Senin, 29 Agustus 2011

Tragedi Cincin Pernikahan Amina (Bagian I)


“Wahai Baharuddin, saya nikahkan engkau dengan seorang perempuan pilihanmu yang bernama Amina binti Jumadi, yang oleh walinya telah menyerahkan kepada saya untuk menikahkan dengannya, dengan mahar seratus sepuluh ribu rupiah dengan seperangkat alat sholat,”
“Saya terima nikahnya dengan mahar sebesar seratus sepuluh ribu rupiah, tunai”

Upacara pernikahan itu berlangsung hikmad, disaksikan puluhan pasang mata. Sorai-sorai para hadirin berucap saaah..! seketika memecah ketegangan beberapa menit tadi. Baharuddin yang sedaritadi terpaku bersila di atas permadani, air mukanya sudah cukup tenang. 

Darah mengaliri wajahnya, menetralisir kepucatan. Sementara di sebelahnya, Amina, seperti putri ratu berkerudung putih menunduk bisu. Cincin emas dua pululuh tiga karat seberat lima gram dibubuhi permata putih, melingkar indah di jari manisnya. Resmilah ia menjadi isteri Baharuddin. Putri kedua Jumudi ini tersenyum malu-malu kucing, saat mengangkat wajahnya memandang sekeliling, dengan bola mata kerlap-kerlip. Wajahnya merona dengan make-up merah jambu di kedua belah pipih yang sedikit menor. 

Usai sudah seremoni sakral. Kedua penganten itu menuju kamar, istirahat dan bersiap untuk resepsi malam nanti. Sanak saudara, handai toulan dari kelurahan sebelah dan tetangga sibuk memeprsiapkan keperluan resepsi. Aroma masakan yang khas menusuk hidung siapa saja yang sibuk di dapur. Di kamar, Amina belum juga istirahat. Ia pandangi cincin emas yang melingkar indah di jari manisnya.

Baharuddin meninggalkannya sendiri di kamar, dengan ranjang terggantung kelambu putih berhias manik-manik. Sorot matanya lebih tajam, hampir dua jengkal konsentrasi pada jari manisnya. Seakan cincin perkawinannya itu mengeluarkan cahaya magis, dan menenggelamkannya dalam lamunan yang mencekam dan tragis.

Hayalnya melambung entah kemana. Ia paksakan untuk kembali menarik ingatannya pada upacara sakral siang tadi. Namun ia tak kuasa, aura cincin 5 gram dengan permata putih itu tetap saja menarik perhatiannya, membawa alam sadarnya ke pagunungan-pegunungan tandus di kampung tetangga. Ia coba menentang dan bernegosiasi dengan khalnya sendiri. Tetap tak juga bisa, ia tetap berusaha sekuat hasrat. Tak juga bisa hilang ingatannya dengan kasibukan para kuli bertangan besi di bukit-bukit tandus di pinggiran kotanya.

Tergambar olehnya tangan-tangan perkasa bermandi keringat dan debu. Kaum lelaki tua, muda, dan anak-anak sibuk dengan tugas masing-masing, serta para perempuan yang tertawa girang sambil menunggu para penambang, mampir untuk makan siang, di hari dengan mentari mebakar tanah dan batu-batu cadas. Dan itulah Poboya, dengan kesibukan pekerja-pekerja tambang, mesin-mesin penggiling batu yang setiap detik meraung. Mengganggu telinga normal. Siang malam tanpa jedah.

Sudah dua tahun ini, Poboya nyaris kehilangan perhatian warga Kota Palu. Warga kota akan garasak-grusuk jika ada pemberitaan di koran lokal tentang Poboya. Atau akan lebih ramai diperbicangkan di warung-warung kopi, pasar, kantor dan pangkalan ojek jika ribuan penambang itu, kembali turun berunjurasa pada pemerintah, untuk meminta agar lahan kerja mereka tak ditutup.

