Senin, 29 Agustus 2011

Demokrasi Semu dan Budaya Korupsi


Spontan saja aku memilih judul ini. Ispirasinya singkat terbayang hingga memaksaku harus menulis lagi. Sehari yang lalu, aku diajak salah satu pasangan calon gubernur yang akan mengikuti Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulteng pada 6 Aparil mendatang. Semua berjalan lancar dan biasa-biasa saja, sejak saya dan 3 orang tim sukses serta calon wagub merangsek perlahan dengan mobil yang kelihatannya agak mewah bagi masyarakat awam, dan juga saya. 

Pagi itu, matahari yang bersinar teduh mengiringi perjalanan kami menuju kecamatan terujung di bagian barat Sulteng.

Kali ini, maksud perjalanan kami adalah bersilaturahmi. Ya, bersilaturahmi dengan warga di perbatasan, yang kebetulan berbeda kepercayaan denganku, calon wagub dan 3 orang tim sukses itu. Perlahan dan pasti, kami menelusuri bibir pantai menuju kota tua, Donggala. Perjalanan yang indah menurutku. Sebab dalam mobil, suasana santai terbangun apik dibumbuhi celetup-celetup guyonan sang calon wagub, dan disambut guyonan juga oleh ketiga rekannya. Aku hanya diam dan tersenyum-senyum, dan sesekali cengengesan.

Hampir dua jam kami melaju dengan kecepatan tak lebih dari 80 km per jam. Menjelang waktu makan siang, kami tiba di sebuah rumah makan sederhana di pinggir pantai untuk ngopi dan rehat siang.
Sambil makan, salah seorang tim sukses menerima telepon dari warga yang sudah menunggu di kampung sebelah, dimana acara silaturahmi akan berlangsung. Kami pun bergegas menuju lokasi. Karena sinyal yang kurang bersahabat, kami sempat melewati lokasi, dan kembali lagi, setelah dijemput puluhan warga yang menggunakan mobil dan beberapa sepeda motor.

Dalam bacaanku, kondisi warga benar-benar siap. Dan memang begitu. Sebelum memasuki lokasi, kami diajak masuk gereja dan didoakan, kemudian menuju lokasi.
Antusias warga mulai nampak ketika kami tiba dan berbaur dengan mereka di teras gereja, tempat akan berlangsungnya sosialisasi. 

Suasana pertemuan itu terbilang akrab, seolah ada semacam kerinduan warga ketika melihat kami. Usai diberi kesempatan berceramah, sang calon duduk dan berdiskusi dengan beberapa pemuka gereja. Tak lama berselang, rombongan warga Muslim dari salah satu kampung transmigrasi di bagian barat Kecamatan Banawa Selatan pun tiba. Mereka mengenakan seragam putih, berleter singkatan nama pasangan calon. Meski berbeda keyakinan, semua warga membaur dalam suasan penuh keakraban. 

Usai sudah acara ceramah, dan kami pun harus melanjutkan perjalanan. Di belakang mobil, ada beberapa warga yang meminta atribut calon. Diberikan dan diucapkan terima kasih. Dua orang kepala rombongan, datang menghampiri kami sambil menyodorkan selembar kertas berisi nama-nama warga. ”Pak 1 motor bensinnya 2 liter,” kata seorang ibu, yang menjadi kepala rombongan. 

Begitu juga dengan sang kepala kampung, yang berinisiatif mengundang kami untuk mengunjungi warga di kampungnya. Meski menggunakan motor, ia ingin juga naik mobil bersama kami, walau berdesak-desakan. Tapi, menurut seorang tim sukses, biar saja kepala kampung naik motor dan diberikan uang bensin. Dua lembar uang Rp50an pun diberikan kepada kepala kampung itu, agar ia naik motor saja.

Saya tak sempat merekam semua bisik-bisik di teras gereja tadi. Saya hannya mendengar siaran ulang di dalam mobil. Ternyata, selain disodorkan proposal pembangunan rumah ibadah, kami juga dimintai mensponsori sejumlah kegiatan, mulai dari membelikan kaos hingga hadiah. Hal yang sama juga kami dapatkan ketika berdiskusi di depan warung salah seorang warga. Mereka juga meminta agar dibantu menyukseskan kegiatan. ”Biar hanya tamba-tamba bonus saja pak,” kata seorang warga. 

Tak terjadi tawa- menawar, calon hanya melayani warga berdiskusi tentang realitas masyarakat dan budaya korupsi di pemerintahan. Semacam merendahkan diri, sang calon mengaku tak punya dana besar untuk membiayai kegiatan. Oh ya, saya hampir lupa, sebelum berdiskusi di warung itu, kami sempat bertemu seorang tokoh di kampung sebelah. Ia juga meminta batuan untuk pembangunan rumah ibadah.

Hampir 1 jam berdiskusi, kami pun harus kembali karena gelap nyaris menyelimuti seisi kampung. Hujan deras yang mengiringi perjalanan kami membuat jalan berlubang dan becek semakin sulit dilalui. Diskusi kecil di dalam mobil semakin kecil, hingga tak ada yang bersuara seorang pun. Aku hanya terdiam berusaha menikmati guncangan mobil karena kondisi jalan. Hujan, jalan berlubang dan licin itu membawa anganku melambung, menerawang, mereka-reka, meduga-duga, dan sedikit memastikan, kalau realitas demokrasi kita bisa digambarkan dengan perlakuan warga kampung tadi.

Aku mencoba membuat kesimpulan, kalau sikap ramah yang ditunjukan dengan tak malu-malu itu hanyalah sebatas lipstick di bibir mereka. Kelihatanya mereka bisa menyatu dalam harmoni perbedaan. Tapi aku cukup memelihara kecurigaan-kecurigaan kecil dibenakku atas harmonisasi itu. Sebab permintaan bantuan dan uang pembeli bensin tadi menyimpan tanda tanya, kalau saja sikap yang sama akan ditunjukan warga kampung kepada pasangan calon lain. Aku tersadar saat mobil kami meluncur cepat menuruni jalan membumbung dan tersentak di kubangan berbecek. Dan hujan pun semakin deras hingga kami kembali tiba di Palu, di sekretariat pemenangan.

Besoknya, aku bertemu seorang teman dan menceritakan pengalamanku itu. Dia, yang juga seorang pentolan aktivis 90an itu tak ragu menyatakan kalau itu adalah “gambaran demokrasi yang semu, dan stimulasi korupsi yang dimulai dari kelompok kecil di kampung-kampung”.

Palu, 14 Pebruari 2011

0 komentar:

Posting Komentar