Senin, 29 Agustus 2011

Tragedi Cincin Pernikahan Amina (Bagian II)

Amir melanjutkan cerintanya.

“Di dekat kita ini kalau tidak salah ada namanya lobang Avanza. Yang punya orang sini. Setelah dibuka beberapa bulan lalu, emas yang dihasilkan lubang itu sudah bisa membuat tuannya bili mobil. Toyota Avanza. Banyak penambang yang mau masuk di lobang itu, tapi tuannya tetap pake orang-orang yang dulu. Menurut cerita yang saya dengar, lobang-lobang di dalam itu sudah banyak yang tembus dengan lobang lain. Biasanya penambang ketemu di dalam dari lobang lain. 

Katanya dingin di dalam, bisa tidur-tidur kalau dorang cape,” Baru Amir mau melanjutkan, Amina menyela. “Saya dengar sudah ada yang mati tertimbun di lobang,” Betul itu!” Amir secepat kilat menjawab “Dua minggu lalu kejadiannya. Tapi itu bodohnya sendiri. Temannya sudah kase ingat, jangan maso lobang, karena di luar mendung. Tapi penambang itu tidak sabar. Soalnya utangnya sudah lama te dibayar di warung. Dia juga sudah lama te main ke pante. Itu alasannya yang saya dengar, sampe penambang itu harus buru-buru masuk lobang,”…..”Nah akhirnya, apa modibilang. Hujan terlalu keras dan lobang runtuh, temannya hanya lari,”

“Tapi itu sudah biasa kalau di pertambangan begini, mati itu kan urusan tuhan. Dimana saja orang bisa mati to?,” katanya menenangkan kedua rekannya. Ia bertindak seolah menjadi guru yang memberi nasehat pada kedua muridnya dalam pelajaran agama.  Bahkan lebih dari itu, ia berdiri melangkah maju mundur dengan nada bicara yang tetap dipertahankan, menceramai dua rekannya yang leebih berumur itu. Amina dan Rudi hanya menunduk tanpa sanggahan.

Hampir sejam mereka istirahat, dan Amina pun mengaku telah stabil. Pendakian pun dilanjutkan. Tetap saja sama pemandangan yang ditemui, lubang yang dikerumuni dua hingga tiga orang dinaungi tenda terpal dengan jarak tak kurang dari lima meter, bersusun-susun hingga ke puncak. Ruang pandang mereka semakin luas. Puncak tinggal beberapa menit dicapai. “Tenang, sudah dekat,” Amir menyemangati.

Tinggal dua tikungan lagi, mereka akan sampai di puncak. Angin terus bertiup kencang, karna tak ada pohon yang menghalaunya. Tibalah mereka di puncak. Keringat dengan seketika hilang atas angin. Lebih dari dingin udaranya, bahkan bisa membuat tubuh menggigil dan ngilu. Tak banyak bicara, Amir langsung menawarkan untuk berlindung di warung. Tiba-tiba, Amina menemui dirinya dengan penyesalan. Ia tak membawa kamera atau alat rekam lainnya. Penyesalan itu membikin ia sempat berfikir menyuruh Amir untuk turun dan naik lagi mengambil kamera dimana saja di kampung. Tapi tidak, ia harus rasional. Karena Amir sangat baik. Ia tak mungkin memeloncoh bocah SMP kelas 1 itu berlebihan seperti juniornya di kampus. “Waduh, sayang sekali saya te bawa kamera le,” sesalnya.

Sementara bulan di atas kepala seperti bersekongkol dengan para penambang dan mereka bertiga, menyinari seisi bukit dan lembah yang dingin dan samar dengan pandangan mata biasa. Cahaya-cahaya neon dari warung-warung menerobos keluar. Menerangi sekeliling tanah datar di puncak itu, membuat para penambang betah berlama-lama melepas lelah.

Seorang penambang yang baru naik dari lubang terlihat tersengal-sengal, telanjang dada, tanpa sepatu memasuki warung. Mungkin karena dehidrasi, diambilnya dua botol air minum mineral dan diteguk tanpa sela nafas, satu demi satu. “haus ya pak?,” Amina berbasa basi. “Baru nae dari lobang,” jawab penambang itu tanpa memperkenalkan nama.

Amir berinisiatif memesan minuman. Kebetulan pemilik warung agak sedikit kreatif, ia tau betul kalau dingin bisa diusir dengan minuman berjahe. “Tante ada Saraba to?,” Amir meminta. “Berapa?,” wanita muda pemilik warung itu bertanya tanpa memandang wajah pembelinya. Ia sibuk mengaduk beberapa gelas kopi yang sudah dipesan sebelumnya oleh pelanggan lain.