****

Amina baru saja menyelesaikan kuliahnya sebelum Baharuddin mempersuntingnya sebagai pendamping hidup. Ia juga pernah menjadi bagian dari hiruk-pikuk pertambangan rakyat di Poboya. Tugas akhirnya adalah mengukur kadar air di sungai Poboya, yang lebih sering kering, daripada mengalir jauh hingga ke pantai teluk Palu. Hampir dua bulan ia habiskan waktu untuk meneliti air di Poboya. Seminggu di laboratorium, dan hari-hari lainnya ia habisakan menyaksikan hilir mudik lalu lintas di jalan, yang tak beraspal layaknya jalan-jalan kota, menghubungkan Poboya dengan pusat Kota Palu. Tambang Poboya memang hanya berjarak selemparan batu dari pemukiman warga.

Hari itu jam tujuh malam. Ia sempatkan bersama seorang sahabat sesama peneliti muda, Rudi, untuk mengunjungi dan bahkan menginap di Poboya. Bersama Amir, anak kampung yang lahir dan besar di Poboya, mereka berhasil menembus lokasi lubang (penambangan) setelah menumpang mobil Jeep hijau muda, bersama beberapa penambang. Bulan purnama mengintip, merambat pelan di balik punggungan gunung yang membatasi Kota Palu dan Kota Parigi. Setelah terguncang dalam Jeep selama 15 menit, akhirnya mereka menjejakkan kaki di lokasi lubang. Didapatinya keramaian seperti pasar malam, bahkan lebih dari itu. Ia baru yakin dan membenarkan cerita warga kota, yang ia dengar setahun lalu. Memang selama dua minggu sebelumnya, ia hanya menjejakkan kaki hanya pada anak sungai di bagian bawah, hampir dua kilo meter dari lokasi lubang.

Ia tengok jarum panjang di arloji kecilnya menunjuk angka enam, dan jarum pendek di angka sepuluh. Memang cukup lama mereka menunggu tumpangan tadi. Melangkahlah mereka bertiga meraba-raba, dibawah penerangan senter. Amir memimpin, Amina dan Rudi menyusul di belakang. Hati-hati mereka melangkah di atas bebatuan cadas, mendaki gundukan tanah seperti bukit kecil di depannya. Tanah datar di atasnya membentuk jalan setapak. Di sisi kiri dan kanan jalan setapak berjajar pondokan beratap terpal, disekap kain spanduk. Dan orang-orang berkerumun di sana, berhadap-hadapan menikmati secangkir kopi hangat, dan sepotong-dua panada dan pisang goreng dingin. Belum pernah ia menyaksikan pemandangan seramai itu dalam hutan.

Berjalan selama beberapa menit, tibalah mereka di persimpangan menuju bukit bertabur lubang galian para penambang. Aminah memberi isyarat menarik tangan Amir, dan berhenti di sebuah warung. “Cape, barenti dulu. Barangkali kau mo minum kopi Amir?,” dengan ramah Amina menawarkan. Kedua lelaki muda itu berpandang-pandangan. “Okelah,” Amir setuju. Mereka berhenti menerobos masuk ke warung. “Tante kopi dua,”  Amina menruskan “Saya juga. Tiga tante,”

Wanita paruh baya itu tak banyak bicara. Diraihnya termos berisi air panas dan menyeduhkannya ke gelas berisi kopi hitam yang sudah bercampur gula. Uap air panas dari gelas-gelas itu menebar aroma khas kopi Bintang buatan Palu. “Asyik kan, skali-skali kita santai begini,” Amina mencoba memulai perbincangan. Matanya awas di sekeliling. Mondar-mandir para penambang di luar dengan berbagai barang bawaan. Hampir tak ada lelah mereka rasakan. Ada yang memikul karung, berjalan terburu-buru membawa beberapa potong besi betel. Semuanya nampak samar disirami cahaya neon dari warung-warung yang berjajar.

“Jam berapa mo pulang. Atau mo tidur di sini?” Amir menyela.
“Bagimana Rud, bermalam?” jawab Amina spontan.
“Saya terserah kamu,” jawab Rudi.

Tak banyak hal yang bisa dibincangkan selain terperangah menyaksikan kesibukan para penambang turun naik dari bukit. Bukan waktunya untuk berbagi cerita. Teriakan sambut menyambut melengking di udara. “Awas batuuuu..! teriak seseorang dari atas bukit. Dan nampak di temaram seseorang melepaskan sebuah karung berisi batu dari tali yang ditambat di atas bukit.

