Senin, 29 Agustus 2011

Tata dan Tangisannya


Tangis Tata kembali memecah kesunyian pagi, saat semua orang di rumahnya akan berangkat kerja, termasuk ibunya. Bu’denya yang diamanatkan untuk menjaganya sudah cukup berusaha menghibur Tata dengan menirukan suara-suara binatang. Mulai dari bebek, sapi, kucing hingga ular.

Bahkan gajah sekalipun. Beberapa binatang mainan terbuat dari bahan palstik di atas meja kecil itu, berusaha dimaikan Bu’de untuk menarik perhatian Tata. Namun Tata terus meraung sebisanya. Kesedihan menyelimutinya tanpa kesan apa-apa. Bu’de yang menyaksikan itu sudah biasa. “Paling juga akan bosan sendiri. Kemarin juga begitu. Maklum, dia kan baru di sini,” kata Bu’de, menerangkan kondisi sebenarnya kepadaku selaku orang baru juga di rumahnya.

Aku memang orang baru yang baru tiba dari kampung. Aku akan bergabung di rumah Bu’de selama beberpa hari kedepan. Jika aku lulus tes univertitas, kemungkinan aku akan kembali ke rumah Bu’de, memilih satu kamar kos untuk 2 tahun kedepan. 

Hampir 2 jam telah berlalu, Tata masih berlanjut. Istirhata pun tidak. Tangisnya seakan menyaingi suara motor Adi yang dipanasin di samping lorong. Matanya yang bulat nampak sayu. Rambut ikalnya acak-acakan karena tangannya sendiri. Ia berguling-guling di lantai, dan terus meraung. Tak kusangka, tubuh mungilnya ternyata menyimpan tenaga yang besar, mengeluarkan teriakan keras hingga berjam-jam. Bu’de yang hampir bosan dengan ulah Tata beralih ke dapur, menyibukkan diri memasak air dan mencuci beberapa gelas. Dan Tata masih terus menangis.

Ibunya pun tak lagi nampak. Telah pergi ke kantor berburu agar tak terjebak macet. Tak ada waktu untuk membujuk atau merayu Tata dengan berbagai alasan. Dan memang harus begitu. Kaduanya harus disibukkan dengan urusan masing-masing, Ibu harus lekas-lekas ke kantor agar tak terjebak macet, dan Tata mau tidak-mau menangisi kepergian ibunya seperti seminggu sebelumnya. 

Tak ada orang lain yang bisa menyayangi Tata selain ibunya. Bu’de hanya bertugas mengajak Tata bermain atau menemaninya mengerjakan sesuatu di dapur. Bapak dan kakak laki-lakinya berada di Cirebon. Juga sibuk dengan urusannya masing-masing. Tata yang baru berumur empat tahun ini hanya mendapat kehangatan peluk ibunya saat malam hari.

Tiba-tiba, aku menemukan diriku dalam lamunan. Terbayang peristiwa yang masih melekat dalam ingatanku hampir 28 tahun silam. Pagi yang cerah di depan rumahku. Orang-rang di rumah, termasuk ibuku juga telah keluar mencari nafkah untuk keluarga, termasuk untukku. Kakak laki-laiku yang paling terakhir melangkah dari pintu depan, seakan tak rela meninggalkan diriku seorang diri di rumah. Nenek yang tak ramah denganku masih tetap berada di kamar. 

Kakakku membujuk agar aku tak bersedih dan menerima kenyataan itu. Aku harus ditinggal setiap hari seperti itu untuk masa depanku juga katanya. Loloslah dia karena telah berhasil membujukku. Nyanyian burung-burung pipit menyambut pagi tak sedikit pun menghibur. Yang namanya sedih tetap sedih.
Seorang kakek, tetanggaku, melambaikan tangan dan memanggil-manggil dari depan rumah papan polos tanpa cat sedikit pun. Dan aku pun mendekat. Ia bahagia karena aku telah melepaskan sedih. 

Wajahku kembali cerah, merona entah karena apa. Sama seperti anak-anak lainnya, saya terus ditinggal setiap hari. Tumbuh dan berkembang bersama nenek yang tak kenal kompromi. Selalu marah-marah dan suka terbakar emosi dengan tatapan tajam jika aku berbuat salah. Sisa rambutnya yang dikonde kecil, kulitnya yang keriput dan bertotol-totol, tubuhnya yang semakin pendek karena membungkuk serta tongkat yang setia menemaninya, tetap segar dalam ingatanku. 

Ia sering duduk-duduk di pintu depan menjaga ayam-ayam yang biasanya menerobos mencari makan di rumah. Dan setua itu, ia masih tetap mengisap tembakau. Jarang sekali ia berlaku ramah kepadaku, dan kepada kak-kakakku yang lain. Tapi ia tetap nenekku. Dan hanya ia yang tersisa dari keturunan ibuku. Nenek dan kakek dari ayahku telah mendahului kami, berpindah alam sebelum aku lahir. Sementara kakek dari ibukku, masih ada dan cukup kuat. Hanya sayangnya ia berada jauh dari kami. Ia telah pergi dan kawin lagi dengan perempaun lain dan menetap bersama isteri barunya itu. 

Mataku berkaca-kaca mengenang meraka. Dan melihat Tata yang masih meraung dan sesekali terseduh-seduh. Aku membayangkan Tata adalah diriku yang dulu, yang selalu ditinggal pergi ketika pagi hari. Orang-orang dewasa, kakak dan orang tuaku tak mau memerdulikan itu. Toh juga semua yang mereka lakukan untuk aku.  

Seandainya aku sudah bisa memainkan logika-logika seperti sekarang ini, aku akan melakukan protes kepada mereka, orang dewasa yang sok menjadi pahlawan terhadap diriku. Begitu juga Tata. Hanya bisa menangis untuk meluapkan keinginan protes atas kondisi yang ada. Cerahnya pagi tak berarti apa-apa bagi kami. Mendung atupun cerah tetap saja sama. Semua harus dimulai dengan tangisan. Entah mereka tau atau tidak. Aku yang kecil dulu dan Tata yang sekarang juga butuh perhatian mereka. 

Butuh kasih sayang, sama dengan anak-anak lainnya yang orang tuanya berkecukupan, sehingga ibu-ibu mereka tak perlu berangkat kerja di pagi hari seperti ibuku dan ibu Tata yang berburu macet di Jakarta. Tak banyak yang bisa dilakukan selain menangis dan menagis. Karena Tata tak bisa merangkai kata-kata untuk mengetuk hati orang-orang dewasa termasuk ibunya, untuk memberi perhatian penuh kepadanya. Dan itulah Tata. Sama seperti aku yang dulu.

Jakarta, 13 Agustus 2011

0 komentar:

Posting Komentar