“Tiga tante,” jawab Amir, juga tanpa perlu mengetahui siapa penjualnya. Bangku kayu berukuran dua meter yang diletakkan di depan warung, sepertinya menjadi tempat yang lebih empuk untuk dijadikan pelepas lelah. Ketiga muda-mudi itu duduk bersaf memunggungi penjual yang sibuk menyeduh Saraba di dalam warungnya.
Amina menunduk ngos-ngosan. Sesekali ia menarik nafas panjang dan dihembuskannya melalui mulut, sepertinya udara itu tak sempat diproses di tenggorokan. Melelahkan sekali pendakian itu baginya. Betapa ia merasa seperti telah mencapai puncak teringgi di duania ini. Tanpa berlatih dan bahkan membayangkan sebelum-sebelumnya, ia berhasil menyatu dengan para penambang. Hingga ke puncak pula.

Waktu di puncak ini tak bisa dihabiskan berlama-lama. Mereka harus segera kembali karena khawatir akan masuk angin. Setelah meneguk Saraba, menghabiskannya hingga ke dasar cangkir, Amina langsung membayar.

Tak banyak pembicaraan terjadi di sana. Hanya kelelahan yang didapati dan hasrat untuk turun lagi karena angin bukan hanya mendesir, tapi nyaris membacok tulang tanpa kenal kompromi. Ketiganya melangkah meninggalkan warung tanpa basa-basi kepada pemilik warung. Formasi tetap sama, Amir memimpin dan Rudi paling belakang. Bulan tetap setia bertugas di angkasa, cahayanya kelabu tertutup awan. Dan senterlah yang lebih merajai perjalanan turun mereka. 
*** Bersambung...!

Pengalaman semalam di Poboya membuat Amina seketika berubah. Banyak soal menyesakkan dadanya.  Seperti aktivis lingkungan ia berusaha mencari informasi, mendatangi diskusi-diskusi yang diadakan pegiat-pegiat lingkungan di Kota Palu. Ia juga tak luput meng-update kabar dari koran-koran lokal. Pendidikan dan pengalaman semalam itu yang membuat Amina gelisah dalam tidurnya. Satu dua kali ia kunjungi kampus, menemui dosen-dosennya. Berdiskusi, meminta pendapat bahkan berdebat sekalipun ia lakukan. Entah dengan alasan apa, ia pun tak tahu. Dan semua tentang pertambangan rakyat di Poboya. Dari dulu, orang-orang mengenal Poboya sebagai daerah resapan air (wateh catchmen area) untuk wilayah lembah Palu. Ini sudah menjadi pengetahuan umum, dan Amina, kuli di pasar, pemulung dan naknya pun tahu itu.

Suatu hari, ia bertemu seorang dosen yang bukan dari fakultasnya. Ia ceritakan pengalamannya semalam di Poboya. Ia tunjukkan gamba-gambar dari kliping korannya selama ini. Dosen yang dikenal paling idealis itu pun terperangah. Dan Amina sudah membaca itu sebelumnya. Dalam sepenggal perbincangannya, Amina mengingat betul sang dosen senior itu melontarkan kalimat sinis seperti mengutuk pemerintah.

“Kalau saja ada keluarga saya yang ikut menambang di Poboya, maka saya akan datangi Pemda dan saya akan tuntut mereka. Dimana derajat kemanusiaan kita melihat kondisi seperti itu? Hanya untuk mencari makan, orang harus berjuang begitu. Antara hidup dan mati,” geram sang dosen.

Sebagai orang-orang sadar dari kelangan berpendidikan, bisa jadi sang dosen berfikir sedemikian idealis. Tapi kondisi Poboya mengabaikan derajat kemanusiaan yang diagung-agungkan, seperti pemahaman sang dosen, yang mengaku sudah berpengalaman lebih setengah abad hidup di dunia ini. Di tempat yang lain Amina juga menemukan pernyataan yang sama, baik itu secara langsung walupun melalui berita koran.

Belum ada survey untuk memastikan apakan warga kota setuju atau tidak dengan pertambangan itu. Yang pasti, pemerintah kota memebri izin bagi para pengolah emas di lokasi tromol, agar bisa bertahan dan menjaga keseimbangan lingkungan. Dan bisa menyambung hidup. Sementara di lain hal, pemerintah masih saja tetap tidak mengakui keberadaan para penambang di lubang. Dan pemerintah menyebut lokasi mereka sebagai Pertambangan tanpa izin atau Peti.

Serangkaian fenomena itulah yang membuat Amina gelisah hingga mengalami insomnia dalam beberapa bulan lamanya. Apalagi izin yang dikeluarkan pemerintah melalui Perwalkot persis sebelum Pilkada Kota Palu akan memasuki tahap kampanye. Sungguh-sungguh mengganggu alam sadar Amina sebagai kaum terpelajar dari kampus, yang jaraknya hanya dua kilometer dari lokasi pertambangan. “Dimana rasa keadilan, dimana ilmu pengetahuan, dimana negara, dimana orang-orang berperangai dan terdidik,” katanya pada diri sendiri. Sementara pemerintah sendiri, berkilah kalau peraturan itu lahir hanya untuk merespon kondisi terkini di Poboya, yang tiap hari dipenuhi para penambang dari luar kota yang datang seperti rayap.