Amina hanya menyaksikan aksi seorang penambang tak jauh dari warung mereka, tanpa banyak bertanya. Heran bercanpur khawatir ia menyaksikan pemandangan itu. “Biasanya ada juga karung yang jatuh dari tali dan menimpa orang,” dengan sopan pemilik warung memecah kesunyian yang mendekam ketiga pelanggan barunya. Ia mencoba membuyarkan perhatian ketiganya pada tali dan pekerja itu. Pernyataanya juga sekaligus mengumpan, menguji untuk memastikan ketiganya adalah pendatang baru di pertambangan. Tak bersambut apa-apa. Tak digubris. Ketiganya hanya tertatap-tatapan.
“Ayo cepat diminum!” seru Amina.

“Berapa tante?” kata Rudi seakan mau menraktir rekan-rekannya.
“Kopi satu gelas enam ribu pera, tiada yang makan kue?” tekan pemilik warung.

“Tiada tante, hanya kopi saja,” jawab Amina sambill merogok beberapa lembaran rupian dari saku jacketnya.

Tanpa banyak basa-basi, ketiganya kemudian keluar dari warung dan berhenti di pertigaan menuju bukit. Amir memimpin, dan yang lain membuntuti. “Hati-hati, biasanya ada lobang yang tida dikase tanda. Senter di kaki saja. Biar saya yang kase tanda di muka,” Amir menginstruksikan, bersikap seperti penunjuk jalan handal berpengalaman.

Pelan-pelan mereka merangkak mencapai bukit. Hanya para penambang yang tergeletak di pinggir lubang, tenda-tenda kecil menanungi karung-karung berisi pecahan batu putih yang ditemui. Setengah perjalanan, Amina mengaku kecapean dan meminta istrahat beberapa menit. Amir dan Rudi mengalah, mengambil posisi duduk di atas bongkahan batu berukuran sedang di tepi jurang. “Awas, jangan terlalu ke pinggir, ini tana manumpang,” Amir mengingatkan. Amina melemparkan pandang di sekelilingnya. Nampak cahaya-cahaya senter di dasar jurang di bawah mereka.

“Ini baru setengah jalan. Di atas asyik, ada warung, bisa ngopi lagi kita. Yang dibawa itu, yang ada cahaya senter itu, penambang-penambang yang te mau repot. Dorang hanya bapungut sisa-sisa batu dari atas. Sisa dari lobang. Biasanya ada yang tatindis batu. Dua hari lalu kena di kepala, bocor. Tadi sore yang lebe kasiang, lututnya. Langsung te bisa jalan. Orang bilang engsel lututnta yang tasorong, tampurung lututnya keliatan. Ihhh..! kasian. Padahal baru satu mingu dia disini. Pokonya so banya yang kena, tapi tetap juga ada yang mau ba ambe disitu. Memang belum ada yang sampe mati. Tapi nanti pasti ada,” Tak ada yang menyela. Rudi dan Amina hanya mendengarkan dengan seksama, sambil memeluk dada melemparkan pandangannya ke titik-titik cahaya tadi.

Malam hampir tua, purnama merambat pelan meninggi. Menerangi samar punggung-punggung bukit tandus dan lembah-lembah suram di bawahnya. Lampu kota di kejauhan kerla-kerlip. Angin malam membasuh wajah, merasuk ke sum-sum tulang, membuat ngilu. Di sekeliling mereka duduk, tak ada yang berceloteh. Walaupun keramaian persis seperti di pasar tradisional Manonda. 

Sepertinya kesibukan telah meneneggelamkan para penambang dalam rutinitas tanpa banyak kata. Seolah bahasa hanya dimaknai sebagai isyarat. Tangan-tangan dan kaki mereka bekerja tepat, dengan kata terlontar seadanya. Cukuplah cahaya senter sebagai penanda, isyarat untuk menarik karung berisi bongkahan batu dari liang, dengan katrol rancangan sendiri. Dan penuggu di atasnya menurunkan karung yang baru lagi, bersama harapan atas bongkahan batu yang paling banyak mengandung emas. (Bersambung)




0 komentar:

Posting Komentar