Senin, 29 Agustus 2011

Guntur dan Sang Gubernurnya


Kaki-kaki kecil itu kembali melangkah mendekati kami. Tak banyak suara yang keuar dari mulutnya, keculi jika ditanya. Rambut plontosnya sama dengan potongan tentara yang baru lulus pendidikan kemarin. Terkadang ia menjungjung bakul berisi jagung rebus, terkadang juga ia menggandengya di samping dengan tangan kanan. Kaos putih yang ia gunakan lusuh dan tak lagi bersih karena dipenuhi banyak noda. Sawo matang kulit kakinya berlumuran debu, setelah melangkah berputar-putar mendatangi orang-orang yang ia lewati dalam tugasnya menjajahkan jagung rebus buatan ibunya. 

Guntur namanya. Ia adalah anak ke sebelas dari 12 bersaudara. Sudah dua tahun terakhir, ia luput dari hiruk pikuk sekolah. Ia tak bisa menikmasti indahnya suasana belajar dan bermain bersama teman-teman sebaya di lingkungan pendidikan formal. Hari ini, ia kembali mendatangi kami, menawarkan jagung rebus dan termenung melihat kami bercerita tentang pengalaman sehari ini. 

Seorang sahabat bertanya kepadanya seolah bersimpatik. Guntur menjawab seadanya sambil menunduk. Ia sepertinya malu saat ditanya apakah masih sekolah atau tidak. Setelah beberapa saat, ia berani menjawab lantang bahwa memang ia tak lagi bersekolah. Alasanya sangat sederhana. Tapi ia tak kuasa untuk menuntaskannya. 

“Dulu saya sekolah sampai kelas 4. Waktu pindah ke Palu, surat pindah saya ketinggalan. Pas mau masuk sekolah di sini, saya tidak punya surat pindah. Sudah lama mamaku minta sama tante di Ampibabo, tapi belum dikirim-kirim juga,” katanya mendeskipsikan pengalamannya.

Semestinya jika Guntur bisa melanjutkan sekolah di Palu, ia sudah duduk di bangku kelas 6 semester akhir. Ketika ditanya apakah masih ingin sekolah, ia mengangguk dan kembali menunduk. “Mau,” katanya.
Saya pun tertegun, mencoba menarik kembali peristiwa pagi tadi di kantor gubernur, untuk kembali di pelupuk mata. Katika itu, Gubernur Sulteng, Ahmad Tanribali Lamo, berpidato di hadapan para peserta upacara memperingati Hardiknas. Panjang lebar ia bercerita soal pendidikan anak bangsa, hingga mencanangkan Pendidikan Karakter di Sulteng segala. 

Hiruk pikuk upacara itu juga diramaikan dengan berbagai pertunjukkan kesenian dari anak sekolah dan pemberian penghargaan bagi siswa dan guru perprestasi. Dan memang seperti itulah kegiatan peringatan Hardiknas setiap tahunnya.

Pada kesempatan itu, Tanribali juga menyinggung kalau peringatan itu tidak hanya sebatas seremonial saja. Tapi ada bukti nyata dari pemaknaan Hardiknas bagi kelangsungan dunia pendidikan kita. Saya nyaris tak bersemangat lagi mengingat pernyataan Tanribali, ketika diperhadapkan dengan kondisi Guntur, yang hanya soal surat pindah, tak bisa melanjutkan sekolah. Entahlah, saya hanya bisa menuliskan ini. Saya tak bisa berbuat banyak, selain menulis cerita tentang Guntur dan berharap ada yang bisa membaca dan berempati kepadanya. 

Palu, 14 Mei 2011



0 komentar:

Posting Komentar