Para ahli kimia dari kampusnya, yang juga pernah menjadi dosennya, tetap konsisten dengan penelitian tentang pencemaran lingkungan di Poboya. Bahkan tak kurang dari lima penelitian telah dilakukan dalam kurun tiga tahun terakhir sebelum Poboya seramai sekarang, dengan berbagai sudut pandang dan kepentingan, baik dari proyek pemerintah, desertasi, skripsi atau dalam skema bantuan luar negeri.

Keluhan warga atas air bersih pun sempat mewarnai halaman depan koran-koran lokal. Pertentangan antara penambang, pemilik tromol dengan perusahaan multinasional pemilik kontrak karya di Poboya juga terus terjadi, seperti telah didesain dan sengaja dipertahankan. Mulai dari aksi protes melalui demostrasi turun ke jalan-jalan kota, meneriakkan penolakkan atas masuknya perusahaan ke lokasi tambang, hingga melahirkan organisasi baru-yang tiba-tiba muncul setelah hampir setahun lokasi pertambangan dibuka. Belum lagi otoritas Kepala Adat setempat yang semakin menguat, seketika menjadi raja-raja kecil yang memungut upeti dari para penambang melalui pendataan.

Entahlah, Amina sendiri pun tak mengerti dan tak bisa berbuat banyak. Seperti malam-malam biasa, ia tak bisa tidur dan hanya membaca ulang berita-berita pagi, yang ia sortir khusus tentang tambang Poboya yang dijilid rapi, sebagai dokumen pribadi. Mungkin akan menjadi bukti bagian dari  perdaban baru di Kota Palu. Tekun ia memilah-milah berita yang layak dikliping.

Di salah satu berita yang paling ia utamakan dari koran lokal, tertulis judul besar “PERUSDA DAN PEMKOT DIMINTA DIPOLISIKAN”. Di edisi yang lain, juga diberi judul yang menarik perhatianya, “AIR POBOYA TERANCAM PENCEMARAN LIMBAH”. Dan yang paling mengesankan juga bagi Amina, berita di halaman depan media lokal yang berjudul “MERCURY MENGANCAM UDARA KOTA PALU”. Dan banyak lagi judul-judul berita yang bombastis, sebagai ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah.

****

Mata Aminah sudah hampir melekat pada cincinnya.

Tak satu pun berita-berita itu menjadi perhatian serius pemerintah, kecuali dipolemikkan dan diterbitkan untuk beberapa edisi. Upaya advokasi yang dilakukan kalanga LSM pun terlihat mandul. Tak ada yang bisa merubah situasi. Belakangan Amina mencium aroma politik, dan betapa ketidakberdayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat atas fenomena pertambangan rakyat itu. Bahkan perusahaan yang sudah punya legitimasi negara pun menjadi gamang, tak mampu berbuat banyak selain berkoordinasi.

Ingin sekali Amina membangun sekutu. Mengumpulkan banyak orang yang sadar. Mengingatkan, bahkan melawan pemerintah untuk sesegera mungkin mengambil tindakan. Menutup pertambangan atau memberi perhatian khusus, dengan memberi alternatif pada pengolahan emas agar tidak mencemari lingkungan. Amina dan orang-orang seisi kota pun sudah tahu, dampak penggunaan bahan kimia berbahaya terhadap lingkungan bagaimana. Koran-koran lokal dan naskah-naskah seminar telah mengulas itu. Apalagi bagi mereka yang setiap hari menerima koran di kantornya. Tentu sudah lebih dari paham. Dan nampaknya, koran-koran tak lebih dari sekedar naskah, tanpa mampu memberi efek propaganda masyarakat kota kepada pihak berkepentingan.

Cahaya senja menerobos dari jendela, memantul pada permata di cincin dan menyilaukan matanya.

Amina tak menginginkan apa-apa dari waktunya untuk mengkliping koran, bertemu kalangan terpelajar, menyatu dalam seminar dan lokakarya tentang tambang rakyat. Ia hanya ingin Kota Palu tetap aman dari pencemaran. Ia khawatir peristiwa Minamata di Jepang, atau cerita miris warga Teluk Buyat di Halmahera, akan kembali terjadi di negerinya. Dan akan ada lagi dongeng baru yang menyeramkan, untuk sebuah peradaban manusia tentang pencemaran lingkungan.

Kini Amina tersadar, bahwa ia hanya seorang perempuan biasa yang tak banyak daya. Dan telah jatuh di pangkuan kekasihnya yang juga seorang juragan emas di Poboya. Kembali ia berusaha melepaskan perhatiannya dari cincin pernikahan di jari manisnya. Untung saja seorang ibu pengantin lekas menemuinya di kamar, menyalakan lampu dan meminta Amina bangkit bersiap mandi, dan akan dirias untuk resepsi nanti malam.(Tamat)




0 komentar:

Posting Komentar