ia terlena dengan genggamanku. 

“Nanti kamu transit sampe jam 10.30 kan? Aku akan menjagamu. Kita menunggu saja di luar. Cekin-nya nanti setelah ada panggilan memasuki ruang tunggu,” dan ia hanya mengangguk.
Hampir dua jam berlalu Co Pilot menyampaikan aba-aba. Seorang Pramugari kembali mengumumkan kepada kami semua untuk mengencangkan sabuk, menegakkan sandaran kursi dan mengunci meja kecil di depan seat. Dan pesawat siap landing.

Kami menunggu beberapa saat setelah pesawat benar-benar terparkir rapi di terminal. Turun dari pintu depan dan menjejakkan kaki di tangga dan melangkah. Satu anak tangga satu langkah. Aku membuntutinya dari belakang, menjinjing travel bag-nya dan menggendong ranselku. Melangkah penuh semangat, kami meninggalkan terminal menyelusuri lorong menuju tempat pengambilan bagasi. Kuraih travel bag-ku dan kutarik perlahan menuju pintu keluar. 

“Nanti kalau sudah sampai sms ya,” aku mengingatkan.

Mata kekasihku menatap kosong ke luar, ke jalan-jalan, menerawang awan putih yang bergulung-gulung di langit Jakarta. Aku tersingggung karena tak digubris. Ia masih kecewa atas putusanku.
“Saya sudah pernah kuliah kaya kamu. Kamu bisa saja berangakt setelah lebaran. Kan kamu tak wajib ikut matrikulasi sayang,” katanya menatap tajam wajahku. Aku hanya memandang kepulan-kepulan asap rokok berterbangan meliuk-liuk di ruang merokok di sudut café. 

Dan ia meninggalkanku setelah ada panggilan masuk ke ruang tunggu. Kukecup keningnya dan ia mencium tanganku seperti seorang anak kepada ayahnya saat berangkat sekolah. Kubuntuti geraknya dengan sorot mata penuh harap. Dan ia berbalik melambaikan tangan dan senyum sambil mengedipkan matanya yang putih kertas. Pergilah ia dengan pesawatnya. Menuju sebuah tempat untuk meraih masa depannya. Dan itulah saat terakhir aku melihatnya.
Kini, hanya suara yang aku dengar dari kekasihku itu. Suara yang sesekali mengeras dan melembut tergantung suasana hatinya. Ingin aku menyesali keputusanku. Tapi jalan ini sudah terlampau jauh. Jakarta terlalu jauh dengan Palu untuk berjalan kaki, menyebrangi lautan atau mengepakkan sayap malaikat.

Ini adalah malam terakhir Ramadhan. Suasana riuh di jalan-jalan kota. Bunyi petasan menyemburkan bunga api seperti air mancur ke udara. Aku tertegun di sudut simpang tol. Ku kenang dia dengan kata-katanya. “Nanti lepas lebaran saja baru berangkat”. 

Dan aku hanya sendiri di sini, hanya mendengarkan suaranya lewat sambungan telepon. Sebulan sudah lewat. Dan hanya suaranya yang kudengar di balik telepon. Terlalu jauh jarak untuk aku mengecup keningnya. Menggenggam tangan kecilnya yang putih berbulu halus. 

Cileunyi 1 Syawal 1423 H.


0 komentar:

Posting Komentar